Kabur

1401 Kata
*** “Engh… capek…” Gendhis meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah bangun tidur. Namun, begitu dia ingat jika tidurnya malam tadi bukan tidur biasa, dia langsung membelalakkan matanya. “Astaga, Gendhis! Apa yang udah lo lakuin?” Tanyanya pada diri sendiri. “Bego! Bego! Bego!” Gendhis memukul-mukul kepalanya sendiri, seolah sedang menyalahkan benda bertengkorak itu karena tidak bisa berpikir dengan baik, hingga mengantarkannya pada kondisi saat ini. “Ceroboh banget sih gue? Nggak cuma gampang diprovokasi sama Laura, tapi gue malah ngerayu om-om sampai kayak gini.” Wanita itu meluruhkan bahunya miris. Memeriksa dirinya sendiri yang kondisinya sudah sangat mengenaskan. Tubuhnya di balik selimut putih itu, nyatanya sudah tidak berharga tanpa busana. Kissmark dimana-mana, terlebih tubuh bagian bawahnya terasa nyeri. “Jadi, gue udah nggak perawan lagi?” Wajahnya yang cantik itu, dia raup kasar, tak terlalu cepat. “Gimana gue mau nikah kalau kayak gini? Mana ada cowok yang mau sama gue. Hiks.” Hampir saja wanita itu menangisi nasibnya sendiri, tapi Gendhis mendadak menyadari sesuatu. “Eh, kemana orang yang semalam?” Alih-alih melanjutkan menangis, Gendhis justru memeriksa seluruh penjuru kamar yang dia tempati dengan matanya. “Nggak ada.” Gumamnya setelah memastikan. “Kayaknya, orang itu kabur deh.” sedetik kemudian, Gendhis menghela nafas panjang. “Bagus deh. Seenggaknya dia nggak minta pertanggung jawaban sama gue.” Bukan tak ada alasan Gendhis mengatakan itu. Sebab, dia sadar semua yang terjadi semalam adalah salahnya sendiri. Turun dari sofa bed yang dia tempati, Gendhis lantas mengenakan dress-nya lagi, mengabaikan rasa tak nyaman di tubuh bawahnya. Dia juga memunguti tasnya yang isinya tercecer di lantai sejak semalam. Setelahnya, dia keluar dari ruangan—yang Gendhis yakini serupa dengan ruangan tempat pesta temannya tadi malam, namun dalam versi lebih kecil. Rupanya, setelah Gendhis keluar dari ruangan itu, Bhumi yang sebelumnya tengah ada urusan pekerjaan, panik begitu menemukan Gendhis tidak ada disana. “Cepat cari wanita itu, Jim! Bawa dia padaku, karena dia berhasil membuatku bangun. Dia harus mengandung anak laki-laki untukku secepatnya.” Sedangkan Gendhis, baru saja masuk ke rumah milik Pakde-nya, yang sudah dia tempati sejak dua tahun belakangan. Kakak dari ibunya itu adalah orang yang menjaganya pasca kedua orang tuanya meninggal dunia. “Enak ya, jalan malem-malem sampai lupa pulang?” Gendhis menghentikan langkahnya. Meskipun dia tahu akan ada perdebatan setelah ini, wanita itu tetap meladeni sepupunya. “Wow! Abis nginep sama cowok mana lo?” Gendhis menepis kasar tangan Radit yang hendak menyingkap rambutnya. Tapi, sampai detik ini Gendhis belum bersuara kecuali hanya decakan. “Cih! Sok suci. Nggak mau nggak mau sama gue, tapi di luar sana mainnya sampai ninggalin cupang.” Radit mencondongkan tubuhnya, mencoba menghidu aroma Gendhis yang mencurigakan. “Lo melacur ya? Bau lo, parfum mahal.” komentarnya lagi. “Bukan urusan lo.” Sahut Gendhis acuh. Tapi rupanya, jawaban Gendhis membuat Radit tak terima. “Heh, Gendhis! Lo pikir, lo pulang kemana sekarang? Sadar diri dong! Lo itu pulang ke rumah gue. Jadi, wajar kalau gue negur lo.” “Kalau nggak kepaksa, gue juga nggak akan pulang kesini.” Gendhis menjawab berani. Rasanya, dia juga sudah hampir ikut terpancing oleh Radit yang setiap hari menguji kesabarannya. “Lo lupa kalau rumah orang tua gue udah disita bank karena Mama lo? Kalau rumah gue masih ada, gue nggak akan tinggal disini.” Tekan wanita itu lagi. “Nggak usah ungkit-ungkit itu lo, Dhis! Dasar cewek nggak tahu balas budi. Perkara rumah doang, lo sampai nggak hargain orang tua gue yang udah ngasuh lo.” “Ngomong tuh sama tembok! Gue males ngomong sama lo. Gue tahu, lo cari gara-gara terus, cuma biar bisa ngobrol sama gue kan?” Radit mendelik karena ucapan Gendhis. Gendhis yang tidak peduli, hanya berjalan meninggalkan Radit menuju ke kamarnya sendiri. “Hei, sialan! Jangan sok kecantikan lo! Gue udah nggak selera sama lo lagi. Lo udah bekas orang banyak.” Teriak Radit, tak terima diacuhkan. Gendhis sengaja menjeda sebentar pergerakannya membuka pintu kamar. “Ya! Lebih baik, lo jangan berselera sama gue. Gue udah dipakai banyak orang. Takutnya, gue yang nggak puas sama lo, karena orang-orang di luar sana jauh lebih luar biasa daripada lo.” “b*****t!” Hampir saja, Radit menyerang Gendhis, tapi beruntung, Gendhis langsung bisa masuk kamar dan mengunci pintunya dengan cepat. “Woy, Gendhis! Buka pintunya! Jangan kurang ajar lo!” Gendhis hanya menghela nafasnya dalam-dalam. Lelah. Ya, dia lelah. Tapi, bukan karena teriakan dan gedoran pintu di luar sana. Melainkan, Gendhis sedang memikirkan sesuatu yang sejak tadi memenuhi laman pencarian di ponselnya. [Mel, bantu gue cari morning after pil! Gue nggak tahu dapetnya dari mana] * * “Apa perlu Papa carikan dokter, Bhumi?” Langkah Bhumi terhenti sesaat sebelum menaiki tangga, karena mendengar ledekan di telinganya. Dia menoleh ke arah sumber datangnya suara, menghadap lelaki tua yang sedang duduk di sofa dengan jumawa. “Aku sedang malas berdebat, Pa.” Sahut lelaki itu. Sebenarnya, sedikit terkejut karena tak menyangka sang ayah akan datang ke rumahnya. “Papa nggak ngajak kamu berdebat, Bhum. Papa serius. Peringatan Papa juga nggak main-main. Biar bagaimanapun, Sakha juga keturunan sah keluarga ini. Kamu tahu kan? Istri Sakha sedang mengandung keturunan keluarga kita.” “Hem… aku tidak peduli. Belum jelas juga anak Sakha laki-laki atau perempuan.” Bhumi yang sejatinya sedang gelisah, berusaha tetap tenang di balik wajah dinginnya. Wisnu Mahawira, lelaki yang masih menjadi akar Mahawira grup itu, bangkit dari duduknya. “Tapi, tetap saja itu bisa mengancammu. Papa nggak mau di kemudian hari kamu menyalahkan Papa sebagai orang tua yang nggak bertanggung jawab kalau jabatanmu sekarang akan jatuh ke tangan Sakha.” “Mana bisa?” Bhumi sampai memasang wajah menantang karena tak tahan. Nyatanya, ucapan bernada peringatan itu terdengar seperti ancaman di telinga Bhumi. “Walaupun Sakha berasal dari istri sah Papa setelah Mama meninggal, tapi tetap aku yang menjadi keturunan laki-laki pertama di keluarga kita.” “Bukan itu maksud Papa, Bhum. Tapi, anak Sakha lah yang akan menggantikan kamu kalau kamu nggak punya keturunan laki-laki. Kamu nggak lupa kan?” Lelaki tua tersenyum miring penuh arti, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Bhumi. “Selain anakmu itu hanya anak perempuan yang nggak bisa apa-apa, dia juga anak haram di keluarga ini.” imbuh Wisnu lagi, penuh provokasi. Bhumi mengeraskan rahangnya berusaha menahan amarah yang mulai mendera. “Papa nggak pantas mengatakan itu ke cucu Papa sendiri. Sakha juga bukan keturunan yang baik di keluarga ini. Dia anak selingkuhan Papa yang membuat Mama sampai depresi.” “Makanya, itulah kenapa kita harus pintar, Bhum.” Wisnu menanggapi santai, berbanding terbalik dengan Bhumi yang menggebu. “Kamu mencintai Amira, tapi kamu tidak bisa bermain cantik. Bisa-bisanya, seorang Bhumi Mahawira menghamili teman sekolahnya.” Senyum mengejek kembali terpatri di bibir Wisnu. “Beda sama Papa. Meskipun kamu menyebut Papa selingkuh, tapi Sakha lahir setelah pernikahan Papa sah dengan Mamanya.” Tangan Bhumi mengepal sempurna. Tapi, karena dia ingat jika orang di depannya itu adalah orang tuanya kandungnya sendiri, dia masih mampu menahan diri untuk tidak mengayunkan kepalan tangannya. “Aku nggak peduli sama Papa dan keluarga Papa. Tapi, asal Papa tahu. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengambil perusahaan yang sudah kakek bangun dengan susah payah, termasuk Papa yang hanya menyumbang nama setelah menikahi Mama.” Setelah mengatakan hal itu, Bhumi meninggalkan Papanya tanpa menunggu lelaki itu menjawabnya. Bukan tanpa alasan Bhumi membenci Papanya dan keluarga barunya. Pasalnya, selain ibu tirinya adalah selingkuhan Papanya di masa lalu, Wisnu dan Sakha sedang berusaha merebut kekuasaan di Mahawira grup yang sejatinya adalah perusahaan milik orang tua Rahayu—Mama Bhumi. Itulah sebabnya, Bhumi menyebut jika sang Papa hanya menyumbang nama saja di perusahaan tersebut. Masuk ke kamarnya, Bhumi lantas mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang. “Sudah kamu temukan dia, Jim?” Tanya Bhumi tanpa basa-basi kepada asistennya. “Belum, Bos. Masalahnya, kami nggak tahu siapa yang tidur sama Bos semalam. Bos tahu sendiri saya sedang mengawasi Nona Laura.” suara Jimmy terdengar menyesal. Bhumi mengusap wajahnya kasar. Jika berkaitan dengan putrinya yang ia besarkan sendiri setelah mendiang istrinya meninggal dunia, lelaki itu akan selalu luluh. Kecelakaan 5 tahun silam, selain membuat Bhumi harus kehilangan istrinya, dia juga harus kehilangan gairahnya. Awalnya, dia pikir karena dia terlalu mencintai Amira. Tapi, setelah dia bertemu Gendhis, Bhumi merasakan hal yang berbeda. “Baiklah… Kalau begitu, cari terus informasi tentang wanita yang semalam bersamaku. Kalau perlu, minta bantuan pihak hotel untuk memeriksa semua tamu yang datang ke club semalam!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN