Shabrina membeku di tempat ketika melihat senyuman itu. Senyuman dari bibir Arsyad yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Senyuman yang tidak pernah satu kalipun diberikan laki-laki itu, untuknya. Selama ini yang diberikan Arsyad padanya hanyalah sebuah tatapan sinis dan bibir yang mencibir ketika bertemu atau berpapasan dengannya. Maka dari itu, Shabrina tengah berpikir keras saat ini. Apakah mungkin, saat sedang menyusuri jalan disekitar sini, Arsyad membuang sampah sembarangan, sehingga dia dirasuki oleh arwah penunggu jalan sekitar? Atau… Arsyad….
Shabrina menggeleng tegas ketika memikirkan gagasan tersebut. Dalam hati, gadis itu tersenyum geli. Kalau apa yang baru saja dipikirkannya diketahui oleh Arsyad, bisa-bisa laki-laki itu akan mengomelinya.
“Shab, gue nggak tau apa yang lagi lo pikirin tentang gue sekarang sampai-sampai lo ngeliatin gue dengan tatapan aneh begitu! Biar semua jelas dan lo nggak berasumsi yang aneh-aneh, gue nggak lagi kerasukan setan manapun karena buang air kecil sembarangan!” gerutu Arsyad langsung. Senyuman itupun menghilang dari bibirnya, berganti dengan tatapan mata yang tajam dan sinis. Shabrina kontan melongo mendengar gerutuan Arsyad tersebut.
Eeeh, buseeet! Nih orang bisa baca pikiran gue! Kok dia bisa nebak sih kalau gue lagi nuduh dia abis buang air kecil sembarangan?
Arsyad mendengus ketika melihat cengiran aneh Shabrina dan kembali menatap ketiga berandalan di depannya, yang sudah berdiri dengan tegak, meskipun di wajah mereka terdapat luka akibat pukulan keras Arsyad.
“Pergi lo semua sebelum gue bunuh!” desis laki-laki itu dingin.
Ketiga berandalan itu menatap Arsyad dengan pandangan takut, kemudian mereka langsung meninggalkan tempat tersebut sambil berlari.
Arsyad mencibir, kemudian membalikkan tubuhnya. Terkejut, Shabrina langsung mengambil langkah mundur hingga punggungnya kembali membentur dinding di belakangnya. Arsyad yang melihat itu hanya menahan senyum sambil mendekati Shabrina. Jarak keduanya sudah sangat dekat sekarang. Shabrina menelan ludah. Dia bisa merasakan ujung sepatunya bersentuhan dengan ujung sepatu Arsyad.
Arsyad merentangkan kedua tangannya dan mengurung Shabrina diantara rentangan kedua tangannya. Laki-laki itu memajukan wajahnya hingga dia bisa merasakan hangat napas gadis di depannya itu. Wajah Shabrina sudah pucat, namun Arsyad masih bisa merasakan hawa dan tatapan menantang dan membunuh dari Shabrina. Kalau saja saat ini Victor kebetulan melewati tempat ini dan memergokinya sedang ‘menyandera’ sahabatnya, Arsyad sudah bisa menebak bahwa umurnya mungkin hanya akan bertahan sampai hati ini saja.
“Dulu, waktu kita masih kelas satu, gue masih berpikiran polos dan belum terlalu memusingkan tingkah laku lo yang menurut gue menyebalkan itu, Shab….”
Shabrina menatap tajam mata Arsyad sebisanya. Kalau bukan karena dinding di belakangnya, yang membantu tubuhnya untuk tetap berdiri tegak dan mendongakkan kepalanya dengan angkuh kepada Arsyad, Shabrina pasti akan terlihat sangat lemah dan ketakutan saat ini.
“Sekarang situasinya berbeda. Lo dan gue sama-sama udah kelas tiga, udah berumur delapan belas tahun, udah dewasa! Gue nggak akan menerapkan pikiran yang sama seperti yang gue terapkan waktu gue masih kelas satu dulu yang nggak terlalu ambil pusing sama sikap lo. Gue akan bikin lo tau bahwa lo telah mengibarkan bendera perang kepada orang yang salah, dari dulu sampai detik ini!”
Shabrina terperangah tetapi gadis itu tidak menunjukkannya. Dia tetap menatap Arsyad dengan tatapan sinis dan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Tiba-tiba, Arsyad meniup pelan wajah Shabrina, membuat gadis itu refleks memundurkan kepalanya kebelakang dan terbentur dinding. Shabrina mengaduh dan mengusap kepalanya pelan. Matanya menatap jengkel Arsyad yang sedang tersenyum miring kepadanya.
“Kenapa? Lo pikir, gue tadi itu mau nyium lo?” Arsyad bertanya dengan nada mengejek. “Maaf mengecewakan lo, Shab, tapi niatan kayak begitu sama sekali nggak ada secuil pun di benak gue. Lo sama sekali bukan tipe gue. Lo itu sangat jauh dari tipe cewek yang gue suka, paham?!”
Shabrina mengerjapkan mata karena terkejut dengan perubahan nada pada suara Arsyad di akhir kalimatnya. Laki-laki itu sedikit mengeraskan suaranya pada akhir ucapannya.
Arsyad mendengus kemudian balik badan. Baru beberapa langkah dia berjalan menjauhi Shabrina, laki-laki itu berhenti dan memandang Shabrina melewati bahunya.
“Urusan kita belum selesai, Shab. Lo akan gue bikin hidup di dalam neraka karena udah main-main sama gue!”
Selesai mengucapkan kalimat itu, Arsyad kembali melanjutkan langkahnya. Shabrina masih belum bisa menemukan suaranya, ketika tiba-tiba gadis itu berteriak dengan volume suara yang gila-gilaan saat suaranya sudah kembali dan otaknya sudah bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.
“YEEE, LO NGANCEM?! GUE NGGAK TAKUT YA SAMA LO! DASAR COWOK GILA, RESE, NYEBELIN! AWAS, TUNGGU PEMBALASAN GUE! GUE ADUIN LO SAMA SI VICTOR!!!”
Di kejauhan, Shabrina melihat Arsyad melambaikan sebelah tangannya tanpa membalikkan tubuhnya.
“NGGAK SABAR BUAT TONJOK-TONJOKKAN SAMA SI VICTOR!” Arsyad balas berseru.
***
Shabrina mengepalkan kedua tangannya dengan kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Diabaikannya rasa pusing dan panas yang menyerang tubuhnya. Dia tahu kondisinya saat ini sudah semakin parah. Dia tahu demamnya semakin tinggi tapi dia tidak ingin terlalu memusingkannya. Darahnya benar-benar mendidih ketika mengingat kembali bagaimana Arsyad mengancamnya.
Dewasa?! DEWASA, katanya?! Dewasa dilihat dari sisi mananya, coba?! Apa mengancam seseorang itu disebut sebagai tindakan dewasa?! Bahkan dia mengancam seorang perempuan! Arsyad itu ternyata lebih pantas dipkaikan sebuah rok ketimbang celana panjang!
Shabrina mendobrak pintu rumahnya dengan keras dan langsung naik ke lantai dua, dimana kamarnya berada. Pembantu gadis itu bahkan hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika melihat anak majikannya berkelakuan seperti itu. Hal itu sudah biasa baginya karena dia sangat tahu, apabila Shabrina sedang kesal, gadis itu akan meluapkannya dengan cara apapun yang dianggap gadis itu bisa melampiaskan kekesalannya. Setelah itu, Shabrina akan kembali bersikap seperti biasanya.
Shabrina membuka pintu kamarnya dengan keras dan menutupnya dengan satu bantingan. Gadis itu melempar ranselnya ke meja belajar kemudian menghempaskan tubuhnya ke kasur begitu saja.
“Kenapa lo?”
Satu suara berat itu membuat Shabrina mengerutkan kening dan langsung bangkit dari posisi tidurnya. Gadis itu menoleh dan mendapati Victor sedang duduk di sofa sambil makan es buah yang terlihat sangat menggugah selera. Di atas meja di depan sofa, ada sepiring kue mangkok, panada dan risoles kesukaan Shabrina. Sejenak tidak dihiraukannya suara demo yang berasal dari dalam perutnya. Gadis itu kemudian menatap mata Victor yang dengan asyiknya tengah melahap es buah dan tersenyum ke arahnya.
“Sejak kapan lo disitu?” tanya Shabrina ketus. Victor mengangkat satu alisnya dan berhenti menyendokkan es buah ke dalam mulutnya.
“Lah… emang lo nggak liat motor ninja gue segede itu parkir di halaman rumah lo?” Victor malah balas bertanya.
Shabrina memutar kedua matanya dan berdecak keras. Pasti karena gadis itu terlalu emosi makanya dia tidak menyadari keberadaan motor gede milik Victor. Shabrina kemudian turun dari kasurnya dan berjalan mendekati Victor. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di samping Victor dan merebut mangkuk berisi es buah dari tangan laki-laki itu.
“Bagi,” pinta gadis itu sambil menyuapkan es buah itu beberapa kali ke mulutnya tanp jeda. Ketika Shabrina akan menyendokkan lagi untuk yang kesekian kalinya, Victor menangkap pergelangan tangan Shabrina dan menghentikan kegiatan gadis itu.
“Lo lapar apa kalap, Shab? Makannya pelan-pelan aja, kali!”
Shabrina mengerucutkan bibirnya dan membiarkan Victor mengambil alih mangkuk di tangannya. Gadis itu bersedekap dan tidak memandang Victor sedikitpun. Victor yang melihat itu hanya bisa mengerutkan keningnya dan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.
“Siapa yang udah bikin lo kesal? Si Arsyad?”
Shabrina menghembuskan napas keras dan mendesah. Kepalanya disandarkan ke bahu tegap milik Victor. Victor hanya diam dan membiarkan gadis itu bersandar kepadanya. Shabrina memang akan selalu bersandar pada pundak Victor setiap kali gadis itu sedang merasa sedih, kesal atau marah. Bahkan Shabrina selalu memeluk Victor kalau gadis itu sedang menangis.
Victor mengelus rambut Shabrina pelan dan menghela napas.
“Gue, bete, Vic…,” keluh gadis itu. “Bete banget!”
“Kenapa?” tanya Victor lembut. Tangannya tetap mengelus rambut Shabrina. Shabrina sendiri selalu menyukai tangan besar Victor ketika laki-laki itu mengelus rambutnya.
“Tadi gue digangguin sama tiga berandalan di jalan….”
“Apa?! Lo digangguin?! Dimana?! Lo kenal anak mana, mereka?! b*****t! Kalau nanti kita ketemu mereka lagi di jalan, gue bakalan—“
“Trus Arsyad datang buat nolongin gue….” Shabrina langsung memotong rentetan kalimat Victor. Alhasil, ketika mendengar penjelasan tersebut, Victor langsung terdiam dan melongo maksimal.
“Arsyad? Arsyad Prasetyo? Cowok yang lo benci, itu? Yang udah lo anggap musuh bebuyutan lo?”
Di pundak Victor, Shabrina mengangguk pelan.
“Kok, bisa?”
Shabrina menggeleng. “Gue juga nggak tau, Vic… tau-tau dia nongol gitu aja. Awalnya dia nggak peduli pas gue lagi digangguin, tapi pas gue hampir dicium sama salah satu dari tiga berandalan itu, Arsyad langsung nonjok mereka bertiga.”
Victor terdiam. Sejujurnya, laki-laki itu masih belum mengerti arah pembicaraan Shabrina.
“Terus? Yang bikin lo bete, apaan? kan Arsyad udah nolongin lo, Shab….”
“Itu dia….” Shabrina merengek dengan nada malas. “Abis itu dia ngancem gue. Katanya dia akan bikin hidup gue di neraka karena udah mengibarkan bendera perang ke dia dari dulu. Waktu gue bilang ke Arsyad kalau gue bakalan ngadu ke lo, dia malah bilang nggak sabar buat tonjok-tonjokkan sama lo.”
Victor menaikan satu alisnya. “Kayaknya emang minta dihajar itu orang!”
Shabrina langsung mengangkat kepalanya dari pundak Victor dan menggeleng tegas. “Eh, jangan!”
“Loh? Kenapa? Bukannya lo benci sama dia? Jangan bilang kalau lo mulai suka lagi sama dia?” tuduh Victor dengan tatapan curiga. Shabrina langsung mendengus dan memutar kedua matanya kesal.
“Dih, not even in my nightmare, ya! Gue cuma nggak mau lo terlibat masalah sama Arsyad. Ini murni masalah antara gue sama cowok sengak itu.”
“Tapi….”
“Nggak ada tapi-tapian! Lo boleh ngajak ribut dia kalau dia udah bertindak kelewatan sama gue. Tapi untuk sekarang, kita diam aja, deh. Nggak usah ladenin orang gila kayak gitu. Bisa-bisa, kita ikutan gila, tau!”
Victor tidak membalas kata-kata sahabatnya itu. Laki-laki itu memperhatikan Shabrina yang sedang melahap es buahnya kembali sambil mengunyah sepotong risoles. Victor menghela napas panjang. Kalau sudah menyangkut urusan Shabrina, Victor tidak bisa untuk tidak peduli. Shabrina itu sahabatnya yang paling dekat dengannya. Victor selalu melindungi dan menjaga gadis itu sejak awal mereka bersahabat. Victor selalu ada untuk Shabrina kalau gadis itu membutuhkannya. Dan kalau saat ini Shabrina melarangnya untuk ikut campur, apakah Victor harus mengikuti kemauan gadis itu? Bagaimana kalau Arsyad memang akan menyakiti Shabrina?
Kalau sampai itu terjadi, Victor bersumpah akan mengejar Arsyad sampai ke ujung neraka sekalipun!
“Shab?”
“Hmm…,” gumam gadis itu sambil terus melahap risoles. Kini tangan kanannya sudah mulai mencomot sepotong kue mangkok berwarna pink dan mengunyahnya. Shabrina mulai merasa tubuhnya kuat kembali. Rasa panas yang dirasakannya juga mulai berkurang. Semoga habis ini dia bisa segera sembuh.
“Elo beneran… nggak punya perasaan apa-apa sama… Arsyad?”
Shabrina berhenti mengunyah dan menatap Victor. Gadis itu menelan sisa kunyahan terakhirnya dan meminum kuah es buah yang berada di dalam mangkuk. Shabrina menangkup wajah tampan Victor dengan kedua tangannya yang kecil. Victor memegang kedua tangan Shabrina yang menangkup wajahnya. Shabrina tersenyum manis kepada laki-laki itu. Senyum yang selalu disukai oleh Victor. Senyum yang selalu menenangkan bagi Victor. Senyum yang pengaruhnya bagaikan obat bagi Victor, disaat laki-laki itu sedang mempunyai banyak masalah. Entah itu masalah di sekolah, rumah, atau bahkan masalah dengan sederet gadis-gadis yang dipacarinya.
Victor sayang sekali dengan Shabrina. Victor sudah menganggap Shabrina sebagai adiknya sendiri. Maka dari itu, Victor tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti gadis itu. Gadis itu memiliki prioritas paling tinggi setelah kedua orangtuanya. Bahkan, Tsania, pacar Victor saat ini, selalu cemburu kalau Victor lebih mementingkan Shabrina dibandingkan gadis itu. Menurut Victor, itu hal yang wajar, mengingat Shabrina adalah sahabatnya, bukan?
“Victor Daniel Pradipta… gue tegasin sekali lagi. Gue, Shabrina Elvariana, nggak suka seujung kukupun sama manusia sengak macam Arsyad Prasetyo. Seujung kukupun, perasaan itu nggak ada sama sekali di otak maupun hati gue, oke? Percaya, kan, sama gue?”
Suara lembut Shabrina membuat Victor tersenyum dan mengangguk. Shabrina kemudian melepaskan kedua tangannya yang sedang menangkup wajah Victor dan juga tengah digenggam oleh kedua tangan laki-laki itu. Shabrina kemudian melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda.
Tanpa Victor sadari, di dalam hatinya, Shabrina tersenyum pahit. Gadis itu menghela napas diam-diam dan terus mengunyah kue mangkoknya.
Perasaan itu tidak pernah diduga kapan datangnya. Sayangnya, elo memiliki perasaan yang salah untuk orang yang salah juga. Shabrina hanya bisa berkata demikian untuk dirinya sendiri di dalam hati dan menahan rasa sesak yang tiba-tiba saja menyeruak dalam dadanya.
***
Keesokan harinya, Shabrina datang ke sekolah bersama Victor. Keduanya sepertinya datang terlalu cepat karena sekolah masih terlihat sepi. Hanya ada segelintir murid yang memang sangat rajin untuk datang lebih awal ke sekolah. Shabrina dan Victor mengobrol sambil tertawa disepanjang koridor menuju kelas mereka. Sesampainya di kelas, Shabrina menghentikan langkahnya ketika sudah berdiri di ambang pintu. Matanya menatap lurus ke satu titik. Ke arah Arsyad. Laki-laki itu sedang menunduk dan membaca buku yang dipegangnya. Sepertinya Arsyad terlalu serius dengan kegiatannya sehingga tidak menyadari kehadiran Shabrina dan Victor.
“Ngapain lo berhenti di depan kelas, Shab?”
Shabrina tergeragap dan menoleh. Matanya bertumbukan dengan mata Victor. Laki-laki itu kemudian melirik Arsyad dan beberapa detik kemudian kembali menatap Shabrina. Tiba-tiba, Shabrina merasakan tangan besar milik Victor menggenggam tangannya dan menarik gadis itu untuk berjalan menuju kursinya.
“Lo berdua itu apa benar cuma sebatas sahabat?”
Satu suara bernada dingin itu membuat langkah Shabrina dan Victor terhenti. Keduanya menatap Arsyad yang masih menekuni barisan kalimat di buku yang tengah dibacanya. Namun, Victor bisa melihat seulas senyum sinis tercetak di bibir laki-laki itu.
“Maksud lo apa ngomong kayak gitu?”
Arsyad terkekeh pelan lalu menutup bukunya. Laki-laki itu kemudian menoleh dan menatap Victor serta Shabrina bergantian. Ketika tatapannya terhenti pada Shabrina, Arsyad bisa merasakan bara kebencian yang begitu kuat dari kedua mata Shabrina yang tengah menatapnya.
“Nggak apa-apa… heran aja. Setau gue, cowok sama cewek itu nggak akan pernah bisa sahabatan.”
“Buktinya gue sama Shabrina bisa sahabatan. Lo dapat asumsi dari zaman apaan, tuh?” Victor membalas kata-kata Arsyad dengan ketus.
“Nggak usah segitu marahnya juga, kali, Vic.” Arsyad tersenyum miring dan bersedekap. “Oh iya, apa sahabat lo ini udah bilang soal kejadian kemarin?”
Victor diam. Laki-laki itu hanya membalas ucapan Arsyad melalui tatapan matanya.
“Karena lo diam, berarti gue anggap lo udah dikasih tau sama Shabrina.” Arsyad bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Shabrina serta Victor. Melihat itu, Victor langsung menarik Shabrina ke belakang punggungnya dan menempatkan dirinya diantara Shabrina dan Arsyad. Kini, Victor dan Arsyad yang tingginya kurang lebih hampir sama, saling berhadapan dengan tatapan membunuh di kedua mata masing-masing.
“Gue itu muak banget liat persahabatan lo sama cewek tengil itu….” Arsyad menekankan kata persahabatan dan menunjuk Shabrina dengan dagunya. “Sok romantis! Dengar, ya, udah dari kelas satu, gue kesal setengah mati sama sahabat lo itu! Tingkahnya menyebalkan, sok peduli sama teman-temannya, padahal sebenarnya dia mungkin hanya memakai topeng! Gue muak liat tingkah sahabat lo itu yang selalu semaunya dan selalu ikut campur masalah orang lain.”
“Lo nggak tau apa-apa soal Shabrina, jadi jangan pernah lo berani menilai dia kayak gitu!” desis Victor. Laki-laki itu sudah akan bergerak maju untuk menghajar Arsyad, namun Shabrina langsung menahan lengan Victor. Victor menoleh ke belakang melewati bahunya dan melihat Shabrina menggelengkan kepalanya.
“Mungkin gue emang nggak tau dia sedalam lo tau segalanya tentang dia… tapi, ada satu hal yang mungkin hanya orang lain yang tau tanpa lo berdua tau akan hal itu!”
Victor mengerutkan keningnya dan menaikan satu alisnya. Melihat kebingungan yang terpancar dari wajah Victor, membuat Arsyad menatap laki-laki itu dengan wajah penuh kemenangan.
“Saat nanti lo sadar apa hal yang gue maksudkan disini, lo mungkin sudah kehilangan sahabat lo itu. Ingat itu baik-baik!”
***
“Baik… sekarang, Bapak akan membacakan nama-nama kelompok kalian. Kalian harus membawakan satu buah lagu untuk nilai kesenian kalian besok.”
Shabrina mengetukkan jari telunjuknya ke atas meja dan bertopang dagu. Gadis itu paling benci pelajaran kesenian. Dia sama sekali tidak bisa menggambar, melukis, menari, apalagi menyanyi. Dia hanya bisa menyanyi didalam kamar mandi! Yang dia sukai dari kesenian hanyalah menulis.
“Kelompok pertama…. Victor, Ravina dan Amalina.”
Shabrina menatap Ravina dan Amalina dengan pandangan jengkel. Kedua gadis itu membalas tatapan jengkel Shabrina dengan cengiran. Keduanya bahkan sampai memainkan kedua mata mereka dan melambaikan tangan. Melihat itu, Victor yang duduk di belakang Shabrina hanya tersenyum dan mengacak rambut Shabrina dari belakang.
“Kelompok kedua…. Shabrina dan Arsyad.”
Shabrina tersentak dan tersedak air liurnya sendiri. Gadis itu sampai terbatuk-batuk saking kagetnya, begitu juga dengan Victor yang duduk di belakang Shabrina. Victor menaikan satu alisnya dan menatap Arsyad. Wajah laki-laki itu datar. Tidak ada ekspresi yang terbaca di wajah Arsyad.
Mengetahui bahwa dirinya sekelompok dengan musuh bebuyutannya, laki-laki yang paling dibencinya, Shabrina bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri Pak Riko di depan kelas.
“Mmmm, Pak….”
Pak Riko menoleh dan mengerutkan kening ketika mendapati salah satu anak didiknya sudah berdiri di hadapannya.
“Kenapa? Ada masalah?”
Shabrina mengangguk ragu-ragu.
“Bisa, nggak, Pak, saya pindah ke kelompok lain?”
“Kenapa memangnya? Kamu tidak mau sekelompok dengan Arsyad?”
Shabrina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak mungkin, kan, gadis itu mengatakan alasan bahwa dia tidak ingin satu kelompok dengan Arsyad karena dia dan laki-laki itu bermusuhan? Bisa-bisa dia digetok sama Pak Riko!
“Mmm, anu… itu…. Itu….”
Tiba-tiba, Arsyad ikut maju ke depan dan berdiri di samping Shabrina.
“Saya juga keberatan satu kelompok sama cewek ini, Pak.”
Shabrina menoleh dan menatap kesal Arsyad. Cih, dia pikir Shabrina tidak keberatan, apa, satu kelompok dengan titisan raja neraka?
“Haduh… kalian berdua ini sebenarnya kenapa, sih?” tanya Pak Riko dengan gusar. Ditatapnya bergantian Shabrina dan Arsyad.
“Saya alergi, Pak, sama Arsyad!”
Semua murid didalam kelas kontan melongo mendengar jawaban Shabrina. Tak terkecuali Victor, Arsyad dan Pak Riko. Shabrina bahkan menggaruk sendiri lengannya secara bergantian, kemudian menggaruk wajahnya dan kembali menggaruk lengannya.
“Tuh, kan, Bapak liat sendiri, kan? Saya kalau dekat-dekat dengan Arsyad, jadi gatal-gatal!”
Victor menahan tawanya ketika melihat tingkah konyol Shabrina. Sementara Arsyad membuang muka. Laki-laki itu melirik Shabrina kesal dan bersedekap.
“Masa, sih, ada alergi terhadap manusia?”
Shabrina mengangguk antusias mendengar pertanyaan Pak Riko.
“Lah, ini buktinya, Pak!”
Baru saja Arsyad akan buka mulut untuk ikut menolak disatukan dalam sebuah kelompok dengan gadis yang dianggapnya menyebalkan dan tengil itu, tiba-tiba saja, Pak Riko berkata dengan nada tegas dan tidak bisa dibantah lagi.
“Cukup! Alasan kamu nggak masuk akal, Shabrina! Kamu tetap satu kelompok dengan Arsyad. Kalau kalian berdua tetap ngotot mau pindah kelompok, maka kalian berdua tidak lulus mata pelajaran saya!”
***
“Lo mau nyanyi lagu apa, ntar?”
Hari ini adalah hari pengambilan nilai pelajaran kesenian. Shabrina mengerucutkan bibirnya dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Gadis itu sebenarnya juga tidak tahu lagu apa yang akan dia nyanyikan. Bagaimana dia tahu lagu apa yang harus dia nyanyikan kalau dia sendiri tidak membahasnya dengan Arsyad?
“Nggak tau! Nyanyi potong bebek angsa, kali!” sungut Shabrina sambil melempar ranselnya ke atas mejanya. Victor hanya mengangkat bahu dan duduk di kursinya sendiri. Keadaan kelas sudah sedikit ramai. Semua murid sibuk berlatih dengan partner kelompoknya masing-masing untuk pengambilan nilai kesenian nanti.
“Lagian Pak Riko rese benar, sih! Masa bikin kelompoknya aneh banget gitu! Satu kelompok ada yang tiga orang, ada yang dua orang!” gerutu gadis itu lagi. Victor hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya.
“Udahlah, diambil hikmahnya aja.”
“Lo, kok, nggak kompak gitu, sih, Vic?!” seru Shabrina kesal sambil melemparkan tatapan galak pada Victor. Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya dan tersenyum geli.
“Bukannya gue nggak mau belain lo, cuma, lo bisa apa, sih, kalau Pak Riko udah ngancem kayak kemarin? Mau lo, nggak lulus?”
Shabrina mencibir dan menghembuskan napas keras. Heran, mimpi ketemu setan dimana sih, dia, sampai-sampai harus sekelompok sama orang kayak Arsyad?
Shabrina melirik Arsyad sekilas. Laki-laki itu sedang memainkan gitarnya. Suara nada intro sebuah lagu mengalun memenuhi ruangan kelas. Shabrina kenal lagu itu. Lagu kesukaannya. Hanya dengan mendengar intro-nya saja sudah membuat gadis itu tersenyum.
“Kenapa lo senyum-senyum sendiri, gitu?”
Shabrina tersentak dan menoleh ke belakang. Victor tengah menatapnya dengan tatapan heran. Shabrina langsung menggeleng dan tersenyum kikuk.
***
Victor, Ravina dan Amalina sudah selesai menyanyikan lagu mereka. Seisi kelas bertepuk tangan mendengar suara mereka bertiga. Mereka bertiga membawakan lagu berjudul Sing yang dinyanyikan oleh Glee Cast. Shabrina sendiri bertepuk tangan dengan heboh dan ketika Victor sudah duduk di tempatnya, gadis itu langsung memukul lengan laki-laki itu dengan punggung tangannya.
“Gila, lo! Bagus banget performance lo, Ravina sama Amalina. Salut, gue….”
Dipuji seperti itu, Victor hanya cengengesan dan mengedipkan satu matanya. Shabrina hanya bisa tersenyum kecil dan memalingkan wajahnya.
“Kelompok kedua… silahkan maju ke depan, Shabrina Elvariana dan Arsyad Prasetyo!”
Shabrina menelan ludah dan mulai berjalan ke depan kelas. Arsyad juga melakukan hal yang sama. Keduanya duduk di kursi yang sudah disediakan di depan kelas. Arsyad mulai meletakkan jari-jarinya di senar gitar dan menatap Shabrina dengan sinis.
“Mau nyanyi lagu apa?” tanya laki-laki itu dingin.
Shabrina mendengus. Gadis itu kemudian menyebutkan sebuah judul lagu yang langsung membuat Arsyad menaikan satu alisnya. Laki-laki itu kemudian mulai memetik gitarnya dan mengalunlah nada sebuah lagu. Shabrina mengkhayati nada tersebut, menarik napas dan mulai bernyanyi.
Aku tahu ini semua tak adil
Aku tahu ini sudah terjadi
Mau bilang apa aku pun tak sanggup
Air mata pun tak lagi mau menetes
Mendengar suara Shabrina, entah kenapa Arsyad jadi terhanyut. Tanpa sadar, laki-laki itu sudah ikut bernyanyi dengan Shabrina. Keduanya saling tatap. Tak satupun diantara keduanya yang mengalihkan tatapan mereka. Rasa permusuhan dan kebencian yang sudah tercipta semenjak mereka sama-sama duduk di kelas satu seakan lenyap entah kemana. Melihat itu, Victor mendengus dan melipat kedua tangannya di depan d**a.
Alasannya seringkali ku dengar
Alasannya seringkali kau ucap
Kau dengannya seakan ku tak tahu
Sandiwara apa yang telah kau lakukan kepadaku
Jujurlah sayang aku tak mengapa
Biar semua jelas telah berbeda
Jika nanti aku yang harus pergi
Ku terima walau sakit hati
Mungkin ini jalan yang engkau mau
Mungkin ini jalan yang kau inginkan
Kau dengannya seakan ku tak tahu
Sandiwara apa, ceritanya apa, aku tahu
(Republik-Sandiwara Cinta)
Selesai bernyanyi, Shabrina dan Arsyad masih saling menatap. Suara tepuk tangan seisi kelas lah yang membuat keduanya tersadar dan saling mengalihkan pandangan. Seketika, rasa permusuhan itu kembali tercipta. Tapi, dalam hatinya, Arsyad merasa ada sesuatu yang mengganggu. Sesuatu yang mengganjal. Dia seperti teringat akan sesuatu hal. Suara Shabrina mengingatkannya akan sesuatu. Tapi… apa?
***
Shabrina duduk di depan kedua orangtuanya dengan wajah yang memelas. Dia tahu maksud dan tujuan kedua orangtuanya saat ini. Laporan nilai dari hasil belajarnya selama satu tahun di kelas dua sudah menjadi cukup bukti untuk gadis itu bahwa kedua orangtuanya akan segera memenggal kepalanya detik ini juga.
“Shab…,” panggil papanya. Shabrina hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum kecil. “Papa dan Mama sebenarnya sudah puas dengan hasil nilai kamu di kelas dua kemarin. Semuanya bagus. Tapi, ada satu mata pelajaran yang harus kamu perbaiki nilainya.”
Shabrina merutuk dalam hati. Jangan salahkan dirinya! Salahkan mata pelajaran Geografi yang mengharuskannya menghapal nama-nama awan, hujan, pendekatan ini, pendekatan itu, dan sebagainya. Masih bagus dia mendapat nilai enam puluh lima!
“Papa dan Mama sudah bertemu wali kelas kamu kemarin tanpa sepengetahuan kamu….”
Shabrina mengangkat satu alisnya. “Papa sama Mama datang ke sekolah Shabrina, kemarin?”
Kedua orangtua gadis itu mengangguk. “Ya. Papa sama Mama datang saat kamu sedang mengambil nilai mata pelajaran kesenian di kelas kamu.”
Shabrina hanya menganggukkan kepalanya dan membulatkan mulutnya membentuk huruf O.
“Wali kelas kamu sudah merekomendasikan seorang teman sekelas kamu yang jago mata pelajaran Geografi. Maka dari itu, Papa sama Mama meminta anak itu untuk menjadi guru privat kamu. Mulai sekarang, kamu akan diajarkan pelajaran itu olehnya.”
Teman sekelas gue? Siapa ya, teman sekelas gue yang jago Geografi? Shabrina berkata dalam hati.
“Papa dan Mama sengaja mengundang dia malam ini untuk ikut makan malam bersama kita sekaligus sebagai awal les kamu dengannya.”
Shabrina baru akan membuka mulut untuk membalas ucapan Papanya, ketika satu suara bernada rendah mengusik indera pendengarannya. Shabrina membeku di tempat. Matanya menatap kedua orangtuanya yang tengah tersenyum ke arahnya. Namun, Shabrina tahu pasti bahwa senyuman itu bukan ditujukkan untuknya, melainkan untuk orang yang kemungkinan besar akan menjadi guru privatnya, yang sekarang ini pasti sedang berdiri di belakangnya.
Suara bernada rendah itu benar-benar mengganggunya. Shabrina menelan ludah dan menarik napas panjang. Semoga perkiraannya salah. Semoga spekulasinya salah. Semoga… semoga… semoga…
“Nah, Shabrina. Dia ini yang akan menjadi tutor kamu mulai sekarang. Papa sama Mama harap kamu belajar sungguh-sungguh dari dia, ya! Kamu baik-baik ya sama dia….”
Shabrina memejamkan kedua matanya dan mulai berdiri dari duduknya. Ketika tubuhnya berputar, Shabrina berani bersumpah bahwa dia rela disuruh untuk membersihkan kandang kodomo dan buaya sekalian dibandingkan harus berhadapan dengan pemangsa haus darah seperti orang yang tengah memberinya senyuman miring yang terkesan angkuh, sinis dan dingin, yang sedang berdiri tepat di depannya. Papanya dengan bangga menepuk-nepuk pundak orang tersebut sambil tersenyum lebar.
“Nah, Shab… Papa pikir mungkin kamu sudah kenal dengannya. Karena yang Papa tau, kalian satu kelas. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita melakukan perkenalan formal, bukan? Ini dia tutor Geografi kamu…. Arsyad Prasetyo!”
***