Papa Laura

1363 Kata
* * “Lo tuh, Dhis, begonya nggak ketulungan. Hiih!!” Tak! “Awh, sakit, Mel.” Gendhis mengusap kepalanya yang baru saja dijitak oleh Meli. “Ya lo tuh t***l banget.” Saking kesalnya, Meli terus mengomel sampai puas. “Lo tahu nggak kesalahan lo apa aja?” Gendhis mengangguk pelan, karena memang mengaku salah. Ekspresinya persis seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh ibunya. “Terus, kalau lo udah tau salah lo dimana, sekarang gimana? Lo sendiri kan yang rugi kalau kaya gini?” “Ish, jangan ngomel-ngomel terus kenapa, Mel. Iya, gue tau gue salah. Makanya, bantuin gue cari obatnya.” “Ck.” Meli berdecak kesal. Kemudian, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Nih! Inget ya! Minumnya sekaligus dua. Jangan sampai salah!” Gendhis tersenyum manis karena kebaikan sahabatnya. “Thanks banget ya, Mel. Lo emang sahabat gue yang paling baik.” Setelah menerima kotak kecil itu, Gendhis merangkul Meli, meluapkan rasa terima kasihnya. “Gue nggak tertarik denger pujian lo. Gue cuma pengen lo hati-hati, Gendhis. Lo inget napa? Kalau lo udah nggak punya siapa-siapa lagi selain gue. Sedangkan gue—” Grep. “Lo keluarga gue, yang paling gue sayang, Mel.” Potong Gendhis, memeluk erat Meli. “Mau lo bilang, lo nggak bisa selalu jagain gue, tapi lo udah jadi sahabat, sekaligus keluarga gue yang paling berharga buat gue. Justru, gue yang selalu ngerepotin lo.” Kalau sudah begini, Meli hanya bisa menghela nafas pasrah. Apalagi melihat wajah Gendhis yang selalu ceria, namun dia tahu jika sahabatnya itu menyembunyikan banyak luka. “Ya udah, jadi, semalam lo tidur sama siapa?” Tak ingin berlama-lama dalam haru biru yang membuat dadanya sesak, Meli memilih mengalihkan pembicaraan. “Nggak tahu.” Gendhis mengedik acuh. Sedetik kemudian, ekspresinya berubah antusias. “Tapi, orangnya ganteng, Mel. Udah dewasa gitu, kayak om-om eksekutif. Perutnya sixpack, terus itunya juga gede.” Pletak! “Ah, sakit! Kok lo nyentil gue?” Gendhis spontan mengusap keningnya yang terasa panas. “Kesenengan lo ya? Ck, semalem gue pusing nyariin lo, lo nya malah enak-enakan sama om-om.” “Ya nggak enak juga, Mel. Kan kehormatan gue udah direnggut sama orang nggak dikenal.” Gendhis berekspresi berlebihan, pura-pura menangis. “Kenapa lo nggak minta pertanggung jawaban aja sama dia? Bukannya malah kabur kayak gitu.” Gendhis nyengir kuda. “Gue malah takut dimintain ganti rugi. Kan gue yang maksa dia.” “Apa? Lo maksa dia? Gue pikir lo yang dimanfaatin tuh orang.” Gendhis nyengir lagi. “Kan lo bilang, gue bisa mati kalau harus pulang dulu. Terus, lo mau cariin gue penawarannya kan? Nah, emangnya penawarannya apa lagi selain cowok? Gue pikir, daripada lo cariin gue sembarang cowok, gue sama dia aja yang ganteng.” “Ya Tuhan, bodohnya teman hamba yang satu ini!” Meli sampai memekik saking kesalnya. Rasanya, dia ingin menggigit dan mencabik-cabik sahabatnya itu agar sadar. “Bukan gitu maksud gue, Dodol. Gue bilang, lo abis kalau sampai pulang dalam keadaan kayak gitu, kalau lo sampai dimanfaatin sama si Radit lagi. Tahu sendiri kan Radit itu gimana? Bisa-bisa, lo mau diperkosa lagi sama dia kayak waktu itu.” “Ya mana gue tahu. Orang gue nggak sempet browsing. Lagian lo bilang soal penawar segala sih? Gue takut lo cariin gue cowok nggak jelas. Ya kalau dia sehat. Kalau penyakitan?” “Ya terus, lo pikir yang semalem sama lo, udah pasti sehat?” Gendhis mengedikkan bahunya acuh, hingga membuat Meli meniup poninya sendiri untuk meluapkan rasa gemasnya. “Please, Dhis. Udah bener lo di rumah aja nggak usah kemana-mana. Lo tuh sok tahu, sok berani juga, tapi aslinya polos kebangetan.” “Apa sih? Dari tadi ngeledek gue terus. Gue tertekan kalau di rumah terus, Mel.” Gendhis cemberut. “Lo bego, Gendhis! Lo tuh nyadar nggak sih kalau lo itu gampang banget dikerjain sama orang, termasuk Laura?” “Ish, gue kan cuma membela diri. Jelas-jelas gue—” “Gendhis!” Ucapan Gendhis urung berlanjut karena seseorang memanggilnya. Tak hanya Gendhis, Meli pun memutar bola matanya malas melihat pemuda tampan yang mendekat ke arah mereka. “Apa lagi, Leon?” Iya, itu Leon. Lelaki yang baru saja akan menjadi topik pembicaraan mereka. “Semalem lo kemana? Lo nggak apa-apa kan? Gue khawatir sama lo. Laura bilang dia kasih afrodisiak di minuman lo.” Leon terlihat cemas. Hampir memegang lengan Gendhis, tapi langsung ditepis oleh wanita itu. “Gue nggak apa-apa, Le. Gue langsung pulang semalem. Dan lo lihat kan sekarang gue udah bisa ngampus dan masih sehat?” Teringat lelaki itu penyebab seluruh masalahnya semalam, Gendhis menjawab sewot. “Syukurlah… gue khawatir banget sama lo.” Ungkapan rasa simpati Leon, lagi-lagi ditolak Gendhis dengan cara mendorong lelaki yang hampir memeluknya itu. “Udahlah, Le. Lo nggak usah sok perhatian lagi sama gue. Gue males urusan sama cewek lo. Mending lo jangan deket-deket lagi sama gue.” “Tapi, gue beneran peduli sama lo, Dhis. Lo lupa kita udah sahabatan dari SMA?” “Iya. Tapi, sejak lo punya cewek posesif, gue jadi takut. Gue yang disalahin mulu sama dia, padahal Meli juga deket sama lo.” “Gue udah kasih pengertian sama Laura. Pasti, setelah ini dia ngerti. Ayolah, Dhis, kita masih temenan kan? Ya kan, Mel?” Pemuda itu juga minta persetujuan Meli yang hanya merespon dengan senyum malasnya. “Kita masih temenan kan, Bestie?” ulang lelaki itu lagi, untuk meyakinkan. Leon hampir saja merangkul pundak Gendhis yang lebih dekat dengannya, tapi niatnya gagal karena teriakan seseorang. “Leon!!!” Tak hanya Leon yang panik pura-pura menggerakkan tangannya yang menggantung di udara karena tak jadi merangkul Gendhis, Gendhis pun juga langsung bersembunyi di balik tubuh Meli. “Lo sih, Le. Udah gue bilang, nggak usah deket-deket lagi sama gue. Pokoknya, gue nggak mau kalau dia jambak gue lagi.” “Tenang, Dhis. Gue bakal kasih pengertian Laura kalau dia ngapa-ngapain lo.” Leon berlagak yakin, padahal dari suaranya saja lelaki itu juga terdengar gugup. “Kamu ya! Baru aku bilang mau pulang, udah langsung nempel aja sama ani-ani ganjen ini.” Omel Laura setelah berhadapan dengan Leon. “Loh, bukannya tadi Papamu udah jemput? Kalian ada acara kan?” “Kan bener?!” Teriak Laura sambil menghentakkan kakinya kesal. “Jadi, kamu sengaja manfaatin kesempatan nggak ada aku, buat ketemu mereka?” “Astaga, Sayang. Mereka berdua ini temenku sejak SMA. Ayolah, La. Jangan kayak anak kecil gini. Dikit-dikit cemburu, dikit-dikit marah.” bujuk Leon. “Oh, jadi menurut kamu, aku kayak anak kecil? Aku nggak bikin kamu nyaman gitu?” skakmat Laura. “Bukan begitu, sayang.” Leon gelagapan. “Tapi kedekatanku sama Gendhis bukan seperti yang kamu kira. Kita murni cuma temenan.” “Aku bosen denger pembelaan kamu terus, Le. Selalu aja kamu bilang gitu, tapi kamu juga selalu perhatian sama dia.” “Kan kita sahabatan. Jadi, perhatian itu wajar, sayang.” “Kamu nggak kayak gitu kalau sama dia.” Tunjuk Laura kepada Meli. “Sama, sayang. Kamunya aja yang nggak pernah lihat.” Leon berusaha meyakinkan kekasihnya. “Perlakuanku ke Meli sama ke Gendhis itu sama.” “Beda, Leon! Kamu lebih perhatian sama dia, bahkan lebih dari ke aku juga.” “Dahlah, Le. Bener kata Gendhis, mending mulai sekarang lo nggak usah deket-deket lagi sama kita-kita.” Meli yang terlalu malas dengan banyak drama, mulai kesal. “Dari awal, cewek lo emang udah sensi sama Gendhis. Lo juga tahu kan kalau semalam dia kasih Gendhis afrodisiak?” “Tapi, Mel—” “Laura!” Yang dipanggil memang hanya Laura. Tapi, mereka semua ikut memperhatikan yang memanggil gadis itu. “Papa udah selesai. Kita pulang yuk!” Ucap orang itu lagi. Jika Leon dan Meli hanya memperhatikan interaksi antara ayah dan anak itu, Gendhis justru kelimpungan. Semakin berusaha menyembunyikan diri, mendusel di belakang tubuh Meli hingga sahabatnya itu merasa risih. “Apa sih, Dhis? Geli gue.” “Mati gue, Mel. Jadi, yang semalem tidur sama gue itu Papanya Laura?” Bisik Gendhis dengan suara lirih. “Apa?!” Meli memekik secara spontan sampai semua orang disana memperhatikannya. Tak terkecuali lelaki dewasa yang disebut-sebut sebagai Papa Laura. “Ternyata, disini persembunyianmu, hem?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN