10.20 malam
Lagu esok kan bahagia sudah berhenti sejak 8 menit yang lalu. Ternyata karena mengulang kembali memori lama itu, membuatku tak bisa menikmati lagu untuk saat ini, ponselku terus memutar lagu lain, aku langsung meraihnya, dan mematikan lagu yang sedang berputar tersebut.
Coklat panasku sudah dingin, aku langsung menyeruput sisanya yang tinggal setengah ini sampai habis.
Aku menghembuskan nafasku tepat di depan jendela yang ada gambar gadis kecil buatan jari telunjukku tadi. Gambar gadis kecil itu sudah menghilang sepenuhnya, tapi sekarang muncul kembali karena aku sudah membuat uap lagi. Menghembuskan nafasku tepat di gambar gadis kecil itu.
Aku menengadah menatap ke langit, bulan sabit terus bersinar, ditemani oleh bintang-bintang yang berkelap-kelip. Aku menoleh menatap Sungai Charles, kapal itu masih terapung di sana, belum beranjak sama sekali menyusul kapal-kapal lainnya yang berangkat dari beberapa menit yang lalu.
Aku menyeka poniku yang tadi sempat turun, melekatkannya di atas daun telinga agar tidak jatuh lagi. Aku langsung beranjak dari jendela, meraih ponselku yang ada di atas meja, lalu meraih jaket tebalku yang tergantung di balik pintu. Aku lapar, aku ingin ke restoran untuk menikmati makanan sebentar saja. Entah kenapa rasa lapar ini muncul mendadak dan tak tertahankan.
Setelah turun dari lift sendirian, aku langsung melangkah menuju restoran. Setidaknya sebuah roti saja cukup untuk mengganjal perutku saat ini.
Yang pertama kali menghampiriku di restoran adalah pelayanan wanita yang mengantarkan coklat panas ke kamar hotelku tadi. Dia tersenyum lebar dengan sebuah catatan kecil di tangannya. Sudah siap melayaniku.
Aku membaca sejenak menu restoran, menyesuaikannya dengan seleraku, aku tidak ada masalah untuk biaya makan restoran ini yang bisa terbilang sangat mahal.
"Nona..." Pelayan wanita berseragam coklat merah itu memanggilku pelan, ada kalimat terjeda darinya. Sepertinya dia akan berbicara setelah aku mengiyakan panggilannya.
"Ya?" Aku langsung saja mengiyakan panggilan wanita itu dengan pikiran dan pandangan yang masih tertuju pada buku menu.
"Owh, silahkan pilih saja menu yang Anda mau dahulu," ucap pelayanan wanita dengan seragam coklat merah itu nampak menunda dahulu niatnya. Aku hanya mengangguk, dan langsung menunjukkan 3 daftar menu pada pelayan wanita itu, dia langsung mencatat dengan gesit.
"Mohon ditunggu pesanannya Nona, saya kebelakang dulu," ucapnya sambil berbalik badan.
"Oh iya Nona! Tolong jangan ditabrakin lagi pesananan saya ke orang lain. Untuk saat ini perut saya sudah sangat lapar," pintaku yang terdengar seperti bercanda.
Pelayan wanita itu mengangguk dengan senyum lebarnya, dia memberi kode siap. Melanjutkan langkah ke dapur restoran.
Sambil menunggu pesananku selesai, seperti orang-orang kebanyakan, aku sibuk dengan ponselku sendiri. Sebenarnya tidak ada orang yang mau aku hubungi dengan ponsel ini, juga tidak ada hal menarik yang ingin aku cari. Aku hanya men-scrool menu galeri di ponselku, dengan wajah datar yang aku sadari.
Ponsel ini adalah ponsel ketiga yang aku miliki, dua ponsel sebelumnya sudah hilang dan rusak. Dulu aku sangat tertarik pada ponsel, tapi kini tidak. Ponsel ini hanya sebagai alat komunikasi singkat bagiku.
Aku ingat betul, ini ponsel yang aku beli saat masih di Indonesia, aku pergi ke konter alat elektronik dengan temanku satu-satunya di kampus dulu, dia maniak misteri yang merusak ponsel milikku. Setelah merusak ponselku dia tersenyum tanpa wajah berdosa, tapi untungnya dia bertanggung jawab dengan niat mau mengganti ponselku, namun aku menolak. Toh ponsel yang rusak itu memang sudah lama dan layarnya tiba-tiba sering menghitam, aku juga ada niat untuk mengganti yang baru.
Namun si maniak misteri itu menolak, dia masih mau mengganti ponselku, walau tau aku sangat kaya raya. Aku mengalah, tak akan menang berdebat dengan si maniak misteri itu, tapi setelah sampai di konter, uang yang dia miliki tidak cukup. Terpaksa aku membeli sendiri ponsel tersebut dengan uang yang aku miliki, seluruh biaya ponsel dengan uangku sendiri. Dia hanya menjadi peneman yang tertawa cengengesan dengan mulutnya yang bekomat-kamit meminta maaf setelah sampai di kost-an.
Ok. Kita skip dulu pembahasan tentang siapa manaik misteri itu, dia akan masuk pada bagian nostalgiaku nanti, karena pesanananku sudah datang dan tersajikan di atas meja. Aku sudah sangat lapar, aku makan dulu.
Pelayan wanita dengan seragam coklat merah itu masih berdiri di sampingku setelah selesai menyajikan makanan.
"Ada apa Nona?" Terpaksa aku bertanya, aku risih.
Dia masih tersenyum, "Nona... sebagai permintaan maaf atas keterlambatan kami tadi, saya akan mengantarkan kembali coklat panas untuk Anda 30 menit lagi, dan itu gratis, kami harap Anda mau menerimanya."
Aku mengangguk pelan, tak terlalu memasukkan ke dalam kepala apa yang diucapkan oleh pelayan wanita itu. Aku menyuapi roti bakar dengan keju melelehnya dan beberapa toping buah-buahan yang asam manis, sangat nikmat.
Selesai mengisi perut, aku hendak melangkah kembali ke kamarku. Setelah masuk ke dalam lift, aku menepi karena ada sepasang kekasih yang nampak bermesraan dan satu orang wanita dengan mini dress hijau yang hanya mengamati mereka dengan tatapan kosong. Tapi beberapa detik kemudian, aku merinding melihat tatapan wanita dengan dress hijau tadi, sangat sinis pada sepasang kekasih yang satu lift dengan kami, dan ada aura membunuh yang dalam. Mungkin hanya perasaanku.
Setelah sampai di lantai 8, aku langsung keluar dari lift dengan cepat, tanpa berlama-lama langsung melangkah ke kamar. Aku beranjak ke sisi jendela, menarik sebuah kursi yang ada di depan meja agar aku bisa duduk, capek berdiri terus. Aku menaikkan kedua kakiku ke atas kursi, menelungkupkan kepalaku sejenak di atas lipatan tangan yang disanggah oleh kedua lutut.
Mataku masih belum lelah, namun kepalaku sedang me-loadingkan sub-sub dari cerita nostalgiaku berikutnya. Aku hanya ingin mengingatkan dan merasakan kembali, alasan aku bisa dengan kuat memaknai arti kehidupan. Walau aku tau, aku masih perlu banyak belajar untuk menghargai hidup dan sekitarku.
***
Sebelum melangkah pulang ke rumah, aku mampir sejenak ke perpustakaan sekolah, tentunya ditemani oleh Dodi.
"Kamu mau pinjam buku lagi Hana?" tanya Dodi yang langsung aku anggukan.
"Kenapa ekspresi kamu sedih gitu?" tanyaku saat melihat ekspresi Dodi telah setelah mendengar jawabanku tadi. Dodi hanya menggelengkan kepalanya dengan tersenyum tipis. Percakapan pun berakhir.
Guru muda tadi masih di perpustakaan, tersenyum tipis menatapku. "Kau kembali lagi? Ada banyak murid di sekolah ini, tapi hanya kau yang selalu datang ke sini. Apa temanmu itu tidak masuk?" tanyaku guru itu padaku sambil menunjuk ke arah Dodi yang menunggu di depan pintu.
Aku membalas senyuman guru itu sebagai rasa hormat, setelah itu aku menggeleng ringan, "Dia hanya menemaniku," jawabku sambil melangkah memilih buku yang akan aku bawa pulang nanti untuk dibaca.
Lima buku tebal sudah menjulang tinggi sampai ke daguku, aku berjalan cepat dengan beban berat yang ada di tangan saat ini.
"Kau bukannya baru kelas satu?" tanya guru muda itu nampak kaget.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Jadi untuk apa kau membaca buku kelas 3 dan kelas 4 ini!?" tanyaku guru muda itu benar-benar kaget, pupil matanya membesar menatap buku-buku tebal yang ingin aku pinjam.
Biasanya aku meminjam buku di sekolah hanya 2-3 untuk satu hari baca, tapi karena besok hari Sabtu, jadi sekolah kami libur. Selama 2 hari itu aku tidak ingin jenuh sendirian. Aku masih ingin meminjam 1-2 lagi tambahan buku, tapi aku tak akan sanggup membawanya, 5 buku ini saja aku perlu bantuan Dodi.
Dan tidak mungkin aku akan menjawab pertanyaan guru itu seperti kenyataan sebenarnya.
"Aku hanya penasaran sama pelajaran kakak kelas, dan aku juga ingin banyak-banyak menguasai materi. Bukankah baik jika ada yang meminjam buku di perpustakaan ini Buk?" tanyaku sambil tersenyum tipis.
Guru muda itu menepuk jidatnya, "Ibuk harap kamu tidak cepat tua dan beruban." Guru muda itu langsung menulis namaku di daftar peminjaman buku perpustakaan, lalu menyatakan pulpen padaku untuk menandatanginya.
Sebelum membawa kelima buku tadi, aku melihat sekilas ke arah rak buku non pelajaran.
"Hei gadis kecil, jangan bilang kau ingin meminjam buku lagi?" tanya guru muda tadi.
Aku tertawa cengengesan dan langsung berjalan ke rak tersebut, setidaknya aku perlu satu buku untuk aku baca, agar tau apa isi di dalam buku-buku tersebut sampai almarhum buk Ayu selalu berdiri membaca buku-buku itu di sana. Toh bukunya tidak setebal buku pelajaranku, buku yang tebalnya 1,5 centi itu masih mampu untuk aku bawa pulang.
Mata guru muda itu kini benar-benar melotot tajam, tapi dia tetap menuliskan kembali judul buku di dalam daftar peminjam buku perpustakaan dengan komat-kamit tidak jelas.
"Hei gadis kecil, membaca itu memang gudang ilmu. Tapi kau jangan terlalu banyak dan keseringan membaca buku-buku ini, kau masih kecil, bagaimana jika nanti matamu sampai sakit?" tanya guru itu menasehati.
"Aku membaca buku ini di tempat terang kok Buk," jawabku tertawa cengengesan dan memasukkan buku non pelajaran yang biasa disebut novel itu ke dalam tas, kelima buku tadi langsung aku bawa ke depan pintu dan memberi 2 buku pada Dodi agar dia membantuku membawanya ke rumah, tapi Dodi malah mengambil 3, aku pun tak keberatan, toh bebanku berkurang satu.
Aku langsung memasang sepatuku dan melambaikan tangan pada guru muda itu.