You Know Me

1987 Kata
Malam itu menjadi malam paling panjang selama hidup Sky. Di sana, ia ditanyai mengenai keluarganya yang langsung dijawab pendek oleh Sky, “saya tinggal sendiri. Saya yatim piatu.” Sky memperkenalkan diri sebagai Andrea, nama aslinya dan telah berusaha menolak segala rencana sepihak keluarga itu. Ia menjelaskan bahwa ia hanya teman lama Marcel dan tidak sedekat yang mereka pikirkan. Sialnya, di saat ia mati-matian menjelaskan, Marcel tetap tidak mengeluarkan sepatah katapun. Pria itu tampak pasrah dengan rencana itu. Yang Sky pikir mungkin sebagai ajang balas dendam padanya. “Kami sudah merencanakan itu dan semua keluarga besar juga kolega sudah tahu kalau Marcel akan menikah dalam waktu dekat. Kami ingin semuanya berjalan sesuai rencana.” Pria tua dengan rambut kelabu itu tampak tidak bisa diganggu gugat. “Paling tidak kamu harus bertanggung jawab karena hadir di saat yang tidak tepat.” tambahnya. Sky tidak salah kalau berpikir malam itu akan menjadi panjang. Pria tua itu mengintrogasinya dan bertanya segala macam hal pribadinya yang membuatnya tidak nyaman. Mereka semua memperkenalkan diri satu-persatu. Pria itu itu, lalu anak laki-laki yang menikahi seorang wanita cantik yang telah melahirkan tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. “Sahara…” Seorang gadis, yang ia taksir umurnya sekitar dua puluh limaan menyebutkan namanya sambil tersenyum. Mata Sky lalu menatap ke arah Marcel yang sepanjang ia di sana sudah seperti patung. Itu sudah sebutan yang paling baik karena hewan saja meski tidak bisa bicara masih bersuara. “You know me.” kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Marcel saat keluarga selesai memperkenalkan diri. Ia perlu berbicara dengan Marcel. Ia perlu pria itu untuk membantunya membatalkan rencana pernikahan itu. Ia tidak pernah dimintai pertanggung jawaban atas hidup orang yang ia hancurkan, dan kali ini pun tidak. Ini tidak pernah ada dalam bayangannya. Ia tidak pernah tahu bahwa akan ada orang yang mencari dan mengetahui keberadaannya. “Aku perlu bicara dengan Marcel.” kata wanita itu akhirnya. Ia melihat pria tua itu mengangguk. Ia berdiri, begitu juga Marcel yang akhirnya berjalan lebih dulu ke halaman di belakang rumah. “Apa-apaan ini? Kenapa kamu diam saja?” Sky berusaha menjaga nada suaranya. Ia tidak tahan untuk tidak menatap Marcel dengan jengkel. Pria itu menyandar di salah satu pilar dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Pria itu menatap Sky dari atas sampai bawah dengan pandangan mencemooh. “Kakekku tidak akan mau mendengar semua penjelasanku. Yang dia tahu, perjodohannya batal dan ia perlu seseorang untuk membuat pernikahanku berjalan sesuai rencana.” Itu adalah kalimat terpanjang yang Sky dengar dari Marcel. Sky mengembuskan napasnya frustrasi. Ia berjalan mondar-mandir sambil berpikir. Ia perlu jalan keluar. Ia tidak ingin terjebak dalam perangkap yang ia buat sendiri. “Kalau kamu pikir bisa menghindar dari ini, kamu salah. Kamu harus tahu kalau kakekku akan mencarimu ke ujung dunia sekalipun.” Marcel memberitahu wanita itu bahwa tidak ada gunanya untuk berpikir untuk menghindari rencana itu. Sky berdiri di depan Marcel dan menatap tepat ke manik mata pria itu. “Kamu sendiri… tidak keberatan dengan rencana itu? Kamu sama sekali tidak mengenalku.” kata Sky akhirnya. Sky melihat pria itu mengangkat bahu tidak acuh. “Aku tidak pernah benar-benar peduli dengan rencana pernikahan itu. Aku tidak peduli siapa yang harus aku nikahi. Entah kamu atau perempuan bodoh lainnya.” Marcel menegakkan tubuhnya dan meninggalkan Sky dengan kebingungan besar. Ia tidak mengerti kenapa bisa ada pria berhati dingin seperti Marcel. Penikahan adalah sesuatu yang sakral dan pria itu membuatnya seolah itu upacara anak sekolah setiap hari senin. *** Sky membuka pintu dengan kasar. Ia menaruh tasnya dengan asal dan masuk ke dapur. Chase, Rocky dan Marshal menatap Sky kebingungan. Mereka bertiga tengah menyantap mie instan dalam cup. “Ada apa?” Chase bertanya setelah melihat Sky mengisi gelas dengan air dingin dan meneguknya hingga tandas. “b*****h itu…” Sky menarik napas panjang. Tiga pasang mata yang ada di sana menatap Sky lekat-lekat. Sky akhirnya menceritakan apa yang terjadi padanya. Tiga pasang bola mata itu serasa ingin mencuat dari tempatnya. Waktu terasa berhenti dan mereka bertiga saling pandang. “Bagaimana mereka bisa menemukanmu?” Marshal bertanya sementara Rocky buru-buru keluar dan menutup semua tirai di ruangan depan. Ia juga mengintip dan celah jendela dan memastikan bahwa tidak ada yang mengintai rumah itu. Setelah merasa aman, ia kembali ke dapur. “Keluarga itu benar-benar berpikir aku selingkuhan b*****h itu.” kata Sky dengan dengusan kasar, “mereka ingin aku bertanggung jawab dengan menjadi pengantin perempuan.” Sky mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Mereka tahu kamu tinggal di sini?” Chase bertanya dan bernapas lega saat melihat Sky menggeleng. “Aku memberi alamat palsu pada mereka.” “Jangan keluar rumah dulu saat ini.” Rocky memberi tahu. Sky mengangguk meski masih merasa tidak tenang. Ia ingat apa yang dikatakan Marcel. Ia tidak akan bisa bersembunyi dan pria tua itu akan mengejarnya sampai ke ujung dunia. Jika pria tua itu bisa menemukannya dalam waktu beberapa hari tanpa informasi apapun tentangnya, ia yakin pria itu bukan pria sembarangan. Sky mengambil laptop di ruangan kerja mereka dan membawanya ke dapur. Ia mengetikkan nama pria tua itu dalam mesin pencarian. “Kenapa?” Marshal bertanya. Ia dan dua temannya mendekati Sky dan ikut membaca berita di layar laptop itu. “Pria tua itu pemilik perusahaan manufaktur terbesar. Dia juga punya beberapa usaha dibidang pariwisata, kesehatan dan.... Keluarga itu sangat kaya.” katanya dengan mulut terbuka. “Pria itu bagaimana?” Chase menatap Sky dengan raut wajah penasaran. Sky berdecak. Sangat mengesalkan jika mengingat b*****h itu. “Dia diam saja. Dia sepertinya tidak keberatan dengan rencana itu.” “Mungkin dia benar-benar gay. Dia tidak peduli akan menikah dengan siapa.” Rocky yang mengatakan itu. *** Ini adalah hari ke tujuh Marshal mengintai Si Mahasiswa Terduga Narkoba. Dua hari pertama, ia mengintai segala aktivitas laki-laki itu dan tidak ada yang mencurigakan. Hari ke tiga, ia berhasil mendekati laki-laki itu dan berkenalan di sebuah skate park. Marshal membawa papan skate yang ia sewa dan mencobanya di sana. Marshal tidak jago, namun lumayan untuk membuatnya bisa mengobrol banyak dengan Si Terduga Narkoba. Selain aktif menjadi mahasiswa, Si Terduga Narkoba juga tengah merintis karier sebagai band bersama teman-temannya. Hari ini ia menunggu laki-laki itu karena tahu bahwa dia selalu ke sana setiap hari. Laki-laki itu langsung menyapanya dengan ramah seperti mereka sudah lama kenal. “Kamu tahu, aku mendengar bahwa laki-laki itu pecandu.” Marshal menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di bawah pohon sementara Si Terduga Narkoba langsung menatapnya dengan waspada. Laki-laki itu langsung beringsut menjauh dan mengambil ransel dan papan skatenya. Si Terduga Narkoba bersiap pergi dari sana. “Hei tunggu…” Marshal menahan tangan laki-laki itu yang mulai terlihat ketakutan, “aku bukan polisi atau orang-orang mereka.” Marshal perlu memperjelas supaya laki-laki itu tidak kabur. “Kamu yakin?” Si Terduga Narkoba bertanya dengan nada ragu. Ia melihat laki-laki itu mengangguk. Marshal mengeluarkan dompet dari dalam saku belakang celananya dan melemparkannya ke arah Si Terduga Narkoba. Meminta laki-laki itu memeriksa bahwa ia tidak memiliki identitas kepolisian atau apapun yang bisa menjadi alasan ketakutannya. Si Teduga Narkoba membuka dompet itu dan mengeluarkan identitas Marshal. Identitas yang jelas sudah dipalsukan. Ia mengeluarkan beberapa kartu ATM dan lembaran uang di sana. Tidak ada yang mencurigakan. “Aku bisa jamin.” Marshal menggeser tubuhnya kembali mendekati Si Terduga Narkoba. Ia merangkul pundak laki-laki itu dan kembali menatap laki-laki di bawah pohon. “Kamu mengenalnya? Aku sebenarnya membutuhkan informasi di mana ia mendapatkan barang itu.” Si Terduga Narkoba menatapnya dengan tatapan tidak percaya, “kamu pecandu?” tanyanya. Marshal mengangguk. “Kamu bisa mengenalkanku padanya?” Marshal bertanya. “Apa yang kamu butuhkan?” Si Terduga Narkoba mulai masuk dalam perangkapnya. “Sabu.” kata Marshal. Marshal melihat Si Terduga Narkoba menelan ludah dan tampak terdiam kebingungan. “Aku perlu mendapatkan barang itu. Aku butuh barang itu secepatnya karena orang yang biasa menyuplai padaku sedang kosong.” kata Marshal, “aku pernah bertemu dengan orang baru dan si b*****t itu memberikan sabu oplosan.” Mashal berusaha terdengar meyakinkan. Ia tidak tahu bagaimana wajah Si Terduga Narkoba itu karena ia terus menatap laki-laki di bawah pohon itu. “Sejak kapan kamu jadi pecandu?” Si Terduga Narkoba bertanya. “Satu tahun terakhir.” “Kenapa?” Marshal telah menyiapkan jawaban itu. Ia bercerita awal mulanya, dibumbui segudang masalah di hidupnya dan menyadari bahwa Si Terduga Narkoba tampak sangat percaya dengan ceritanya. *** Sky menempati rumah yang juga ia jadikan kantor itu bersama Chase. Marshal dan Rocky tinggal terpisah di tempat berbeda. Saat ini, Sky tahu tempat yang paling aman buatnya adalah rumah. Ia benar-benar tidak pergi ke mana-mana sementara teman-temannya sibuk berada di luar dan menjalankan misi. Seharian ini Sky menatap layar komputernya dan terus menerus merasa gelisah. Entah kenapa ia tidak yakin bahwa ia bisa bersembunyi. Ia merasa bahwa ia bisa sewaktu-waktu ditemukan dan ia tidak siap jika harus menikah dengan b*****h berhati dingin itu. Chase dan Rocky masuk ke dalam rumah bersamaan. Ini hari pertama mereka mengintai seseorang suami yang diduga memiliki selingkuhan. Sang istri curiga namun tidak bisa mencari bukti karena sama sekali tidak bisa membuka ponsel suaminya. Si istri percaya instingnya tidak mungkin salah. Pekerjaan mereka memang lebih banyak didominasi oleh dugaan berselingkuh. Mereka dituntut untuk bisa memberikan bukti secara akurat. Bagaimana Sky berpikir ingin menikah jika ia tahu bahwa pria setia sudah sangat jarang. “Tidak ada yang aneh.” kata Chase sambil duduk dan membuka kantong berisi minuman kaleng dan makanan yang ia bawa. Memang biasanya mereka tidak bisa mendapatkan informasi apapun pada hari pertama, atau bahkan sampai satu minggu sekalipun. Jika sudah terlalu lama, biasanya mereka akan lebih nekat. Mendekati target dan menyadap ponselnya. Rocky yang paling ahli dalam hal itu. Marshal masuk ke dalam rumah dan langsung bergabung dengan ketiganya. Ia melemparkan ranselnya dan mengambil satu kaleng minuman di atas meja. “Ibunya benar. Dia pecandu.” kata Marshal setelah ia meneguk sedikit isi kalengnya, “sudah setengah tahun terakhir. Dia mengenal barang itu dari teman satu bandnya.” Ia melanjutkan ceritanya. “Kamu punya bukti?” Sky bertanya dan melihat laki-laki itu mengeluarkan ponselnya. “Aku merekamnya.” katanya, “dia juga bilang kalau dia membeli barang itu dengan uang kuliahnya. Ibunya tidak tahu kalau ia belum membayar biaya satu semester.” Ketiga orang itu saling pandang. Mereka memang tidak peduli dengan masalah internal target ataupun klien mereka, namun hal-hal sepeti ini membuat mereka miris. “Kamu tahu di mana dia biasa menyimpan barang itu. Kita perlu informasi itu agar ibunya bisa menggeledahnya sehingga dia tidak bisa menyangkal.” Sky menatap Marshal yang sedang meneguk minumannya. “Di toilet kamarnya. Di sekitar closet.” Suara ketukan pintu yang tiba-tiba membuat keempat orang itu saling menatap waspada. Tidak pernah ada yang pernah mengetuk pintu itu karena mereka tidak mengenal orang lain. “Biar aku yang buka.” kata Chase sambil berdiri. Ia menyeberangi ruang tamu dan mengintip lewat celah tirai. Mata membulat saat melihat empat orang berpakaian serba hitam berdiri di depan pintu rumahnya. Ini jelas ada yang tidak beres. Suara ketukan itu terdengar lagi dan membuat Chase terlonjak dan kembali masuk. “Empat orang dengan pakaian serba hitam ada di luar.” katanya. “Itu pasti suruhan pak tua itu.” kata Sky. “Pergi saja lewat pintu belakang.” Rocky memerintah. Sky menggeleng dan menatap ketiga temannya. “Jika aku pergi, mereka akan masuk dan menggeledah tempat ini. Ada banyak informasi penting di ruangan ini.” katanya. Ia tahu bahwa selian mereka berempat, tidak ada yang boleh masuk ke dalam rumah ini. Beberapa informasi klien belum sempat mereka hancurkan dan mereka tidak ingin ada yang tahu apa yang mereka kelola di ruangan ini. Suara ketukan itu terdengar lagi. “aku akan keluar.” kata Sky akhirnya. “Kamu yakin?” Marshal menatap Sky yang menelan ludah dan akhirnya mengangguk pelan. Suara ketukan semakin kencang. Sky meninggalkan teman-temannya dan mendekati pintu. Ia menarik napas panjang sebelum mengulurkan tangan untuk membuka pintu. “Nona Andrea, silahkan ikut kami.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN