PART 2 - SADAR

1144 Kata
Hari ini Dion berangkat jam 8 pagi sesuai permintaan Mario. Mengendarai mobilnya menembus jalanan Jakarta menuju kos-kosan Mario di Kebayoran. Lagu MLTR-That's Why You Go Away mengiringi langkahnya di pagi ini. Bibirnya ikut menyenandungkan lagu tembang kenangan. Lagu nostalgia yang pernah booming pada masanya. Tahun 1995. Jujur saja, ia pecinta lagu-lagu tahun 80 dan 90'an yang menurutnya, di zaman itu harmoni lagu sangat indah dan menyentuh. Juga makna yang disampaikan sangat dalam. Berbeda sekali dengan era sekarang. I won't forget the way you're kissing The feeling's so strong were lasting for so long. But I'm not the man your heart is missing That's why you go away I know. You were never satisfied no matter how I tried Now you wanna say goodbye to me Love is one big illusion I should try to forget But there is something left in my head Setengah jam perjalanan, akhirnya mobil sport hitam sampai di depan gerbang putih. Tempat kos-kosan Mario. Dion keluar dari mobil, menyampirkan tasnya di bahu. "Pagi mas Dion," sapa bapak-bapak penjaga kos yang berdiri di depan gerbang. "Pagi juga pak Udin," balas Dion ramah lalu menutup pintu mobilnya. Ia berjalan masuk setelah mendapatkan izin dari pak Udin, penanggungjawab keamanan. Sebenarnya pak Udin bukanlah satpam. Hanya pekerja biasa yang dipercaya menjaga kos-kosan. Dion melangkah cepat menembus lorong, tempat ini memang begitu panjang dan juga luas. Kurang lebih ada 30 kamar kos di sini. 15 kamar kos sebelah kiri untuk pria, dan 15 kamar kos sebelah kanan untuk wanita. Dion melirik arlojinya, waktu menunjukan pukul 08.30. "Eh akang kasep dateng lagi. Eneng rindu beraaaaaaat. Sering-sering napa akang main ke sini. Sapa tau, kan nanti jadian." Dion tahu siapa yang menyapanya, mba Ningsih. Wanita di kos-kosan seberang yang bertubuh sintal. Wanita itu memang sering menggodanya setiap kali ia kesini. Para wanita yang tadinya keluar gerbang tiba-tiba mengerem langkah demi melihat Dion. Pria bermata cokelat gelap keturunan Jerman, Indonesia, Thailand. Bagaimana tidak, pagi-pagi disuguhkan pemandangan indah. Pria tampan yang berpakaian casual, dengan kaos Vans putih dilapisi kemeja kotak-kotak maroon, dan celana jeans denim. Dion hanya tersenyum tipis, tak membalas. Ia sudah biasa jadi pusat perhatian. Dion menghentikan langkahnya di kamar nomor 20, mengetuk pintu yang terpasang poster Guns n Roses. "Mar!" Tok tok tok "Mar! Oy!" Dion menghela sebal, ia yakin Mario pasti masih tidur jam segini. "Mar, buka ga pintunya! Kalo ga, gue dobrak nih." Dion mengetuknya sekali lagi. Tidak ada jawaban, "Mar." Pria itu kembali melihat arlojinya. Waktu menunjukkan pukul 08.40. "Tuh,kan apa gue bilang ... jam setengah 9 pasti belom bangun, kebo emang." "Oh iya," Tiba-tiba Dion teringat sesuatu. Mario, kan spesies orang teledor yang tidak pernah mengunci pintu. Dion membuka pintu, terlihat Mario yang masih tenggelam di alam mimpi. Dion menggeleng melihat pemandangan abstrak di sini. Tempat tidur berantakan, selimut berceceran, bantal dan guling terlempar di lantai. "Kebo kebo," ucap Dion sudah biasa. Ia berjalan ke kamar mandi. Lalu keluar membawa segayung air. Tanpa babibu langsung melemparkannya ke wajah Mario. "Tsunami tsunami. Selamatkan diri kalian! selamatkan!" Mario bangun dengan mata yang masih terpejam, tapi sedetik kemudian ia menjatuhkan badannya kembali ke ranjang. Melanjutkan mimpi yang tertunda. "Dih ni anak masih ga bangun juga." "Woi Mar, bangun." Dion menampar keras pipi kanan Mario, membuat sang empu terbangun. Mario memegang pipi kanan nya, "Anjir gue ditampar." "Itu tamparan keras buat orang yang males bangun pagi." "Mandi sana. Bau banget lo, kalah kambing." ucap Dion menutup hidung nya. Mario yang masih setengah mengantuk mengambil handuknya yang tergantung di sebelah pintu kamar mandi. Lalu melangkah masuk, melakukan ritual yang tertunda. ***** Mobil Dion berhenti di depan gerbang kampus yang terkunci. Mereka mendekam di mobil, sama sekali tidak turun. Dan kali ini Mario duduk depan. Setelah insiden kemarin, ia takut duduk di belakang. Terbayang-bayang korban tabrak lari itu. "Semua gara gara lo. Kita telat, kan satu jam." Mario memutar bola mata, "Yaelah Yon, nakal satu kali gapapa kali. Ga masuk satu hari doang, selow. Ngapain rajin-rajin." "Yeeu, ajaran sesat lo mah. Kuliah udah 6 tahun belom lulus-lulus juga." Mario menyengir, menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal, "Iya si bener, hehehe. Makanya ajarin gue, Yon. Biar gue ketularan pinter juga." Dion menggeleng, berdebat dengan Mario tak ada habisnya. Lalu menjalankan mobilnya meninggalkan kampus. Mario menatap pemandangan di luar kaca, menatap padatnya kendaraan yang berlalu lalang. Jakarta memang selalu begini, tak jauh dari polusi dan kemacetan. 10 menit perjalanan, Mario tersadar saat Dion mengambil jalan yang berbeda. Ini bukan jalan menuju rumahnya ataupun tempat angkringan. "Yon, ini bukan jalan kerumah, kan?" "Memang bukan," jawab Dion menatap lurus jalanan. "Memangnya kita mau kemana?" "Rumah sakit." ***** Dion dan Mario menatap wanita yang terbaring lemah di atas bangsal. Perasaan mereka sama. Sama-sama merasa bersalah. Kepala wanita itu diperban, dan wajahnya luka-luka akibat tergerus aspal. Kaki kanannya juga dipakaikan gips, kata dokter tulang kering wanita itu retak. Dan kedua tangannya di perban, karena kulitnya robek. Mario duduk di kursi sebelah bangsal menatap kasihan wanita itu. "Menurut lo kapan dia bangun?" Dion menghela, rasa bersalah menyelimuti hatinya, "Entah. Gue berharap dia baik-baik aja, Mar," jawab Dion yang berdiri di samping bangsal. Menatap wanita malang itu. "Gimana kalo seandainya dia bangun. Dan ngenalin kita tersangkanya." Dion menunduk, "Gue siap tanggung jawab kalo gitu." Mario terkejut setengah mati,"Apa lo bilang?!" "Lebih baik gue tanggung jawab, Mar. Daripada dibayangin dosa seumur hidup." "Jangan ngomong yang aneh-aneh, Yon. Lu bisa tanggung jawab apa emang?!" "Gue akan bertanggung jawab sampai ingatannya kembali." Mario menggeleng, mendecak tak setuju, "Gila lu, Yon. Kalo cewe itu inget, yang masuk penjara. Bukan lu doang, gue juga." "Kalo seandainya gue masuk penjara, mau gimana lagi. Berani berbuat berani bertanggung jawab." "Seterah lu, Yon. Capek gue ngomong sama batu." Dion tak mempedulikan ucapan Mario. Netra matanya terus saja menatap wanita itu sampai akhirnya ia dikejutkan sesuatu. Jari wanita itu tiba-tiba bergerak membuat Dion buru-buru memencet tombol merah di dinding. Pria berambut Spike itu menggenggam tangan lemah wanita itu, "Semoga baik-baik aja," ucapnya merapalkan doa. Tak berselang lama, Dokter dan suster pun datang membawa peralatan medis. "Mohon keluar sebentar ya pak, kami ingin mengecek kondisi pasien." Dion mengangguk mendengar ucapan suster. Lalu menarik tangannya. Namun tak bisa lepas. Wanita itu membalas genggamannya, membuat Dion sedikit terkejut. "Gak bisa lepas dok." Dokter itu tersenyum, "Sudah biarkan saja sus. Sebuah keajaiban terjadi. Itu pertanda dia segera sadar." Dion hanya bisa tersenyum tipis. Sungguh, ia merasa sedikit lega. Dokter berumur 50 tahunan itu menepuk pundak Dion, "Anda pacar yang baik." Sang pelaku hanya tersenyum canggung. Pacar ya? Dokter itu memeriksa denyut jantung wanita itu dengan stetoskop, setelah selesai ia mengalungkan stetoskop-nya kembali ke leher. Dion dan Mario menatap dokter tersebut, menunggu jawaban. "Sebentar lagi dia sadar. Jangan mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan memorinya ya. Itu beresiko." Dion dan Mario mengangguk mengerti. Lalu setelahnya dokter dan suster tersebut meninggalkan ruangan. Perlahan mata wanita itu terbuka, mengerjapkan matanya beberapa kali menatap ruangan serba putih. Bau pahit obat-obatan menusuk indera penciumannya. "Aku dimana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN