Deal!

1598 Kata
“Dhis.” Panggilan selembut itu saja bisa membuat Gendhis terkejut karena terlalu fokus melamun. “Pakde? Ada apa?” tanya Gendhis setelah berhasil menguasai dirinya. Tersenyum lembut, menyembunyikan kelesah hatinya yang sejak tadi mengganggu. Lelaki bernama Bagus itu menatap buku Gendhis yang berada dalam posisi terbalik. Menyadari apa yang ditatap Pakdenya, Gendhis baru menyadari kesalahannya, kemudian memperbaikinya. “Kamu ini lagi belajar atau ngelamun?” Pakde Bagus lantas duduk di samping Gendhis. “Hehehe… 90% melamun, 10% nya belajar, Pakde. Kan belum mulai.” Lelaki itu tersenyum tipis. “Apa yang sedang kamu pikirkan? Rumahmu?” Gendhis sedikit gugup, tapi segera menormalkan ekspresinya. “Enggak, Pakde. Ngapain dipikirin? Paling juga udah laku.” tiba-tiba, mimik wajah Gendhis berubah murung. “Belum, Dhis. Rumah orang tuamu belum laku lelang.” “Beneran, Pakde?” ekspresi Gendhis langsung berubah antusias. Pakde Bagus mengangguk singkat. “Tapi, Pakde minta maaf karena Pakde belum bisa mengembalikan rumahmu.” lelaki itu nampak menyesal. “Em, nggak apa-apa, Pakde. Nanti, kalau masih rezeki Gendhis, pasti rumahnya bakal balik lagi.” Pakde Bagus menepuk pundak Gendhis. Dalam mimik wajahnya, ada seraut rasa bersalah yang tak bisa dia ungkapkan. “Kamu benar-benar seperti Mamamu, Dhis. Pakde tahu kamu marah sama Budemu. Tapi, kamu cuma diam seolah mengalah dari Budemu.” Gendhis hanya tersenyum canggung, tak tahu harus menjawab apa. Beberapa saat, mereka sama-sama hening dengan pikiran masing-masing. “Apa Radit jahat lagi sama kamu?” Pakde Bagus memulai obrolan lagi. Mencoba mengurai keheningan diantara mereka. “Enggak, Pakde. Tenang aja. Kalau cuma Radit, Gendhis masih bisa lawan. Di kampus Gendhis, ada yang lebih rese dari dia.” Gendhis tersenyum lagi. Sebisa mungkin menunjukkan wajah ceria di depan Pakdenya. “Jangan sungkan bilang sama Pakde kalau kamu merasa nggak nyaman sama mereka.” Gendhis mengangguk saja. Masih dengan senyum kecil yang masih bertahan untuk menghargai Pakdenya. Tiba-tiba, Pakde Bagus menatap ke arah pintu kamar Gendhis. Setelah memastikan benda bermaterial kayu itu masih tertutup rapat, lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari kantong kaos polonya. “Ini uang buat bayar semesteran kamu. Maaf, Pakde nggak bisa langsung transfer, soalnya Budemu yang pegang m-banking Pakde. Jangan bilang-bilang juga sama Budemu biar dia nggak ngoceh-ngoceh terus.” Mata Gendhis mendadak berkaca-kaca, menerima dengan ragu, amplop pemberian Pakdenya. “Makasih ya, Pakde. Pakde selalu nyisihin uang buat Gendhis meskipun harus sembunyi-sembunyi kayak gini. Maaf, Gendhis udah nyusahin Pakde.” Pakde Bagus menghela nafas berat. “Jangan bicara seperti itu, Dhis. Sudah sewajarnya Pakde melakukan itu. Tapi, kamu tahu sendiri bagaimana sikap budemu. Tolong dimaklumi ya, Nduk. Pakde tahu kamu anak baik.” Gendhis hanya bisa menyeka air matanya saat Pakde Bagus mengusap puncak kepalanya. * * “1M ya, Dhis? Kenapa nggak lo terima aja?” Gendhis yang sedang makan mie ayam di kantin kampus, harus membagi konsentrasi dengan Meli. “Gue belum pasti nolak, Mel. Tapi, gue emang belum siap punya anak. Ya kali, gue kuliah sambil hamil. Iya kalau gue nggak mabok. Kalau mabok? Kan gue yang susah sendiri. Mana kalau gue hamil anaknya Om Bhumi kan artinya anak gue adeknya si Loreng.” Tiba-tiba, Meli tertawa kencang. “Iya, nanti anak lo, namanya Oyen.” “Ck, apa sih, Mel?” Sewot Gendhis karena candaan Meli. Tapi, sekejap kemudian, ekspresi Meli kembali serius. “Tapi, Dhis. Kalau lo terima tawaran bokapnya Laura, keuntungannya banyak loh. Di lelang berikutnya, lo bisa ikut rebutan rumah lo kalau udah dapet duitnya. Pasti, lelang selanjutnya harganya udah turun lagi kan?” “Keburu rumahnya laku, Meli. Kan gue hamil butuh waktu 9 bulan. Itupun kalau gue langsung hamil. Kalau enggak?” Gendhis memutar bola matanya. “Masih belum jelas juga anak gue laki-laki atau perempuan. Kan itu kompensasi. Berarti Om Bhumi ngasihnya setelah gue melahirkan.” “Ya lo kasbon dulu lah.” “Lo pikir koperasi? Duit 1M itu banyak, Meli. Mana mungkin, Om Bhumi mau kasih duit cuma-cuma di awal. Kalau dia beneran mau, gue pasti langsung kabur duluan setelah dapet duitnya.” “Ck. Licik lo!” Meli melempar tissue bekas yang sudah dia uwel-uwel kepada Gendhis. Gendhis berkelit kecil, tapi tetap tak mampu menghindari lemparan yang sama sekali tak menyakitinya itu. “Makanya, nggak mungkin orang sepintar Om Bhumi kasih gue uang cuma-cuma sebelum gue kasih apa-apa sama dia, Mel. Hari gini, nggak mungkin ada orang baik tanpa tujuan.” “Setidaknya, hidup lo nggak ngenes-ngenes amat kalau sama dia, Gendhis. Semua kebutuhan lo bisa terpenuhi. Lo nggak harus ngirit lagi biar bisa bagi uang jajan bulanan lo sama bayar semesteran.” “Eh, tapi semalem Pakde kasih gue duit buat bayar semesteran loh, Mel.” Gendhis hampir lupa laporan soal itu kepada Meli. Memang, hampir semua aspek kehidupan Gendhis, Meli tahu. “Bagus dong. Pantesan lo traktir gue makan mie ayam.” “Hehehe. Sekali-kali, Mel. Masa lo terus yang baik sama gue?” Drrt drrt drrt. Atensi Gendhis harus terpecah lagi karena ponselnya tiba-tiba bergetar. Wanita itu langsung mengambilnya, dan melihat siapa yang menghubunginya. [Sudah kamu putuskan?] Gendhis meluruhkan bahunya pasrah. Baru juga mereka membahas soal itu, orang yang sedang mereka bicarakan, sudah mengirim pesan kepadanya. [Belum, Om. Saya masih sibuk.] Pada akhirnya, itu balasan Gendhis. Jujur saja, dia belum bisa memutuskan apa-apa. Sebenarnya, Gendhis tertarik ingin mengambil rumahnya lagi yang disita bank hanya karena mengikuti gengsi istri pakdenya. Tapi, keinginan itu, lama-lama redup sendiri seiring kepasrahannya. [Putuskan secepatnya!] Gendhis menggaruk kepalanya yang tak gatal, hingga Meli merasa penasaran. “Kenapa?” Gendhis mengangkat wajahnya sebentar, lalu menjawab, “Om Bhumi udah tanya lagi, padahal gue belum mutusin apa-apa.” “Pikirin baik-baik, Dhis! Tapi menurut gue, lo terima aja tawarannya. Selain dia yang udah merawanin lo, hidup lo bakal terjamin kalau sama dia. Terus, lo juga bisa keluar dari rumah si Radit.” “Tapi, kalau gue keluar dari rumah Radit, berarti gue harus serumah sama Laura dong?” “Ya nggak apa-apa. Kan lo bisa gunain kekuasaan lo sebagai ibu tiri. Wajar kalau ibu tiri itu jahat.” Meli tersenyum licik. Gendhis berpikir keras. Entah kenapa, provokasi Meli mulai mempengaruhi cara berpikirnya. Drrt drrt drrt. Belum sempat Gendhis meyakinkan diri akan keputusannya, ponselnya sudah bergetar lagi, namun kali ini berupa panggilan suara. “Kok malah telepon sih?” Keluh Gendhis belum dengan nada kesal. “Nah, dia udah nggak sabar tuh.” Celetuk Meli. “Tapi, gue belum yakin sama keputusan gue, Mel.” “Yakinin aja sih, Dhis. Cuma satu tahun kan paling lama? Yang penting lo udah hamil dan punya anak.” “Tapi masa sama om-om?” Gendhis ragu lagi. Melupakan panggilan Bhumi yang masih menyala. “Ya nggak apa-apa. Meskipun gue nggak ikhlas ngomong ini, tapi gue akuin bokapnya Laura keren. Bukan kayak bokapnya sih, tapi lebih mirip sama omnya yang masih bujang. Apalagi, kata lo itunya gede kan?” “Ck. Nggak usah ngeledek gue napa, Mel?” Gendhis cemberut. “Kan lo sendiri yang bilang.” “Ya nggak usah diinget-inget.” “Ekhem!” Perhatian Gendhis dan Meli, langsung tertuju pada sosok yang tiba-tiba berdehem di sebelah meja mereka. “Om Bhumi? Kok disini?” Pekik Gendhis sangat terkejut. “Kenapa telepon saya nggak diangkat?” Rupanya, Gendhis baru menyadari itu. Apalagi, dia juga melihat, Bhumi baru saja menurunkan ponselnya, bersamaan dengan matinya panggilan di ponselnya. “Saya masih ngobrol sama Meli, Om. Kan tadi chat Om udah saya bales.” “Cuma sekali. Setelah itu cuma kamu baca.” Gendhis mendengus kesal. “Saya masih mikir, Om. Nggak perlu gini juga kan? Saya merasa jadi buronan kalau kayak gini.” “Kamu memang buronan. Saya tidak bisa menunggu lama.” “Kalau nggak bisa, Om cari aja cewek lain.” Tanpa rasa bersalah, Gendhis menyuap kembali mie ayamnya yang mulai mekar. “Tidak bisa! Pokoknya, harus kamu.” Tegas Bhumi, mulai memegang lengan Gendhis. Gendhis sontak menatap tangan mereka yang saling bersentuhan, seolah mengisyaratkan agar Bhumi melepaskan. Sayangnya, lelaki itu sama sekali tak peduli. “Kenapa harus saya?” protes Gendhis. Bhumi sedikit gelagapan, tapi segera menormalkan sikapnya. “Sekalian saya akan bertanggung jawab karena—” “Sssttt! Jangan terlalu jelas napa, Om, ngomongnya?” Gendhis panik menatap sekitarnya. “Kalau kamu nggak mau ada yang dengar kita ngobrol, kita bicara di tempat lain saja. Kamu udah nggak ada mata kuliah lagi kan?” “Ada." "Jangan bohong kamu! Saya sudah minta carikan jadwal kamu sama Arman." Gendhis merotasi bola matanya malas. "kalau udah tau, kenapa harus tanya lagi, Om?" Bhumi hanya menatap Gendhis datar. “Kita bicara di tempat lain saja.” Putusnya tiba-tiba. “Tapi mie ayam saya?” “Saya belikan yang lebih enak dari itu.” “Eh, Om! Pelan-pelan! Tas saya ketinggalan.” Bukannya, menyuruh Gendhis mengambil tasnya sendiri, Bhumi sendirilah yang mengambil ransel itu dan membawanya bersama Gendhis. “Saya tidak punya waktu banyak. Saya harap, kamu bisa bekerjasama sama saya. Saya akan tambah privilege lagi buat kamu, kalau kamu menerima tawaran saya.” “Apa itu, Om?” “Saya kabulkan satu permintaanmu lain lagi. Kamu bisa minta mobil, berlian atau—” Suara Bhumi terhenti seketika, bersamaan dengan langkah mereka karena Gendhis menahannya. “Ada apa?” tanya Bhumi heran. “Ada satu hal yang saya inginkan, Om.” Bhumi semakin serius. "Apa itu?” “Selain menanggung hidup saya selama kita dalam perjanjian, bantu saya ambil rumah saya lagi yang dilelang Bank.” “Hanya itu?” Bhumi mengangkat sebelah alisnya meremehkan. “Tapi, harga terakhir rumah saya masih 1,5M, Om.” Bhumi berpikir sebentar dengan wajah dingin, sebelum akhirnya dia menjawab, "Deal! Saya akan ambil rumah itu lagi, tapi kita menikah sekarang!” “Apa?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN