Mobil dinas berwarna hitam legam itu melaju mulus menyusuri jalur cepat Jagorawi menuju arah Bogor. Di dalamnya, duduk seorang pria dengan sorot mata yang tak henti menatap kosong ke luar jendela, meskipun pemandangan yang lewat hanyalah deretan pohon, gedung-gedung rendah, dan lalu lintas yang mengalir tenang di sore hari. Pandu Mahardika, Gubernur Jakarta yang baru dilantik tujuh hari lalu, menyandarkan kepalanya sejenak ke sandaran kursi. Tangannya menggenggam ponsel, tapi tidak untuk digunakan—hanya digenggam, seperti pegangan terakhir dari sesuatu yang tak bisa ia kendalikan sepenuhnya.
Mobil terasa sunyi, bahkan dengan suara pelan radio yang mengalun di latar. Sopirnya tahu, jika Tuan Gubernur diam seperti ini, lebih baik jangan mengusik.
Pandu tidak sedang menikmati perjalanan sore ke rumah ayah mertuanya, Fadli Adhiyaksa. Ia sedang gelisah. Sebuah kegelisahan yang tidak bisa ia ceritakan secara gamblang, bahkan kepada Fasha, istrinya, sekalipun. Kabar dari Farrel—sepupunya sekaligus kepala intel yang ia percaya—tentang lukisan tua yang terjatuh saat ia dan Fasha baru masuk rumah dinas, terus terngiang di kepalanya. Bukan karena lukisan itu tampak aneh, tapi karena fakta bahwa ada chip tersembunyi di baliknya. Sebuah chip mikro, hampir tak terlihat, yang hanya bisa dipasang dengan niat dan akses.
Artinya, rumah dinas gubernur—tempat yang seharusnya menjadi lokasi paling aman kedua setelah Istana Negara—telah disusupi. Dimata-matai. Entah oleh siapa. Tapi Pandu tahu satu hal: chip itu bukan hanya sembarang alat. Ia tahu betul jenisnya, fungsinya, dan siapa saja yang biasa menggunakannya. Ini bukan pekerjaan anak bawang. Ini kerja orang dalam. Kerja profesional. Kerja... kekuasaan.
Mobil membelok ke kanan, melewati rest area, dan kembali masuk ke jalur cepat. Pandu memijat pelipisnya perlahan.
Ia menang pilkada dengan angka gemilang. Jakarta memilihnya bukan karena popularitas semata, tapi karena rekam jejaknya. Dua periode sebagai wali kota dan dua periode di DPR membuat namanya dikenal luas. Tapi kemenangan itu bukan tanpa musuh. Lawannya bukan orang sembarangan. Salah satu keponakan presiden sendiri yang maju melawan, dengan segala sumber daya dan jejaring politik yang luar biasa kuat. Tapi publik menolak. Jakarta menolak. Dan Pandu menang.
Dan sejak saat itu, ia tahu… ia telah membuka sebuah babak baru—perang diam-diam yang bisa berubah menjadi terang sewaktu-waktu.
Pandu masih ingat jelas wajah presiden saat melantiknya. Formal. Senyum setipis kertas. Ucapan selamat yang terdengar seperti ucapan belasungkawa. Tapi yang paling membekas adalah mata-nya. Tatapan presiden saat itu... tajam, menilai, dan penuh ketegangan terpendam. Bukan karena hormat, tapi karena ancaman. Pandu tahu dirinya telah dianggap sebagai musuh potensial. Sebagai ancaman langsung. Dan ia tahu betul apa artinya jika seorang gubernur Jakarta dilihat sebagai ancaman bagi pemimpin negara: tak ada ruang untuk lengah. Tak ada ruang untuk salah langkah.
Ia menghela napas panjang, menggenggam ponselnya lebih erat.
Pesan Farrel masih segar di pikirannya:
“Saran aku, Bang, ganti semua staf pengawal yang ditugaskan untuk menjaga abang itu atau abang bawa dua dari intel kita untuk jaga abang dan keluarga dari dekat.”
Kalimat itu seperti pisau dingin di leher. Pandu tak bisa menolak saran itu. Tapi ia juga tahu… mengganti pengawal dari protokoler istana sama artinya dengan deklarasi tidak percaya. Dan itu bisa memicu reaksi yang tak diinginkan. Namun… tak melakukan apa pun juga berarti membuka lebar celah untuk pengawasan, pengintaian, bahkan sabotase.
Ia melirik kaca spion. Mobil belakang masih sama. Tak ada kendaraan mencurigakan, setidaknya sejauh yang bisa dilihat. Tapi Pandu bukan orang baru dalam politik. Ia tahu, musuh yang sebenarnya tak akan terlihat. Ia bergerak dalam bayangan, diam, dan mematikan.
Perjalanan menuju rumah Fadli Adhiyaksa terasa lebih panjang dari biasanya. Jalan yang mestinya biasa ia tempuh santai bersama Fasha atau Aziel, kini seakan mengandung tekanan di setiap meter jaraknya.
Di ujung pikirannya, Pandu mulai bertanya-tanya…
Apakah chip itu hanya satu dari banyak?
Apakah rumah dinas itu masih menyimpan rahasia lain?
Dan… siapa yang benar-benar menginginkan kejatuhannya—bahkan sebelum ia sempat duduk nyaman di kursi gubernur?
Mobil mulai menuruni jalan menanjak menuju kawasan rumah besar milik keluarga Adhiyaksa. Dari kejauhan, terlihat atap merah bata dan pagar besi yang menjulang.
Tapi Pandu belum merasa aman.
Justru sebaliknya.
Perasaan dalam dirinya mengatakan… pertemuan ini bukan sekadar silaturahmi.
Ada sesuatu yang akan dibicarakan malam ini.
Dan sesuatu itu… bisa mengubah semuanya.
Mobil hitam berpelat dinas berhenti perlahan di depan gerbang besar rumah klasik milik Fadli Adhiyaksa—sosok yang tak hanya dikenal sebagai konglomerat sukses di bidang interior dan konstruksi, tapi juga sebagai figur publik yang punya jaringan luas dalam dunia politik dan intelijen. Rumah bergaya kolonial itu berdiri anggun di atas lahan luas dengan halaman rapi dan barisan pohon trembesi tua yang menaungi jalan masuk. Dari luar, rumah itu tampak seperti istana masa lalu yang masih menolak waktu; kokoh, mewah, dan terjaga.
Pandu membuka pintu mobil dan melangkah turun. Udara sore Bogor yang lembab menyambutnya, dengan aroma khas tanah dan dedaunan basah yang baru saja disiram hujan. Kemeja putih yang dikenakannya masih rapi, tapi langkahnya sedikit berat, seolah tiap inci tanah yang ia lewati menariknya kembali ke beban yang menyesaki pikirannya.
Pintu gerbang otomatis terbuka perlahan, seperti gerakan dari mesin tua yang sudah hafal jadwal kedatangan para tamu terpenting. Seorang satpam berpakaian safari menyambutnya dengan hormat, sementara seorang asisten rumah tangga segera membukakan pintu depan rumah.
"Maaf, Pandu lama, Yah," ucapnya ketika sosok Fadli Adhiyaksa muncul dari ruang tengah, mengenakan batik santai berwarna cokelat tua dan sarung tenun. Pandu mengatupkan tangannya di depan d**a, sopan, dengan nada suara yang menunjukkan penyesalan. "Harusnya kita ketemu dua hari lalu, tapi baru sempat sekarang."
Fadli hanya mengangguk pelan. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan atau kekecewaan, tapi ada ketenangan yang dalam, seperti seseorang yang sudah terlalu lama hidup di antara informasi penting dan rahasia negara.
"Masuk dulu, Pan," ucapnya tenang, menyiratkan bahwa pembicaraan mereka tidak bisa—dan tidak akan—dilakukan sambil berdiri di ambang pintu.
Pandu menunduk sedikit dan masuk ke dalam rumah. Langkahnya menyusuri lantai marmer berkilap, melewati deretan lukisan klasik dan rak buku tua yang mengisi dinding ruang tamu. Rumah ini selalu terasa seperti museum hidup, penuh jejak sejarah keluarga Adhiyaksa yang panjang dan berliku. Tapi hari ini, ada hawa berbeda di dalamnya. Bukan sekadar nostalgia atau rasa hormat… ada tekanan halus, seperti udara yang menahan napas.
Ia belum tahu pasti apa yang ingin dibicarakan mertuanya. Tapi instingnya, nalurinya sebagai politikus yang sudah pernah menavigasi banyak krisis, memberitahu bahwa percakapan ini bukan sekadar obrolan keluarga.
Ada sesuatu yang menunggu.
Dan itu bukan sekadar tentang chip atau rumah dinas.
Langkah Pandu terus membawanya masuk ke ruang kerja Fadli—ruangan yang hanya sedikit orang yang diizinkan masuk. Pintu kayu jati tua itu perlahan tertutup di belakang mereka.
Dan dengan itu… percakapan penting pun akan segera dimulai.
Tapi Pandu belum tahu—jawaban yang akan ia terima hari ini, bisa jadi akan mengubah arah hidupnya. Dan mungkin… tak ada jalan kembali.
***