“Em, guys. Gue pergi dulu.” Gendhis melipir dengan gelagat canggung. “Gue lupa kalau gue harus—”
“Mau kemana kamu?”
“Akh, Om! Lepasin saya!”
Gendhis memberontak karena Bhumi menarik tas ranselnya hingga dia kesulitan berjalan.
“Kita harus bicara.”
“Saya minta maaf, Om. Saya janji nggak akan ngulangin lagi. Saya benar-benar terpaksa semalam.”
Ketiga orang lainnya, sama-sama menganga melihat interaksi mereka.
“Papa kenal sama dia?” Laura bertanya dengan nada heran, tapi terdengar tidak suka.
“Ya. Dia ini—”
“Gue cuma nggak sengaja, La.” Potong Gendhis cepat sambil mencari alasan.
“Jadi, gue itu… gue itu nggak sengaja ambil duit bokap lo. Iya, gue ambil duit bokap lo karena gue nemuin dompetnya.” Ulang Gendhis untuk meyakinkan.
Nyatanya, meskipun yang membuat masalah dalam hidupnya adalah Laura, tapi dia tidak mau bicara yang sebenarnya. Bukan tanpa sebab Gendhis melakukan itu. Pasalnya, dia tak ingin aibnya tersebar karena menurutnya itu sangat memalukan. Sebisa mungkin, hanya Meli dan Bhumi saja yang tahu tentang kejadian semalam.
“Ih, dasar klepto!” Laura mencibir jijik. “Tuh lihat, Le! Cewek yang selalu kamu perhatiin, ternyata tukang nyolong.” Adu Laura kepada Leon.
Leon sendiri tengah menatap Gendhis dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Dhis…”
“Hehehe. Iya, Le. Gue khilaf. Gue pikir, dompetnya nggak ada yang punya.” Gendhis menjelaskan dengan kebohongan, sebelum sahabatnya bertanya.
“Kan udah gue bilang, Gendhis. Kalau lo butuh apa-apa, bilang ke gue. Jangan malah—”
“Leon!!” Teriakan melengking Laura, menghentikan ucapan Leon.
Saking kencangnya, Gendhis dan Meli sampai menutup telinganya karena terkejut.
“Nggak usah repot-repot, Le. Cewek lo jadi marah kan?”
Gendhis berkata sok santai, tapi gerakannya pasti, membebaskan diri dari genggaman Bhumi yang sedikit melemah.
Sayangnya, baru saja dia memasang kuda-kuda siap berlari, Bhumi yang menyadari niatnya, lebih cepat bergerak dari rencana Gendhis.
“Saya sudah tahu kamu kuliah disini. Mau kamu kabur sekarangpun, besok saya pasti bisa menemukan kamu lagi.”
“Ya udah, kalau gitu, cari saya besok lagi aja, Om. Sekarang, saya ada urusan.”
“Nggak bisa! Saya tahu kamu cuma nongkrong disini. Jadi, jangan coba-coba kabur dari saya!”
“Em, tapi saya ada kelas sebentar lagi, Om.” Gendhis berkilah lagi.
Tanpa banyak kata, Bhumi mengambil kartu tanda mahasiswa yang tergantung di d**a Gendhis, lalu membacanya. Gendhis salah tingkah, tapi Bhumi begitu santai.
“Apa Arman dosen kamu?” Tanya Bhumi, menyebut salah satu nama dosen Gendhis tanpa embel-embel kehormatan.
Gendhis mengerjap panik, karena merasa ini tidak akan baik.
“Saya akan telepon dia. Saya akan minta dia carikan jadwal kamu.” Lanjut Bhumi lagi.
Hidung Gendhis kembang kempis menahan kesal. Tapi, dia belum mau menunjukkan kekalahan.
“Saya mau ngerjain tugas, Om.”
“Saya akan tunggu kamu.”
“Tapi, Om—”
“Kita harus bicara, Gendhis. Benar kan nama kamu Gendhis?”
Sayangnya, Gendhis tak berniat menjawabnya.
“Biar bagaimanapun juga, saya tidak mau dianggap laki-laki pengecut karena tidak mau bertanggung jawab setelah—”
“Iya… kita bicara, Om.” potong Gendhis malas, sebelum Bhumi benar-benar membongkar aib mereka.
Melihat Gendhis cemberut, Bhumi tersenyum puas. Selanjutnya, dia menoleh kepada anaknya.
“Kamu pulang sendiri ya, La. Papa masih ada urusan sama teman kamu ini.”
“Tapi, Pa. Bukannya tadi kita mau makan siang bareng? Jarang-jarang loh Papa ajak aku makan bareng.” protes gadis cantik itu.
“Nanti Papa belikan tas baru. Minta pacarmu mengantar pulang dulu!”
Meskipun terpaksa, tapi Laura mengizinkan Papanya menarik Gendhis ke arah parkiran. Bibir cemberutnya mengiringi tatapan kepada sang Papa, yang semakin hilang dari pandangan.
Sedangkan Gendhis, merasa hidupnya akan selesai setelah ini, sebab dia tidak bisa menghindari Bhumi lagi.
“Masuk!”
“Eh, Om mau nyulik saya?” Gendhis langsung berkelit hingga genggaman tangan Bhumi di tasnya terlepas.
“Nggak ada gunanya nyulik kamu. Kamu bukan anak kecil yang lucu, dan kamu bukan gadis perawan yang cocok diper ju al belikan.”
“Ih, serem amat sih, Om, ngomongnya? Padahal, kesalahan saya cuma sedikit.” Gendhis mendekatkan jempol dan jari telunjuknya mengisyaratkan sesuatu yang sangat kecil.
“Sudahlah, jangan banyak bicara! Kita cari tempat ngobrol yang nyaman dulu.”
“Dimana?” Gendhis masih waspada.
“Terserah kamu. Kalau kamu punya tempat nyaman tapi cukup rahasia, kita bisa datang kesana.”
Gendhis menggaruk pelipisnya tanda jika dia sedang berpikir keras.
“Di mobil Om aja deh. Sekalian antar saya pulang.”
Tanpa banyak bicara, Bhumi membuka pintu mobilnya, agar Gendhis bisa masuk ke dalamnya. Walaupun Gendhis sendiri masih harus waspada, tapi dia juga berusaha menenangkan dirinya sendiri.
“Jadi, Om minta ganti rugi berapa?” Gendhis sudah tak sabar bertanya, padahal Bhumi baru saja duduk.
“Kamu pikir, saya nggak punya uang?” Lelaki itu nampak tak terima. Mulai menyalakan mobilnya, dan menjalankan pelan-pelan.
“Terus, apa dong, Om? Jangan bilang Om mau saya jadi pembantu Om kayak di novel-novel.”
“Menikahlah dengan saya!”
Gendhis mengerjap pelan.
Tunggu! Dia tidak salah dengar kan?
Apa tadi katanya? Menikah?
“Yang bener aja, Om! Itu bukan ganti rugi namanya. Tapi pertanggung jawaban.” Sekejap kemudian, Gendhis menyadari sesuatu. “Eh, tapi masa malah saya yang bertanggung jawab? Kan saya perempuan.”
“Kalau begitu, saya yang akan bertanggung jawab sama kamu.”
“Eh, nggak usah!” Gendhis buru-buru melambaikan tangannya. “Nggak perlu, Om. Saya nggak butuh tanggung jawab Om.”
“Tapi, bisa saja kamu hamil anak saya. Kamu nggak lupa kan kalau semalam saya nggak pakai pengaman?”
“Nggak apa-apa, Om. Saya punya obat untuk mencegah kehamilan.” dengan percaya diri, Gendhis mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Tapi baru saja dia ingin menunjukkan kepada Bhumi, lelaki itu sudah merebutnya, lalu melempar keluar jendela. Memang, secepat itulah pergerakan Bhumi, lebih cepat dari cara kerja otak Gendhis mencerna keadaan.
“Ah, Om! Kenapa obat saya dibuang?” protesnya setelah benar-benar sadar sambil menatap pias ke belakang.
Benda yang terbang semakin jauh itu, kini sudah jatuh dan terinjak-injak oleh kendaraan yang berlalu lalang.
“Ck, Om itu maunya apa sih? Sudah bagus saya nggak minta pertanggung jawaban Om. Tapi, Om malah jahat sama saya.”
“Sudah saya bilang, menikahlah dengan saya!” Bhumi menjawab santai.
“Nggak mau. Saya nggak mau nikah sama Om.” Gendhis cemberut, memalingkan wajahnya.
“Kamu punya pacar?”
“Bukan urusan Om. Lagian, ngapain sih Om ngebet banget sama saya? Kalau cuma soal tidur bareng semalem kan saya nggak minta tanggung jawab. Om juga ditanya mau ganti rugi berapa, malah sombong.”
Bhumi menghela nafas panjang, berusaha bersabar, menghadapi wanita muda seperti Gendhis.
“Menikah dengan saya, saya akan beri kamu banyak uang.” pada akhirnya, Bhumi tak punya pilihan.
Rupanya, tawaran Bhumi membuat Gendhis mulai tertarik.
“Berapa?” Gendhis bertanya dengan nada ketus, masih mempertahankan gengsinya. Tapi wajahnya, sudah mengisyaratkan rasa penasaran yang tinggi.
“Kamu mau berapa? Selain uang itu, saya juga akan menanggung hidup kamu dan biaya kuliah kamu. Bagaimana?”
“Hah?! Serius, Om?” Kali ini, Gendhis benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa tertariknya.
Tapi sayangnya, rasa tertarik itu hanya sementara saja, sebab dia mendadak ingat sesuatu. “Eh, nggak jadi deh, Om. Saya nggak mau jadi ibu tiri anak Om yang ngeselin itu.”
“Jadi, kamu yang selalu bermasalah sama anak saya?”
“Anak Om tuh yang nyari masalah. Saya nidurin Om semalam kan gara-gara dia. Bercandanya suka kelewatan dia itu, Om.” Gendhis lebih pantas dibilang mengadu.
“Kenapa dia melakukan itu?” Bhumi terlihat tertarik.
“Dia cemburu sama saya. Padahal, saya nggak ngapa-ngapain cowok dia.”
“Tapi, pacar Laura perhatian sama kamu. Saya melihatnya tadi. Jadi, wajar kalau Laura cemburu.”
“Belain aja terus anak Om. Ah iya, saya lupa. Laura kan emang anak Om. Mau saya yang benar pun, sampai lebaran kecoa, juga tetep saya yang disalahin.”
Bhumi mengusap wajahnya sendiri mulai frustasi.
“Ya sudah, berhenti membahas Laura. Saya harap, kamu mengerti dia karena Laura tidak punya ibu.”
“Oh, jadi Om duda? Kirain, saya mau dijadikan simpanan karena Om suka nidurin saya. Ups.” Gendhis menutup mulutnya sendiri, tapi tidak terlihat merasa bersalah karena ucapannya.
“Kamu pikir saya laki-laki doyan kawin? Saya ingin menikahi kamu, karena saya membutuhkan kamu.”
“Buat apa?” Gendhis bertanya dengan ekspresi menantang.
Kemudian, tatapannya turun ke bawah dengan tengil, ke arah tubuh sensitif lelaki itu.
“Jangan berpikir terlalu jauh!” Bhumi menyentil kening Gendhis tak terlalu kencang, untuk mengalihkan rasa gugupnya. “Kamu ini masih kecil, tapi otaknya mesum.”
“Saya kan cuma nebak aja, Om. Apalagi, semalam Om rakus banget kayak orang nggak pernah makan. Masa, saya yang minum obat, tapi Om yang—”
“Tidak perlu membahas itu!” Sergah Bhumi yang terlanjur malu. Tapi, tentu saja dia tidak mau menunjukkan kekalahannya. “Kita lanjutkan pembicaraan serius kita.”
“Baiklah… serius seperti apa yang Om maksud?”
“Kita buat perjanjian saja. Menikah dengan saya, akan saya cukupi semua kebutuhan kamu termasuk biaya kuliah kamu. Dan kalau kamu bisa memberi saya anak laki-laki, saya akan memberimu satu miliar sebagai kompensasi.”