Sumpah

1230 Kata
Ruang kerja Fadli Adhiyaksa selalu sunyi. Meski berada di dalam rumah besar yang kadang riuh dengan suara cucu-cucunya, ruang itu seperti zona netral tempat segala kegaduhan dunia tak bisa masuk. Dinding-dindingnya dilapisi panel kayu mahoni gelap, penuh rak buku tinggi yang menyimpan dokumen tua, jurnal luar negeri, dan laporan-laporan yang tidak akan ditemukan di toko buku mana pun. Di tengah ruangan berdiri meja besar dari kayu jati solid, berhiaskan peta kuno Indonesia yang sudah menguning di bawah kaca pelindungnya. Pandu duduk di salah satu kursi di depan meja itu. Sementara Fadli berjalan perlahan ke arah rak kecil di sisi ruangan dan menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir keramik China klasik. “Ayah sudah dengar soal chip itu dari Farrel,” katanya tenang, tanpa basa-basi, sambil menyerahkan secangkir teh ke tangan menantunya. “Dia telepon Ayah beberapa jam setelah dia mengirim pesannya ke kamu.” Pandu hanya mengangguk pelan. Teh itu hangat di tangan, tapi pikirannya tetap dingin, tetap waspada. “Ayah tahu kamu sudah tahu bahayanya. Tapi Ayah ingin kamu dengar dari Ayah langsung, Pan… Ini bukan hanya soal rumah dinas atau sekadar pengawasan kecil. Ini sinyal bahwa kamu sekarang masuk dalam radar musuh politik yang sebenarnya. Bukan rival di kampanye, tapi orang-orang yang sedang menggenggam negara ini… dan tidak ingin kehilangan kekuasaan.” Pandu menatap wajah mertuanya. Tenang, seperti biasa. Tapi di balik ketenangan itu ada ketegasan yang tidak main-main. Fadli Adhiyaksa bukan pria biasa. Ia membangun kerajaannya dari nol, dan ia pernah duduk dekat kekuasaan lebih dari sekali—tanpa benar-benar mencalonkan diri. Ia tahu cara kerja lingkaran dalam kekuasaan, dan ia tahu bagaimana menyelamatkan seseorang… atau menjatuhkannya. Fadli duduk, lalu menatap menantunya dalam-dalam. “Ayah tahu kamu tidak pernah berpikir sampai ke sana, Pan. Tapi… kamu harus mulai mempertimbangkan satu hal. Dalam tiga tahun ke depan, masa jabatan presiden ini selesai. Dan negara ini…”—ia berhenti sejenak, menghela napas panjang—“…sedang berada di ambang kebangkrutan.” Pandu menegang. Ia sudah mendengar desas-desus itu. Neraca negara yang defisit, utang luar negeri yang melonjak, subsidi disalurkan ke tempat yang tak masuk akal, dan proyek-proyek infrastruktur yang mandek—semuanya berujung pada satu titik: korupsi. “Presiden dan keluarganya mencuri, Pan,” lanjut Fadli lirih, hampir seperti bisikan. “Dan mereka melakukannya dengan cara yang makin terang-terangan. Mereka pikir tak ada yang bisa menurunkan mereka. Dan mungkin… mereka benar. Hukum sudah dilumpuhkan, DPR sebagian besar dikuasai, media dibeli. Bahkan rakyat pun dibagi dan dikaburkan dengan isu-isu remeh. Tapi yang paling parah…” Fadli menyandarkan punggungnya ke kursi. Matanya menerawang, seolah melihat jauh ke masa depan yang sedang runtuh. “…yang paling parah, Pan, kita akan kehilangan masa depan. Negara ini akan habis jika terus dibiarkan seperti ini. Dan satu-satunya jalan keluar, satu-satunya harapan yang saya lihat… adalah kamu.” Pandu terdiam. Hening menelan seluruh ruangan. “Ayah tahu kamu tidak ambisius. Kamu bukan orang yang mengejar kekuasaan demi nama atau uang. Tapi justru itu kenapa kamu dibutuhkan. Kalau kamu bisa menang di Jakarta, mengalahkan anak mereka, kamu bisa menang nasional. Tapi kamu harus siap, Pan. Karena mereka akan bermain kotor. Lebih kotor dari apa pun yang kamu bayangkan.” Ia berhenti sejenak. Membiarkan kata-katanya meresap. “Dan Ayah… akan membantumu. Dari belakang layar. Ayah dan jaringan Ayah. Tapi kamu harus mulai sekarang. Bangun tim, siapkan strategi. Lindungi keluargamu. Karena mereka akan mencari celah dari sana. Aziel… Asha… kamu sendiri… semua dalam bidikan mereka sekarang.” Pandu memejamkan mata sesaat. Berat. Terlalu cepat. Tapi juga terlalu masuk akal untuk diabaikan. “Pan,” suara Fadli kembali terdengar, lebih pelan. “Kita tidak bisa mengandalkan revolusi massa. Tidak bisa berharap keajaiban. Satu-satunya jalan adalah menyiapkan pemimpin yang bisa dipercaya, dan membawa perubahan dari dalam.” Hening kembali. Pandu hanya mengangguk. Perlahan. Tak menjawab sepatah kata pun. Tapi di dalam dirinya, badai sudah mulai terbentuk. Satu keputusan… bisa mengubah segalanya. Dan jauh di dalam bayang-bayang, musuh-musuh lama mulai bergerak— Karena mereka tahu… Pandu Mahardika mungkin bukan sekadar Gubernur Jakarta. Ia adalah ancaman. Dan mungkin… presiden berikutnya. Pandu duduk diam di hadapan mertuanya, matanya tertuju ke secangkir teh yang kini mulai mendingin. Uapnya perlahan memudar, seperti semangat yang beberapa detik tadi membara namun kini kembali diredam oleh kenyataan yang berat. Ia menarik napas dalam. Hati dan pikirannya mulai bertarung dalam keheningan yang tidak bisa dijelaskan. Ia bukan orang yang haus kekuasaan. Ia tidak pernah bercita-cita menjadi presiden, bahkan ketika ia berhasil menjadi anggota DPR dua periode, lalu naik menjadi Wali Kota selama dua periode pula, dan kini Gubernur Jakarta, ia tetap merasa itu semua adalah tanggung jawab, bukan mimpi pribadi. Jabatan baginya adalah amanah, bukan takhta. Satu hal yang masih sangat melekat di benaknya adalah sumpah pelantikan itu—saat ia berdiri di podium tinggi, mengenakan jas kebesaran, di hadapan rakyat dan wakil-wakil negara, lalu mengangkat tangan kanannya, sementara tangan kirinya menekan erat Al-Qur’an yang disodorkan oleh seorang petugas. Ia masih mengingat setiap kata sumpah itu. Kata-kata yang diucapkan bukan hanya sebagai formalitas kenegaraan, tapi ia resapi sebagai ikrar kepada Tuhan, kepada rakyat, kepada sejarah. “Demi Allah, saya bersumpah akan menjalankan tugas saya sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.” Ia menggigit bibirnya. Bukan karena ragu terhadap kemampuannya. Tapi karena janji itu… masih terasa menggantung. Masih belum ia lunasi. Ia tahu betapa sulitnya mengurai benang kusut Jakarta—kota megapolitan yang penuh masalah, dari kemacetan, banjir, kriminalitas terselubung, ketimpangan sosial, sampai korupsi laten di dalam birokrasi tingkat bawah. Ia ingin menuntaskan semuanya. Ingin melihat Jakarta bisa berdiri sebagai ibu kota yang benar-benar layak, manusiawi, dan bermartabat. “Yah…” suara Pandu pelan, nyaris seperti gumaman. “Pandu bersumpah untuk Jakarta. Dan Pandu belum selesai bahkan baru memulai…” Fadli mengangguk pelan. Ia memandang menantunya dengan penuh penghargaan, tapi juga menaruh tekanan halus di balik sorot matanya. “Ayah tahu kamu bersumpah. Dan Ayah tahu kamu ingin menepatinya. Tapi, Pan… Jakarta itu bagian dari Indonesia. Apa yang terjadi di Jakarta hari ini adalah bayangan dari apa yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan. Kalau Jakarta kamu benahi, tapi pusat negara rusak, semuanya akan hancur juga. Sumpahmu tak dilanggar… justru diperluas maknanya.” Kata-kata itu menusuk Pandu. Ia paham maksud ayah mertuanya, dan sulit membantah logikanya. Tapi tetap saja, di dalam dirinya, ada semacam beban moral yang seakan menahannya. Ia tidak ingin jadi bagian dari politik tingkat tinggi yang kotor, penuh jebakan, intrik, dan tipu daya. Ia sudah lelah menyaksikan bagaimana idealisme orang-orang yang dia kagumi dulu hancur berkeping-keping begitu mereka naik ke puncak kekuasaan nasional. Ia tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Tapi Fadli tahu itu. Dan karena itulah, ia memilih Pandu. Bukan karena Pandu sempurna. Tapi justru karena Pandu takut akan kekuasaan—dan hanya orang seperti itulah yang layak memilikinya. Pandu menatap ke luar jendela ruang kerja itu. Hujan rintik-rintik mulai turun, membasahi kaca bening. Di luar sana, langit Bogor berubah kelabu. Awan menggantung rendah, seperti mengingatkan bahwa badai bisa datang kapan saja. Dan negeri ini, mungkin, sudah terlalu lama dibiarkan dalam badai yang tak kunjung reda. Ia masih diam. Tapi dalam hatinya, kata-kata Fadli mulai berakar. Bukan karena ambisi. Tapi karena panggilan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Mungkin ia masih ingin menuntaskan sumpahnya di Jakarta. Tapi mungkin… jalannya justru membawa sumpah itu lebih jauh. Lebih luas. Ke seluruh Indonesia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN