Memakan Makna Kehidupan

1327 Kata
Aku langsung merebahkan tubuhku ke atas tikar, menarik cepat bantal yang ada di atas meja yang ada di kamar. Aku meluapkan semua tangisanku malam itu, entah kenapa setelah mendengar kondisi ayah air mataku tak hentinya menangis, padahal juga tak ada gunanya aku menangis malam itu, tak akan merubah apapun. Esok pagi dengan mata yang sudah membengkak, aku berangkat ke sekolah. Dodi menghampiriku yang baru saja hendak duduk di bangku. "Hana... kenapa mata kamu?" tanya Dodi nampak cemas. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku refleks langsung mundur. "Kamu menangis kemaren?" tanya Dodi kembali. Aku menggelengkan kepalanya, "Hanya sakit mata saja kok, aku kebanyakan membaca tiap malam," jawabku yang jelas-jelas ngeles. Dodi langsung mengangguk percaya saja, aku sedikit heran dan kesal, mana mungkin banyak membaca membuat mataku jadi sebengkak ini dalam satu malam. Tapi di sisi lain aku bernafas lega, tak perlu banyak alasan memberi penjelasan tentang mata ini pada Dodi. Sampai bel istirahat berbunyi, di saat anak-anak lain sibuk mempertanyakan menu makan siang di kantin mereka pada teman-teman mereka, atau saling bertukar bekal yang mereka bawa, aku hanya menatap diam. Aku tidak bisa mempertanyakan tentang menu makan siang di kantin, karena aku sama sekali tidak punya uang jajan, atau mungkin saling bertukar bekal? Aku pun tidak pernah membawa bekal ke sekolah, ibu lebih sering memasak pas untuk porsi sarapan kami saja. Atau pun jika berlebih, itu juga untuk makan siangku nantinya di rumah. Kalau beruntung, terkadang ibu membawa makan malam dari tempat dia menjadi buruh cuci. Aku langsung melangkah ke perpustakaan, Dodi tadi hendak mau menemaniku, tapi aku melarang, biarlah Dodi bersenang-senang dengan temannya, tak perlu dia mengkhawatirkan aku. Krieet... Krieeeeeet.... Bunyi pintu perpustakaan sekolah itu mendesing tiba-tiba, sebelumnya tak pernah seperti ini, mungkin karena engselnya sudah berkarat sebab perpustakaan di sekolah ini hanya sebuah pajangan sekolah saja, jarang sekali ada guru atau pun murid yang mau membaca atau meminjam buku di sini. Seorang wanita paruh baya tersenyum hangat dengan raut mata yang selalu sayu padaku. Dia ibuk Ayu, wanita penjaga perpustakaan, sekaligus guru bahasa Indonesia di sekolah ini. Kabarnya ibu Ayu kondisi kesehatannya tidak lah baik, aku mendengar dari guru-guru tanpa sengaja bahwa usia buk Ayu tidaklah lama lagi, keluarganya sudah melarang dia untuk bekerja, tapi dia menolak. Dia ingin menghabisi sisa usianya di sekolah ini, lebih tepatnya di perpustakaan sekolah kami. "Hana... kamu datang lagi, apa kamu tidak ingin bermain dengan teman-temanmu sama sekali?" Ibuk Ayu memulai membuka obrolan denganku terlebih dahulu. Aku menggelengkan kepala, tersenyum sopan pada buk Ayu. "Bukan begitu Buk, Hana hanya suka membaca buku di perpustakaan ini." Ibuk Ayu mengelus lembut kepalaku, "Hana... masa kecil itu sebentar saja, mungkin saat ini kamu ingin menjadi orang dewasa secepatnya, ingin cepat-cepat bekerja dan sukses, tapi ibuk tidak ingin kamu menyesali masa depan suatu saat nanti, masa di mana kamu rindu akan masa kecilmu, bermain dengan teman-temanmu." Aku menggeleng ringan, "Dari buku yang Hana baca, 'Masa lalu adalah kenangan, masa kini adalah perjuangan dan masa depan adalah harapan' Biarkan Hana punya kenangan yang berbeda sendiri dari orang lain, biarkan Hana punya perjuangan yang berbeda dari orang lain, untuk harapan Hana... untuk masa depan Hana yang lebih baik." Ibu Ayu tercengang menatapku, dalam waktu yang cukup lama dia masih menatapku dalam diam. Tak berkutik sedikit pun, aku tidak tau apa yang ada di pikiran buk Ayu sedikit pun. Sejenak aku melihat raut mata buk Ayu yang selalu sayu itu tadi berbinar bahagia, seperti waktu berputar kembali di hidupnya, tak itu hanya sekilas, bisa jadi yang aku lihat tadi adalah sebuah fatamorgana. Bu Ayu kembali mengelus kepalaku, dia mendekapku dalam pelukannya, "Seandainya saja usiamu Ibu panjang, Ibu ingin tau bagaimana masa depanmu nanti Hana. Tapi perlu kamu tau, pikiranmu itu adalah isi pikiran orang yang benar-benar kuat pendirinya, yang memakan makna dalam kehidupan, namun pikiranmu itu... juga bisa memberi pengaruh negatif dalam hidupmu di masa depan nanti," jelas bu Ayu menatapku lamat-lamat. "Hana..." "Iya Bu?" tanyaku heran. "Setiap akhir pasti selalu ada. Baik atau buruk hasil akhir itu, tergantung pada apa yang orang itu lakukan. Berjanjilah pada Ibu, apapun yang terjadi di kehidupanmu nantinya, tolong berbahagialah." "Maksud Ibu?" Aku tak mengerti sama sekali apa yang diucapkan bu Ayu dari tadi. Pemikiranku kriminalitas? Memakan makna kehidupan? Semua itu sebenarnya apa? Sebelum sempat aku menanyakan maksud bu Ayu, bu Ayu tiba-tiba terkapar lemah di atas lantai perpustakaan. Aku langsung panik, di perpustakaan hanya ada aku dan bu Ayu, aku tidak bisa berteriak minta tolong. Bapak tukang kebun di sekolah kami datang tepat waktu di perpustakaan, dia hendak mengambil minum sebelum memulai kembali membersihkan kebun setelah anak-anak selesai bermain tadi, aku sama sekali tidak menyadari bahwa bel masuk telah berbunyi karena terlalu panik. "Bu Ayu!" sorak bapak tukang kebun ikut panik. Bu Ayu langsung dilarikan ke rumah sakit dengan mobil wakil kepala sekolah. Tak ada waktu untuk menunggu ambulance datang. Di mobil hanya ada aku yang masih menggenggam tangan bu Ayu, bu wakil kepala sekolah yang fokus mengemudi dengan raut wajah cemas, serta mama Dodi, kepala sekolah kami yang dari tadi sibuk berbicara dengan orang di teleponnya. Bu Ayu sama sekali belum sadarkan diri. Aku semakin panik dan cemas. Kami bertiga menunggu bu Ayu di depan ruang UGD. Sangat-sangat panik. Dalam beberapa menit setelah kami datang ke rumah sakit ini, seorang laki-laki paruh baya berlari kecil ke arah kami. Mama Dodi langsung menghampiri bapak itu, mencoba menenangkan bapak tua yang nampak panik itu. "Sudah berapa lama dia di dalam?" tanya bapak tua itu pada mama Dodi. "Kurang lebih 15 menit yang lalu mas Randi," jawab mama Dodi. Bapak tua itu terus mondar-mandir di depan kami selama 30 menit, dia berhenti tepat saat pintu ruang UGD dibuka. "Dok! Bagaimana keadaan istri saya, Dok!?" tanya bapak tua itu nampak sangat cemas dengan getaran suaranya yang serak dan terputus-putus. Dokter menghela nafas, kemudian menggelengkan kepalanya. Kedua guru yang ada di sebelahku langsung menutup mulut mereka, menangis tanpa suara. Sedangkan bapak tua tadi langsung berlari ke dalam ruang UGD. Tubuh bu Ayu terkapar lemah, pucat basi, tapi tetap ada senyuman terukir di bibirnya. Tapi ada satu hal yang kurang dari bu Ayu saat ini, matanya... matanya tak lagi nampak sayu, karena sudah tertutup. Aku tau, bu Ayu tak akan pernah lagi membuka matanya. Entah kenapa saat itu hatiku sakit, tapi di sisi lain aku tersenyum lega. Tak pernah untuk aku sadari, bahwa tadi... adalah saat terakhir aku melihat wanita ini, wanita paruh baya yang menikmati sisa hidupnya di perpustakaan sekolah kami. Herannya, aku tidak menangis. oOo Krieet... Tak ada lagi desingan yang terdengar begitu nyaring... sepertinya pintu perpustakaan kami telah diperbaiki. Aku menatap lama seorang guru muda dan seorang guru paruh baya yang ada di hadapanku. Mereka tersenyum tipis, menanyai nama dan kelasku. Aku langsung memperlihatkan kartu perpustakaanku, mengatakan aku hendak membaca buku saat ini. Suasana perpustakaan seperti biasanya, sunyi dan sepi. Hanya ada 2 hal yang berubah dari perpustakaan ini, yang pertama adalah tidak adanya bu Ayu, dan yang kedua adalah kehadiran 2 guru baru itu. Aku meraih buku yang ada di rak ketiga dengan sedikit menjinjit, ini adalah buku yang ingin aku baca kemaren, namun tak sempat. Kini aku akan membacanya. Aku memilih bangku di pojok perpustakaan, di sebelah jendela yang menampilkan pemandangan belakang sekolah. Mataku melirik ke arah rak buku yang berisi buku-buku non pelajaran, rak buku itu... adalah tempat di mana aku sering melihat wanita itu, wanita paruh baya yang selalu berdiri di sana dengan memegang sebuah buku. Pandangan matanya yang sayu, senyumannya yang selalu terukir, bahkan sampai kematiannya. Aku tidak akan pernah melupakan itu. Walau hubunganku dengan bu Ayu hanya sebatas petugas perpustakaan dan pengunjung perpustakaan saja. Karena bu Ayu tidak pernah mengajar di kelasku, kami hanya bercakap pendek sebelum aku selesai memilih buku, tapi aku sangat menikmati setiap obrolan singkat kami itu, walau di obrolan terakhir... aku tidak memahami maksud bu Ayu sama sekali. Semoga beliau tenang di alam sana. Aku lanjutkan membaca buku sebelum bel masuk setelah istirahat berbunyi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN