Di Bawah Langit Jingga

1252 Kata
Sore menjelang. Langit menggantung dalam gradasi jingga keemasan, dengan awan tipis yang perlahan berubah warna, menandakan senja segera tiba. Di sudut lapangan basket terbuka yang berada di dalam kompleks elite tempat tinggal sang buyut, Aziel Mahardika sedang memantulkan bola basket, berulang-ulang, dengan irama konstan. Tangannya cekatan, kakinya lincah menyusuri garis lapangan, sesekali melakukan gerakan crossover, sesekali melompat kecil untuk melakukan tembakan ke arah ring yang mulai tampak berkarat. Meski lapangan itu termasuk dalam fasilitas kompleks perumahan eksklusif, kesan mewahnya telah memudar seiring waktu. Semen di beberapa sudut lapangan retak-retak, cat garis sudah memudar, dan keranjang ring basketnya pun sudah miring sedikit, mungkin akibat hujan dan panas yang menghajarnya selama bertahun-tahun. Namun Aziel tetap menyukainya. Lapangan itu menyimpan banyak kenangan masa kecilnya setiap kali ia dan sepupu-sepupunya datang ke rumah sang buyut, Adhiyaksa. Aziel mengenakan kaos oblong abu-abu yang sudah sedikit basah oleh keringat dan celana pendek olahraga. Rambutnya yang hitam dan agak ikal tampak berantakan, sebagian menempel di dahinya. Earphone menggantung di telinganya, namun tidak menyala. Ia sedang menunggu sepupu-sepupunya—Faris, Farrid, dan trio kembar Fauzan, Fauzi, dan Fizzan—yang katanya akan datang sore ini. Tapi mereka terlambat. Ia menggiring bola perlahan ke tengah lapangan, lalu memantulkannya keras dua kali sebelum menembak. Bola meluncur membentuk busur sempurna, menghantam papan, dan masuk ke ring dengan suara “swish” yang khas dan memuaskan. Baru saja ia akan mengambil bola yang memantul kembali ke arahnya, terdengar suara yang memecah keheningan sore. “Oi, anak gubernur!” Aziel terdiam sejenak, tubuhnya membeku sepersekian detik, sebelum ia perlahan menoleh ke arah suara itu berasal. Di sisi pagar bagian barat lapangan, tempat rerumputan liar tumbuh liar di sela-sela tembok pembatas, berdiri segerombolan anak laki-laki, sekitar lima orang. Mereka tampak sebaya dengannya, mungkin sedikit lebih tua, mengenakan pakaian lusuh dan sandal jepit yang sudah aus. Salah satu dari mereka—yang tampaknya pemimpin kelompok itu—melangkah maju. Wajahnya tirus, kulitnya gelap terbakar matahari, dan ada luka gores kecil di bawah mata kirinya. Ia mengulum senyum miring, sinis, bukan karena ramah, tapi lebih karena sikap menantang. Aziel mengangkat alis. Ia tahu siapa mereka. Atau setidaknya, jenis mereka. Anak-anak dari perumahan padat di luar pagar kompleks. Mereka yang kadang masuk secara diam-diam ke area elite ini. Melompati pagar belakang, menyelinap melewati lorong kecil antara dua rumah kosong, lalu masuk ke fasilitas umum seperti taman atau lapangan basket. Para satpam tahu, tentu saja. Tapi mereka juga tahu tidak semua anak-anak itu berniat jahat. Sebagian hanya ingin bermain. Tapi tetap saja, kehadiran mereka dianggap sebagai pengganggu ruang nyaman. Dan Aziel sudah terbiasa melihat mereka. Sudah sering. Namun kali ini berbeda. Kali ini, mereka mendatanginya langsung. Dan memanggilnya—dengan nada yang bukan sekadar sapaan. “Lagi nunggu pasukan lo ya?” tanya anak yang sama, melangkah lebih dekat. Yang lain mengikuti dari belakang. Mata mereka menyapu tubuh Aziel, dari ujung rambut hingga sepatu sneakers putih bersih yang kontras sekali dengan penampilan mereka. Aziel mengangkat bola basketnya dan menahannya di pinggang. Ia tetap diam. Tidak tersenyum. Tidak menantang. Hanya menatap mereka satu-satu dengan sorot mata datar. “Anak gubernur, ya?” kata yang lain, suaranya lebih nyaring, dengan tawa tipis yang mengiringi. “Keren juga ya bisa main di lapangan segede gini sendirian.” Aziel tersenyum kecil, dingin. “Mau main?” tanyanya tenang, tidak terprovokasi. Ia tahu, salah satu cara untuk menghindari konflik adalah menunjukkan bahwa ia tidak takut, tapi juga tidak bodoh untuk menantang balik secara terbuka. Tapi belum sempat ada yang menjawab, terdengar suara sepatu berlari dari arah gerbang utama lapangan. “Ziel!” teriak suara familiar. Itu Farrid, muncul diikuti Faris dan ketiga kembar yang terlihat terengah-engah. “Sorry, sorry, macet banget barusan!” Aziel memutar bola matanya. "Sejak kapan jalanan komplek ini macet?" Farrid nyengir. Sesungguhnya memang itu hanya alasan. Begitu menyadari kehadiran kelompok dari luar pagar, langkah mereka melambat. Faris mendekati Aziel dan berbisik, “Lompat pagar lagi nih mereka?” Aziel mengangguk pelan. Gerakannya kecil, nyaris tak terlihat, namun cukup bagi sepupu-sepupunya yang baru datang untuk menangkap isyarat itu—bahwa ini bukan sekadar pertemuan biasa di lapangan. Matanya, yang biasanya tenang dan penuh rasa ingin tahu, kini tajam dan waspada. Pandangannya tetap tertuju pada gerombolan anak-anak yang berdiri di sisi lapangan, dengan sikap menggantung—seperti menunggu sesuatu. Sesuatu yang lebih dari sekadar main bola. Di antara mereka, si pemimpin kelompok, anak bertubuh kurus dengan luka gores di bawah mata kirinya, maju satu langkah. Senyumnya melebar, kini benar-benar mencolokkan gigi yang tak rapi. “Mau tanding, gak?” suaranya keras, memecah ketegangan yang mulai menggumpal di udara. “Kalau kalian kalah… lapangan ini milik kami!” Ucapan itu menggantung di udara seperti palu godam. Aziel mendengarnya dengan jelas, begitu juga dengan Faris, Farrid, dan trio kembar—Fauzan, Fauzi, dan Fizzan. Suasana yang semula hanya terasa seperti sore yang sedikit ganjil, berubah menjadi sebuah tantangan terbuka. Tanpa basa-basi. Tanpa permisi. Mereka semua saling menoleh. Reaksi pertama datang dari Fauzan, si kembar yang selalu tampil paling depan dalam situasi seperti ini. Wajahnya langsung memerah, bukan karena takut, tapi karena kesal. Ia melangkah maju satu langkah, mendekati Aziel. “Lapangan ini milik komplek,” ucapnya lantang, penuh tekanan di setiap katanya. “Bukan sesuatu yang bisa kalian jadikan taruhan seenaknya.” Nada bicaranya tegas, tapi tak meledak-ledak. Ia berbicara seperti seseorang yang sudah terlalu sering menghadapi tuduhan yang tak adil. Seperti seseorang yang muak dianggap sombong hanya karena tinggal di balik tembok tinggi dengan pos satpam di setiap gerbang. Anak-anak dari perumahan padat itu tidak mundur. Mereka berdiri di sana, sebagian dengan tangan di saku, sebagian memegang botol minum bekas yang sudah penyok. Tatapan mereka penuh tantangan, tapi tak satu pun melangkah maju. Seolah mereka sengaja mengulur waktu, menanti Aziel atau siapa pun dari kelompoknya menanggapi lebih jauh. Aziel melihat mereka satu per satu. Ia tak bisa membenci mereka. Bahkan sebaliknya, di balik tatapan dan ucapan kasar mereka, ia bisa merasakan sesuatu yang familiar—seperti cermin yang retak, memantulkan perasaan yang sama, tapi dalam bentuk berbeda. Mereka tidak benar-benar marah. Mereka tidak benar-benar membenci. Mereka hanya… mencoba melawan perasaan kalah yang tertanam dalam diri mereka sejak lama. Kalah karena keadaan. Kalah karena nasib. Kalah karena mereka tidak lahir di tempat dengan pagar tinggi dan lapangan basket pribadi. Aziel menarik napas perlahan. Ia menoleh ke sepupu-sepupunya. Farrid sudah siap dengan bola, memantulkannya pelan-pelan ke tanah. Faris mengangkat bahu, seperti berkata ayo saja kalau mau. Sementara Fizzan dan Fauzi sudah berdiri berdampingan, tak berkata apa-apa, tapi tubuh mereka siaga. Sementara itu, gerombolan anak-anak dari luar pagar masih berdiri di sana, dengan sikap yang tidak mengendur sedikit pun. Mereka tahu ini bukan sekadar permainan sore biasa. Ini tentang harga diri. Tentang kesempatan untuk membuktikan sesuatu—bahwa mereka tidak kalah. Bahwa mereka juga pantas berada di lapangan ini. Dan mungkin, kalau beruntung, mereka bisa mengguncang dunia kecil para anak kompleks itu… walau hanya untuk satu sore. Aziel akhirnya berkata pelan, lebih kepada dirinya sendiri, namun cukup keras untuk didengar oleh semua, “Jadi ini tentang membuktikan siapa yang lebih pantas berdiri di sini, ya?” Tak seorang pun menjawab. Tapi satu hal pasti—sore itu, lapangan basket yang tadinya hanya tempat pelarian dari kebosanan… berubah menjadi arena. Sebuah panggung kecil dari dua dunia yang selalu bersisian, tapi jarang saling menyapa. Dan entah kenapa… perasaan ganjil menjalari tengkuk Aziel. Bukan karena tandingannya, bukan karena ancaman lapangan, tapi karena tatapan terakhir dari anak bertanda luka itu. Seolah dia tahu sesuatu. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar siapa yang menang… dan siapa yang kalah. "Oke siapa takut?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN