BAB 5 — Amukan Pemukul Baja

1240 Kata
Halaman belakang sekolah masih berantakan oleh sisa pertarungan. Dua belas anggota Geng COBRA tergeletak dengan wajah lebam dan tubuh penuh luka. Di tengah mereka, Alvaro berdiri tegap dengan napas yang mulai stabil. Dina mendekatinya dengan langkah gugup, tetapi sebelum ia sempat lega, terdengar langkah kaki berat dari arah gerbang samping. Dua sosok muncul dari lorong sempit. Suasana langsung berubah seolah udara menjadi lebih padat. Yang pertama adalah Anton, wajah dipenuhi dendam setelah dipermalukan. Di sampingnya berjalan seorang pria bertubuh raksasa, hampir dua meter, dengan bahu selebar pintu dan otot seperti pahatan batu. Rambutnya pendek, rahang kokoh, tatapannya dingin seperti predator. Saat ia membuka jaketnya, tampak tato besar di dadanya: “COBRA – Cabang Utama.” Bisik-bisik ketakutan langsung terdengar dari siswa-siswa yang masih menonton. “Itu… Boni.” “Pemukul Baja!” “Juara tinju amatir… katanya pernah ngalahin tiga orang sekaligus!” Dina menelan ludah, tubuhnya bergidik. Alvaro hanya menghela napas pelan lalu menatap mereka, matanya tajam seperti bilah pedang. Boni berhenti tiga meter di depan Alvaro dan menggerakkan lehernya hingga terdengar bunyi retakan menyeramkan. “Jadi ini anaknya?” suaranya berat seperti guntur. Anton menunjuk gemetar. “I—itu dia, Bang. Yang ngalahin dua belas anak kita.” Boni mendengus saat melihat anak buahnya bergelimpangan. “Memalukan. Anak sekolah biasa berani menginjak harga diri kami.” Ia melangkah maju setengah meter. “Kau harus tanggung akibatnya.” Dina langsung menghalangi Alvaro. Tubuh kecilnya bergetar. “Bang! Tolong… kami minta maaf kalau ada salah. Jangan sakiti kakakku…” Boni menatap Dina seperti melihat anak kucing. Anton justru menyeringai. “Sudah terlambat, Dek.” Alvaro menyentuh bahu Dina, menenangkannya. “Dina, mundur. Ini cuma sebentar.” “Tapi Kak… dia besar sekali—kau belum pulih…” “Percayalah.” Setelah Dina mundur, Alvaro memutar pergelangan tangannya. Dalam pandangan batinnya, sistem virtual muncul. [SISTEM TERBUKA] Poin tersisa: 40 Ia menambahkan 10 poin ke Karate Mastery — naik ke Level 3. Gerakannya kini lebih cepat, presisi meningkat, insting bertambah. Sisa poin ia masukkan ke peningkatan fisik dan kecepatan. Cahaya tipis menyelimuti tubuhnya sekejap. Kekuatan fisik total: 49 Kecepatan total: 42 Itu berarti ia melampaui kekuatan rata-rata anggota COBRA (18–30). Bahkan Boni — monster tinju — hanya berada di angka 40. Boni melihat perubahan aura itu. “Berani sekali kau,” katanya sambil maju. Ia tidak menyerang dulu. Ia mengangkat kedua tangan dalam posisi boxing stance, sikap petinju profesional. Alvaro bersiap dengan kuda-kuda karate, pusat gravitasi turun, tangan kanan siap counter. Hening membentang. Kemudian Boni melesat cepat, mengejutkan banyak orang yang tak menyangka tubuh sebesar itu bisa bergerak demikian. Tinju kanannya meluncur seperti palu besar. Alvaro menghindar setengah langkah, angin pukulan itu saja membuat rambutnya bergoyang. Serangan kiri menyusul, lalu uppercut. Alvaro membaca ritme gerakan itu seperti membaca buku terbuka. Level 3 Karate mempercepat pemrosesan instingnya. Kakinya bergerak ringan dan presisi. Saat celah muncul, Alvaro memutar pinggang dan melepaskan tendangan samping keras ke rusuk Boni. Tubuh besar itu bergeser setengah meter. Kerumunan langsung ribut. “Gila! Dia dorong Boni!” Boni menyeringai tipis — bukan senang, tapi tertantang. “Lumayan.” Pertarungan memasuki fase teknis. Boni menghajar dengan kombinasi jab–cross–hook, setiap pukulan cukup kuat untuk merobohkan orang normal. Alvaro memblok dengan siku, memutar bahu, lalu membalas dengan pukulan lurus ke solar plexus Boni. Tubuh besar itu tersentak tapi tidak goyah. Boni merespon dengan pukulan ganda kanan-ke-kiri dengan tenaga penuh. Alvaro menangkis pukulan pertama, tapi pukulan kiri mendarat telak. BUGH! Alvaro terdorong tiga langkah ke belakang. Dina menjerit. Alvaro mengatur napas, menahan sakit. Sistem menunjukkan luka ringan. Namun pertarungan belum selesai. Kali ini Boni menyerang lebih brutal: mendorong, memojokkan, mengunci, dan mematahkan ritme gerak Alvaro dengan teknik ring profesional. Tubuh Alvaro beberapa kali terkena pukulan keras, tetapi setiap pukulan juga memberinya informasi: pola, tekanan, kecepatan, sudut. Ia mempelajari semuanya. Serangan Boni semakin cepat. Alvaro semakin cermat. Pada rentetan serangan keempat belas, Alvaro melihat celah. Saat Boni melepaskan right cross, Alvaro bergerak ke kiri, menunduk, lalu menghantam rusuk Boni dengan siku. Boni menahan sakit, tapi serangan belum selesai: tendangan memutar Alvaro mengenai lengan kiri Boni dan membuatnya mundur. Penonton makin liar: “Alvaro balikin serangan! Anjir ini anak siapa?!” Pertarungan menjadi duel antara kekuatan brutal dan teknik matang. Enam menit berlalu. Keringat dan darah bercampur. Nafas keduanya berat namun fokus. Dan akhirnya datang momen penentu. Boni melepaskan pukulan terkuatnya, pukulan yang biasa ia gunakan untuk menjatuhkan lawan di ring. Alvaro melihat arah bahu, pinggul, dan posisi kaki. Semuanya terbuka. Saat pukulan itu hampir menyentuh wajahnya, Alvaro mencondongkan tubuh, memutar pinggang dan melepaskan reverse punch paling presisi yang ia miliki — tepat ke rahang Boni. THRAAAK! Seperti suara batu dihantam palu. Tubuh Boni terangkat sedikit lalu jatuh terduduk. Semua siswa membeku. Dina menutup mulutnya, terkejut dan lega sekaligus. Boni mencoba bangkit, tetapi lututnya gemetar. Tubuh besar itu akhirnya tumbang sepenuhnya. Anton melangkah mundur ketakutan. Alvaro mendekatinya perlahan. Tatapannya dingin, membuat Anton gemetar sampai punggungnya menempel ke dinding. “J—jangan… jangan dek—dekati aku!” Alvaro memegang pergelangan tangannya lalu— KRAK! —mematahkan jari telunjuk Anton. Jeritan melengking terdengar keras. Alvaro menatapnya dekat. “Sentuh adikku lagi… sedikit saja… yang kupatahkan bukan cuma jarimu.” Anton terjatuh, menangis ketakutan. Siswa-siswa merekam semuanya. Satu anak melawan dua belas anggota + satu ketua cabang. Semuanya tumbang. Di markas pusat COBRA, sebuah gudang tua, suasana mendadak hening ketika seorang anggota memutar video kejadian itu. Bobby Pratama — ketua utama COBRA — menatap layar dengan wajah keras. Di sampingnya ada tiga ketua cabang lain: Rico, Jordan, Malik. “Ini apa?” suara Bobby dingin. “Dua belas anak kita… sama Boni… dikalahkan satu orang,” jawab anak buahnya gemetar. Rico mengumpat. “Boni? Mana mungkin?” Jordan menggeleng. Malik bersiap seakan menunggu perintah. Bobby menatap layar lebih lama. “Ini bukan anak biasa.” Rico berspekulasi, “Mungkin geng lain sengaja menyerang kita pakai orang luar?” Bobby mengibaskan tangan. “Kalau geng lain mau perang, mereka tidak akan mengirim satu anak SMA.” Ia memberi perintah: “Cari lokasi kejadiannya. Cari tahu siapa anak itu. Aku mau semua laporan lengkap malam ini. COBRA tidak boleh jadi bahan tertawaan.” Matanya kembali ke layar, menatap sosok Alvaro yang berdiri di tengah tubuh-tubuh tak berdaya. “Siapa pun kau… kau sudah buat masalah besar.” Sementara itu, Alvaro dan Dina berjalan pulang. Dina beberapa kali mencuri pandang. “Kak… kau benar-benar cuma luka ringan?” Alvaro tersenyum kecil. “Kakak baik-baik saja.” “Tadi… aku takut sekali… kenapa kau harus melawan sejauh itu?” Alvaro berhenti sejenak, memandang langit senja. “Kakak tidak suka kekerasan. Tapi kalau mereka datang menantang, Kakak tidak boleh kalah. Karena kalau Kakak kalah… kau yang akan mereka incar.” Dina terdiam. Sesampainya di kontrakan kecil mereka, Alvaro masuk ke kamar dan mengambil tas besar. Ia memasukkan pakaian, dokumen, dan barang penting lainnya. Dina melihat dengan bingung. “Kak? Kau mau apa?” “Kita pindah,” jawab Alvaro singkat. Dina menegang. “Karena COBRA? Karena mereka bisa menemukan kita?” Alvaro tidak langsung menjawab. Ia menatap Dina beberapa detik, lalu berkata pelan, “Kita pindah… karena Kakak menemukan tempat yang lebih aman dan lebih baik untuk kita.” “Tempat apa? Kita pindah ke mana?” Alvaro hanya tersenyum tipis. “Besok kau akan tahu.” Malam itu, angin terasa lebih dingin. Dina masih bingung dan takut, sementara Alvaro memandang keluar jendela dengan tatapan yang menunjukkan satu hal: badai baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN