Chapter 3

3352 Kata
Shabrina mengaduk makanannya dengan ganas sambil sesekali melirik Arsyad yang terlihat sangat akrab dengan kedua orangtuanya. Mereka bertiga seperti teman lama yang baru bertemu kembali setelah berpisah selama berpuluh-puluh tahun. Kesal dengan laki-laki menyebalkan di depannya ini, Shabrina akhirnya memutuskan untuk tidak menyentuh makanannya dan menyilangkan sendok beserta garpunya di atas piringnya. Tindakannya itu membuat kedua orangtuanya, juga monyet iblis di depannya itu mengerutkan kening dan menatap ke arah piringya yang masih terisi penuh, tanpa ada satu butir nasi pun yang masuk ke dalam mulutnya.             “Makanannya kok nggak dimakan, Sayang?” tanya mama Shabrina lembut. Shabrina harus menahan diri untuk tidak mendengus kepada mamanya. Biar bagaimanapun, Shabrina tidak pernah bersikap tidak sopan terhadap orangtuanya. Namun ternyata butuh self control yang sangat kuat untuk tidak melakukan hal tersebut, mengingat ada iblis berbentuk manusia di hadapannya.             “Shabrina lagi nggak lapar, Mah,” dusta gadis itu sambil memaksakan seulas senyum. Kerutan di kening mamanya semakin terlihat jelas.             “Loh, tumben… biasanya kamu paling lahap kalau udah ada bakwan jagung sama sate ayam. Itu kan, makanan kesukaan kamu, Sayang….”             Shabrina melirik ke arah Arsyad yang terlihat sangat jelas tengah menahan senyumnya. Selagi perhatian orangtua Shabrina terpusat pada anak gadis mereka, Arsyad mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam gelas ke udara, dengan maksud mengajak Shabrina untuk minum. Shabrina yang sudah tahu kelakuan musuhnya itu hanya bisa mendesis pelan ketika sadar bahwa saat ini laki-laki itu tengah mengoloknya secara tidak kentara.             “Shab… kok ngelamun?”             Suara berat papanya membuat Shabrina tersentak dan cepat-cepat menggeleng. Gadis itu meminum air jeruknya perlahan lalu bangkit dari duduknya.             “Pah… Mah… Shabrina ke taman belakang dulu, ya? Nanti Arsyad ngajarin Shabrina nya di taman, aja, disana udaranya segar.”             Tanpa menunggu balasan dari orangtuanya, Shabrina langsung pergi meninggalkan meja makan, menuju taman belakang rumahnya.             Sesampainya di taman, Shabrina langsung menghentakkan kakinya ke rumput sambil menggeram tertahan. Gadis itu mengatur deru napasnya dan menarik napas panjang lalu membuangnya. Kemudian, Shabrina meraih ponselnya dari saku celana, menekan angka satu, dan menunggu nada sambung untuk seseorang yang saat ini akan diteleponnya. Belum lagi orang yang ditelepon mengucapkan salam pembuka, Shabrina dengan cepatnya langsung berseru.             “Lo mendingan cepat datang ke rumah gue, sebelum gue jadi s***p dan gila!”             Victor mengerutkan kening ketika mendengar nada keras dari mulut sahabatnya itu. Laki-laki itu menutup novel yang tengah dibacanya, memindahkan ponselnya dari telinga kanan ke telinga kiri dan melangkah mendekati jendela kamarnya.             “Lo kenapa, sih, Shab? Lagi PMS?” tanya Victor polos. Karena, terus terang saja, Shabrina selalu bertingkah aneh dan menyebalkan, hingga sanggup membuat Victor kelimpungan karena emosi gadis itu yang tidak stabil, saat gadis itu sedang mengalami PMS.             Mendengar ucapan Victor, Shabrina kontan meradang.             “Nggak usah sok tau, deh, Vic! Gue lagi nggak bercanda, sekarang!” desis gadis itu kesal. Victor makin bingung. Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mendesah berat.             “Terus elo lagi kenapa sekarang, hmm?” tanya Victor sabar dan lembut. Entah kenapa, Victor tidak pernah bisa untuk marah pada Shabrina, meskipun gadis itu kadang selalu marah-marah padanya dan melampiaskan kekesalannya pada Victor.             Karena suara lembut Victor, Shabrina jadi tidak tega untuk melanjutkan aksi teriak-teriaknya pada laki-laki itu. Walau bagaimanapun juga, Victor tidak tahu apa yang sedang terjadi.             “Arsyad ada di rumah gue…,” kata gadis itu lirih sambil menghempaskan tubuhnya di salah satu bangku yang ada.             “Hah? Ngapain si tengil satu itu di rumah lo?”             Shabrina menghembuskan napas berat. Gadis itu memijat pelipisnya dengan sebelah tangannya yang bebas.             “Lo tau, kan, kalau nilai Geografi gue jeblok pas kenaikan kelas kemarin?”             Victor mengangguk meskipun Shabrina tidak bisa melihatnya. Shabrina sendiri mengartikan kediaman Victor sebagai tanda untuknya agar melanjutkan ucapannya.             “Nah, ortu gue datang ke sekolah waktu kita pengambilan nilai kesenian. Mereka ketemu sama wali kelas kita dan minta dikenalkan sama salah satu murid yang bisa ngajarin mata pelajaran Geografi ke gue. Sialnya, wali kelas kita malah nunjuk si iblis Arsyad buat jadi tutor gue! Sekarang orangnya ada di rumah gue, lagi makan malam sama ortu gue dan ngobrol layaknya mereka teman lama yang baru ketemu lagi.             Cuih! Najis tralala-trilili , deh.”             Victor masih diam. Sebenarnya dia tidak suka kalau Arsyad dan Shabrina berdekatan. Bukannya dia cemburu, ya, tapi dia hanya tidak ingin Shabrina dijahati oleh makhluk menyebalkan itu. Kalau ada orang yang mengartikan sikapnya sebagai sikap cemburu, Victor pasti akan langsung menyumpal mulut orang itu dengan kaus kakinya. Yang benar saja! Cemburu? Pada Shabrina, sahabatnya? Itu t***l, namanya! Cemburu itu tanda cinta, cinta itu hanya untuk orang yang saling menyukai. Sedangkan dirinya kan hanya sebatas sahabat dengan gadis itu. Victor sama sekali tidak memiliki perasaan khusus untuk Shabrina selain sebagai seorang sahabat dekat.             “Vic? Victor!”             Victor tersentak dan langsung menjawab panggilan Shabrina.             “Eh, iya, Shab… kenapa?”             “Kok, kenapa, sih?” tanya gadis itu dengan suara melengking. “Kesini, dong. Sekarang! Gue butuh elo banget, nih. Gue lagi males berhadapan sama monyet iblis satu itu….”             Victor menghela napas dan tersenyum.             “Iya, gue kesana. Apa sih, yang nggak buat sahabat gue sendiri?”             Mendengar itu, Shabrina tersenyum kecil, meskipun ada sesuatu dalam hatinya yang membuatnya ingin menangis detik itu juga. ***                                                     Arsyad menatap dongkol Victor yang sedang nyengir lebar di depannya itu. Arsyad langsung terbelalak ketika lima belas menit yang lalu, Victor datang dengan membawa buku Geografi miliknya. Laki-laki itu bahkan langsung memeluk akrab papa Shabrina dan mencium pipi mama Shabrina. Melihat kelakuan Victor itu, ditambah dengan obrolan akrab diantara ketiganya, membuat Arsyad bertanya-tanya. Sejauh mana, sih, hubungan persahabatan antara Victor dan gadis tengil itu?             “Heh! Ngapain lo nyengir-nyengir nggak jelas, gitu?” tanya Arsyad jengkel. Victor hanya mengangkat bahu dan kembali memusatkan perhatiannya pada buku yang sedang dibacanya. Shabrina sendiri tidak ambil pusing dengan kedua laki-laki itu. Shabrina tengah sibuk memikirkan jawaban dari soal yang diberikan Arsyad padanya. Gadis itu bahkan menggigit ujung pulpennya sambil mendesah berat.             “Shabrina pasti nyuruh lo datang kesini, iya, kan?” tanya Arsyad dengan suara pelan agar gadis itu tidak bisa mendengarnya. Victor mengangkat wajahnya dan tersenyum sinis pada musuh dari sahabatnya itu.                   “Kalau iya, emang kenapa?”             Arsyad menyipitkan matanya. “Ngapain sih, lo harus selalu ngikutin kemauan gadis tengil itu?”             “Suka-suka, gue, dong! Dia, kan, sahabat gue. Jadi, gue harus selalu ada buat dia. Lagipula, gue udah biasa keluar-masuk rumah ini sesuka hati gue, kenapa lo harus sewot?”             Arsyad tidak membalas kata-kata Victor. Bukannya sewot, tapi Arsyad harus mengurungkan niatnya untuk menyiksa gadis itu kalau ada Victor bersama mereka. Victor sudah pasti tidak akan membiarkan sahabatnya diperlakukan tidak baik oleh siapapun, terlebih olehnya. Arsyad hanya bisa mendengus dan melanjutkan acara memperlajari Geografi kembali, yang nantinya akan dia jelaskan kepada Shabrina.             Sebenarnya, ada satu hal mengenai Shabrina yang membuat Arsyad penasaran. Setelah mendengar suara gadis itu ketika pengambilan nilai kesenian beberapa waktu yang lalu, Arsyad merasa seperti pernah mendengar suara gadis itu. Suara Shabrina seperti menyihirnya. Membuatnya berusaha mengingat dimana dia pernah mendengar jenis suara itu sebelumnya. Karena, sejak saat itu, sejak dia mendengar Shabrina menyanyi, Arsyad jadi tidak bisa melupakan suara gadis itu. *** “Vic, nanti pulangnya gue nggak bareng elo, ya? Soalnya….”             Belum sempat Shabrina menyelesaikan ucapannya, gadis itu merasa lengannya ditarik paksa oleh Victor hingga membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan. Shabrina kontan limbung ke samping dan langsung mendarat dalam pelukan Victor. Shabrina terdiam. Gadis itu merasa wajahnya memanas dan detak jantungnya meliar.             “Motor sialan!” desis Victor kesal.             Shabrina mengerutkan kening dan baru sadar bahwa dia hampir saja ditabrak oleh sebuah motor Kawasaki berwarna merah. Motor itu berhenti tak jauh dari tempat Shabrina dan Victor berdiri. Tepatnya di depan sebuah universitas yang memang berseberangan dengan sekolah mereka. Victor memperhatikan orang yang sedang berada di atas motornya dan tengah memakai helm itu, menatapnya dengan pandang tidak suka.             “HEH, b**o! KALAU BAWA MOTOR PELAN-PELAN AJA!” teriak Victor keras. Si pengendara motor hanya diam dan mengangkat jari tengahnya ke udara, memperlihatkannya pada Victor. Victor mulai emosi. Laki-laki itu baru akan mendekati si pengendara motor, namun Shabrina menahan langkahnya.             “Eh… eh, Vic… lo mau ngapain?” tanya Shabrina panik. Victor menoleh dan mengerutkan kening ketika menatap sahabatnya itu.             “Mau gue hajar lah, tuh, orang! Lo nggak liat dia nantangin, barusan? Dia hampir bikin lo celaka!”             Shabrina menggelengkan kepalanya. “Nggak usah kayak anak kecil, deh, Vic! Dia tuh mahasiswa. Lo nggak liat dia berhenti di universitas depan situ? Bisa abis lo kalau misalkan dia manggil kawanannya.”             Victor diam. Dia bisa melihat sorot kecemasan di mata Shabrina. Laki-laki itu kemudian menoleh dan tatapannya bertumbukkan dengan si pengendara motor yang hampir saja menabrak Shabrina. Motornya telah terparkir sempurna di pelataran parkir universitas Darma Wangsa. Orang tersebut kemudian melepaskan helm yang dikenakannya dan meletakkan benda tersebut di atas jok motornya.             Shabrina memperhatikan keseluruhan penampilan laki-laki itu. Tubuh yang tegap dan tinggi, kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku dan sangat pas di tubuhnya, sehingga mencetak tubuhnya dengan sempurna, celana jeans berwarna hitam, dipadu dengan sepatu Tom’s. Kacamata tipis yang bertengger di kedua mata tajamnya, serta rambut yang dipotong rapih. Senyumnya terkesan dingin dan angkuh.             “CEWEK LO YANG JALAN NGGAK PAKE MATA!” seru laki-laki yang hampir saja menabrak Shabrina beberapa saat lalu. Mendengar itu, kontan amarah kembali timbul dalam diri Victor. Victor kembali maju namun lagi-lagi, Shabrina menahannya.             “Shab! Orang kayak dia harus dihajar!” desis Victor tanpa menatap Shabrina. Tatapannya tetap terfokus pada laki-laki berkacamata tersebut, yang kini tengah memeberinya senyum mengejek.             “Kalau lo nekat maju buat nonjok dia, gue bakalan marah sama lo seumur hidup!” ancam Shabrina.             Victor menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. Kalau sudah diancam seperti itu, Victor tidak bisa berbuat apa-apa, selain menuruti semua permintaan Shabrina.             “Tapi, Shab….”             “Oh, ya udah! Sono, berantem aja. Habis ini, jangan ngomong lagi sama gue.”             Shabrina melangkah masuk meninggalkan Victor yang masih berdiri di depan gerbang sekolahnya. Setelah saling tatap dengan laki-laki berkacamata tersebut, Victor masuk ke dalam sekolahnya sambil menahan emosi yang menguasai dirinya. *** Shabrina masuk ke kelas dengan kerutan di keningnya. Semua anak sibuk berkasak-kusuk dan berkerumun di salah satu meja yang ada di sudut kelas. Shabrina melangkah menuju tempat duduknya dan menaruh ranselnya di atas meja.             “Rav, Lin, ada apaan, sih? Kok rame banget?”             Ravina dan Amalina menoleh dan tersenyum. “Oh, itu… ada murid baru. Pindahan dari Bandung. Tadi Bu Afni yang nganter dia ke sini. Manis, deh, anaknya. Kayak boneka.” Ravina menggelengkan kepalanya sambil berdecak kagum. Amalina mengangguk menyetujui ucapan Ravina.             Tak lama, Shabrina melihat Victor masuk ke dalam kelas. Tatapan keduanya bertemu. Shabrina menahan senyum ketika melihat tampang cemberut Victor. Sahabatnya itu pasti sangat kesal karena tidak jadi menghajar mahasiswa barusan. Lagian, sih, Victor demen banget besar-besarin masalah. Yang penting, kan, Shabrina baik-baik saja.               Victor melangkah menuju tempat duduknya yang berada di belakang Shabrina. Laki-laki itu melirik ke arah kerumunan sekilas dan memusatkan perhatiannya pada Shabrina sekarang.             “Lo beneran nggak apa-apa, Shab? Nggak ada yang luka?” tanya Victor cemas. Mendengar itu, Ravina dan Amalina kontan mengerutkan kening.             “Lo kenapa, Shab?” tanya Amalina bingung.             Shabrina menggeleng dan mengibaskan sebelah tangannya. “Hampir keserempet motor, gue nggak apa-apa, kok!”             “Beneran lo nggak kenapa-napa?” tanya Victor lagi. Shabrina memutar kepalanya ke belakang dan menatap jengkel Victor.             “Vic, gue udah bilang, gue nggak apa-apa! Lo bisa liat sendiri, kan?”             Baru saja Victor akan membuka mulut untuk membalas kata-kata Shabrina, satu tepukan pelan mendarat dilengannya. Victor dan Shabrina otomatis menoleh dan mengerutkan kening. Shabrina menatap orang di depannya ini dengan tatapan kagum. Ternyata benar kata Ravina dan Amalina. Gadis yang menjadi murid baru di kelasnya ini memang cantik seperti boneka.             “Anna?”             Shabrina langsung menoleh cepat ke arah Victor. Shabrina bisa melihat tatapan yang sangat antusias dari kedua mata lembut milik Victor. Kemudian, laki-laki itu berdiri dari kursinya dan langsung memeluk tubuh si murid baru yang dipanggil Anna oleh Victor tersebut.             Shabrina menelan ludah susah payah dan merasa matanya mulai memanas. Gadis itu memalingkan wajahnya ke sudut yang berbeda. Melihat tingkah Shabrina yang aneh, Ravina dan Amalina kontan mengerutkan kening mereka.             “Hai, Vic… lama nggak ketemu,” ucap gadis yang bernama Anna itu. Victor mengangguk dalam pelukan Anna. Gadis mungilnya ini masih sama seperti dulu, bahkan terlihat semakin imut dan manis.             “Lo kenal sama murid baru ini, Vic?” tanya Amalina polos. Victor melepaskan pelukan Anna dan ganti merangkul pundak gadis itu. Ditatapnya Ravina, Amalina dan Shabrina yang masih enggan menatap kedekatan Victor dan Anna, dengan tatapan berbinar-binar.             “Iya!” seru Victor antusias. “Anna ini teman kecil gue dulu, waktu gue masih tinggal di Surabaya. Gue dekat banget sama Anna. Yah, bisa dibilang Anna itu sahabat gue sejak kita berdua sama-sama masih belum bisa ngomong dengan benar. Terus pas lulus SD, gue pindah ke kota ini.”             Anna tersenyum kepada Amalina dan Ravina. Disalaminya satu persatu kedua gadis itu dengan lembut. Ketika dia mengulurkan tangan kanannya kepada Shabrina, gadis itu masih saja memandang ke arah lain. Victor yang melihat itu langsung menepuk pundak Shabrina dan membuat gadis itu tersentak.             “Shab… tuh, Anna mau kenalan….”             Shabrina menatap mata Victor, kemudian beralih memandang gadis yang berdiri di samping sahabatnya itu. Gadis itu memiliki tubuh yang mungil, mata yang indah, hidung mancung, senyum yang menawan, kulit putih halus, rambut hitam sepundak yang sedikit bergelombang dan tentu saja… wajah yang cantik.             “Anna Jefriana. Panggil aja Anna. Salam kenal, Shabrina….” Anna menyebutkan namanya dan tersenyum manis pada Shabrina. Shabrina sendiri hanya mengangguk kaku dan membalas senyuman Anna dengan sedikit paksaan. Wajahnya dibuat setenang mungkin padahal isi hatinya sedang tersapu badai.             Bagaimana kalau perhatian Victor jadi terbagi dua? Bagaimana kalau Victor lebih sering menghabiskan waktunya bersama Anna, sekarang? Bagaimana kalau Victor lebih dekat dengan Anna? Bagaimana kalau….             Astaga! Dia bisa sinting mendadak kalau memikirkan hal ini terus. Shabrina mengambil napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Tenang, Shab, tenang… Victor nggak akan mungkin ninggalin lo. Victor bukan tipe orang seperti itu. Victor itu sahabat lo, dia akan selalu ada buat lo! Shabrina merapalkan kalimat itu dalam hati secara terus-menerus.             Namun, ketika pandangannya beralih kembali kepada Anna, Shabrina melihat gadis itu sedang mengobrol bersama Victor. Keduanya terlihat sangat dekat dan akrab. Shabrina merasa dia belum pernah melihat tawa Victor yang seperti itu sebelumnya. Victor benar-benar tertawa lepas, seolah tanpa beban, ketika laki-laki itu mendengar apa yang diucapkan oleh Anna. Anna sendiri beberapa kali ikut tertawa sambil memukul lengan Victor pelan yang dibalas oleh Victor dengan cara mengacak rambut gadis itu.             “Si Victor dekat banget sama si murid baru. Kalau diliat-liat, mereka berdua cocok loh. Pasangan yang pas dan serasi….”             Shabrina hanya tersenyum pahit mendengar komentar salah satu teman sekelasnya yang duduk tak jauh darinya. Gadis itu kemudian meninggalkan kelas dengan airmata yang sudah menggantung di pelupuk matanya. *** Lezko Alfiansyah berjalan menuju pelataran parkir dengan langkah pasti. Ranselnya tergantung di punggungnya. Laki-laki itu bersiul pelan, dan memperhatikan berkas-berkas yang sedang dibawanya. Ketika sampai di pelataran parkir, Lezko meletakan berkas tersebut ke dalam ransel dan mengambil helm-nya yang berada di atas jok motor Kawasaki nya.             Saat akan menaiki motornya, secara tidak sengaja, Lezko melihat seseorang keluar dari bangunan megah di depan universitasnya. Lezko menyipitkan mata dan tersenyum kecil sembari membenarkan letak kacamatanya. Laki-laki itu menaruh kembali helm-nya dan meninggalkan ranselnya di atas jok motornya.             Lezko langsung menangkap tubuh orang tersebut, ketika orang itu hampir terjatuh karena tersandung. Orang itu mendongakkan kepalanya dan terbelalak ketika menatap Lezko.             “Elo…?” pekik orang itu. Lezko hanya tersenyum simpul.             “Lo nggak apa-apa?” tanya Lezko pelan. Diperhatikan keseluruhan tubuh orang di depannya dengan teliti. “Ada yang luka?”             Shabrina yang merasa risih diperhatikan seperti itu hanya menggeleng cepat dan menarik lengannya yang masih dipegang oleh Lezko. Seakan baru tersadar juga, Lezko langsung tersenyum meminta maaf pada Shabrina.             “Sorry, nggak sengaja,” ucap Lezko pelan. Shabrina mengangguk sambil tersenyum ragu. “Maaf juga buat yang tadi pagi. Gue nggak tau kalau ada lo di jalan itu. Gue lagi buru-buru, jadi gue ngebut dan hampir nabrak elo.”             Shabrina mengangguk lagi. Tiba-tiba, sebuah motor yang sudah sangat dikenalnya melintas. Sebelum benar-benar menghilang, Shabrina melihat motor itu berhenti tepat di depannya dan si pengendara motor mengangkat kaca helm-nya.             “Shab… maaf ya, hari ini gue mau nganterin Anna pulang, sekalin mau tau rumah barunya. Udah lama nggak ketemu sih, gue, jadi masih kangen gitu, hehehe….” Victor menampilkan senyum termanisnya pada Shabrina. Shabrina hanya mengangguk kaku sambil membalas senyum Victor dengan ragu. Di boncengan motornya, tampak Anna tengah tersenyum juga ke arahnya sambil mengangguk sekilas untuk menyapa Shabrina.             “Lo jangan kemana-mana, langsung pulang, ya? Nanti sore gue ke rumah lo.”             Mendengar itu, Shabrina cepat-cepat menggeleng. “Umm… gue ada urusan nanti sore, Vic. Jadi, lo nggak usah ke rumah gue.”             Victor menaikan satu alisnya dan mengerutkan kening. Shabrina menundukkan kepalanya karena tidak berani menatap Victor. Shabrina takut kalau Victor akan mengetahui kebohongan yang baru saja dia buat.             “Oke, deh, kalau ada apa-apa, langsung hubungin gue, ya?”             Lagi-lagi yang bisa dilakukan Shabrina hanya mengangguk. Kemudian, Victor langsung pamit dan pergi meninggalkan Shabrina. Laki-laki itu sama sekali tidak menyadari bahwa Shabrina saat ini tengah bersama orang yang hampir saja menabrak gadis itu tadi pagi.             Lezko memperhatikan raut wajah Shabirna yang berubah lesu. Sesekali, Lezko memandang ke jalan raya dan melihat motor Victor telah hilang di tikungan jalan. Lezko kemudian mendengar gadis itu menghela napas panjang dan mulai melangkah.             “Hei….”             Shabrina berhenti melangkah dan menoleh. Dilihatnya laki-laki berkacamata itu tengah mengerutkan keningnya ketika tatapan mereka bertemu.             “Kenapa?” tanya Shabrina pelan. Seluruh tenaganya seakan diserap entah kemana.             “Kenapa?” ulang Lezko tidak percaya. Laki-laki itu kini berkacak pinggang. “Elo ngebiarin cowok lo pulang sama cewek lain? Di depan mata lo sendiri?”             Shabrina terbelalak dan mengerjapkan matanya. Kemudian, senyum pahit mulai terlihat di bibir gadis itu.             “Lo salah paham. Victor itu bukan cowok gue. Dia itu cuma sahabat gue.”             “Loh? Tapi, tadi pagi waktu lo hampir gue tabrak, dia marahnya udah ngalahin macan lagi ngamuk.”             “Ya itu karena dia sahabat gue, dia cuma nggak mau sahabatnya celaka, itu saja.” Shabrina menarik napas panjang. “Kalau nggak ada perlu lagi, gue pamit. Gue capek, mau pulang.”                 “Biar gue antar.”             Belum ada lima langkah gadis itu berjalan, Shabrina tiba-tiba menghentikan langkahnya lagi. Shabrina kembali menoleh dan menatap heran laki-laki di depannya itu dengan tatapan curiga.             “Tenang aja, ini hanya sebagai tanda permintaan maaf gue ke lo soal tadi pagi. Gue bukan orang jahat seperti yang lo pikirin saat ini. Nama gue Lezko Alfiansyah. Gue mahasiswa di universitas Darma Wangsa.” Lezko memperkenalkan diri dan menunjuk bangunan yang menjadi tempatnya menimba ilmu dengan dagunya. “Lo bisa ngelaporin gue ke pihak kampus kalau misalkan gue berani macam-macam sama lo.”             Shabrina mencari kebohongan di kedua manik mata milik laki-laki bernama Lezko itu. Namun, gadis itu menemukan kejujuran di kedua matanya. Sebenarnya, saat ini Shabrina juga sedang merasa tidak enak badan. Mungkin tidak ada salahnya mengiyakan ajakan Lezko.             “Oke, Kak.”             “Kak?” Lezko mengulang kalimat Shabrina. “Nggak usah panggil gue dengan sebutan ‘Kak’, panggil aja gue Lezko.”             Shabrina menggeleng. “Lo lebih tua daripada gue, jadi gue harus sopan sama lo.”             Lezko menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mengangguk. “Tunggu sebentar disini, gue ngambil motor gue dulu.”             Tak berapa lama, Lezko kembali dengan mengendarai motor Kawasaki nya. laki-laki itu menyuruh Shabrina untuk naik. Begitu Shabrina sudah berada di atas motornya, Lezko membuka kaca helm nya dan menoleh ke belakang. “Nama lo, siapa?”             “Shabrina,” jawab Shabrina pelan. “Shabrina Elvariana.”             Lezko mengangguk dan menutup kembali kaca helm nya. Laki-laki itu langsung memacu motornya dengan kecepatan sedang setelah Shabrina menyebutkan alamat rumahnya. Tanpa keduanya sadari, seseorang sedang mengawasi dari balik dinding tak jauh dari tempat Lezko dan Shabrina baru saja meninggalkan sekolah tersebut. Orang itu mengepalkan tangannya menatap kepergian Shabrina. Matanya tak lepas menatap Lezko yang mengantar Shabrina pulang. Hingga sebuah tepukan kecil menyadarkan orang itu.             “Vic? Pulang, yuk?” ajak Anna. Gadis itu heran kenapa tiba-tiba Victor menghentikan motornya di tikungan jalan dan bersembunyi untuk menatap Shabrina.             Victor hanya mengangguk kaku dan kembali menyalakan mesin motornya. Ada perasaan aneh yang mampir di hatinya ketika melihat sahabatnya diantar pulang oleh orang lain.             Rasanya Victor ingin sekali membunuh orang itu detik ini juga! *** Arsyad berlari ke arah gerbang sekolahnya. Begitu dia sampai di tempat tersebut, laki-laki itu membungkukkan tubuhnya dan berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Arsyad kemudian berdiri berkacak pinggang dan menyapu area di hadapannya dengan tatapan tajam.             Arsyad baru saja akan mengejar Shabrina, namun gadis itu sudah tidak terlihat dimanapun. Arsyad kini tahu satu hal tentang Shabrina. Tentang suara gadis itu yang terus terngiang di telinganya. Sebuah senyum simpul tercetak di bibir Arsyad. Laki-laki itu menarik napas panjang dan membuangnya dengan keras. Arsyad kemudian melipat kedua tangannya di depan d**a dan bersiul nyaring.             “Well, she’s mine! Akan gue bikin dia menjauh dari lo, Victor, karena dia memang cuma punya gue. Shabrina Elvariana is belong to Arsyad Prasetyo!” ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN