"Pagi, Papa mertua." Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Aziel, diiringi senyum sok manis yang hanya bisa dilakukan oleh bocah tengil yang tak tahu takut. Tangannya terulur rapi, seolah ia memang menantu kesayangan calon mertua, bukan anak lelaki yang sejak dulu jadi sumber migrain orang tua di sekolah. Ia mengucapkannya lantang, jelas, dan tanpa beban, persis di hadapan Adit-yang pagi itu berdiri dengan wajah setengah belum sadar karena baru saja mengantar anak-anaknya ke gerbang sekolah. Adit diam sejenak, menatap Aziel seolah hendak memastikan bahwa bocah itu memang serius berkata seperti itu. Tangannya dengan refleks disambut, tentu saja, karena Adit bukan tipe orang dewasa yang akan menolak jabatan tangan. Tapi raut wajahnya jelas-jelas menahan campuran geli, kesal, dan bingu

