"Hana," panggil Dodi saat kami sedang dalam perjalanan menuju rumah.
"Ya ada apa?" tanyaku fokus menatap ke depan.
"Ibuk yang menjaga perpustakaan dulu di mana? Yang tadi guru penjaga yang baru bukan?" tanya Dodi dengan wajah heran. Dodi sama sekali tidak tau tentang kasus itu. Memang kabar duka tentang bu Ayu sudah diumumkan di sekolah tadi, namun karena bu Ayu tidak pernah mengajar di kelas kami, Dodi mungkin tidak tau namanya. Dan mama Dodi yang kepala sekolah, mungkin juga tak ingin memberi kabar menyedihkan ini pada putranya.
Aku hanya tersenyum tipis, bukan karena tak mau menjelaskan yang sebenarnya pada Dodi. Tapi setelah semua yang terjadi, mama Dodi tidak memberi tahu pada Dodi tentang aku yang pergi bersamanya ke rumah sakit sampai menjadi saksi langsung apa yang terjadi pada bu Ayu hingga dia meregang nyawa, mama Dodi tidak mau Dodi kepikiran tentang hal itu, dia masih anak-anak, apa yang terjadi jika dia tau temannya sendiri ada dalam kejadian menyedihkan itu?
Aku pun tak pernah menduga tentang isi pikiranku sendiri, dibanding memikirkan Dodi yang masih anak-anak, bukankah aku juga masih anak-anak?
Aku menengadahkan kepala menatap langit biru, entah kenapa... bagiku kematian adalah suatu hal yang biasa, apa karena aku masih anak-anak dan tidak terlalu paham tentang kematian? Atau karena aku tidak terlalu mengenal dekat almarhumah buk Ayu? Atau memang karena aku sendiri yang tidak peduli pada kematian itu? Padahal setiap melihat keluarga dan teman yang ditinggalkan oleh seseorang dengan kematian, mereka menangis deras, mengurung diri, bahkan sampai ada yang berniat untuk menyusul mereka yang sudah meninggal. Tapi aku?
"Hana... Hana-- hei Hana!" teriak Dodi sambil berdiri tepat di depanku, menghalangi langkahku. Aku terperanjat kaget, hampir saja kedua buku yang ada di tanganku tadi terjatuh. "Kamu kenapa sih bengong? Memangnya ada apa dengan guru yang biasanya menjaga perpustakaan dulu?" tanya Dodi kembali.
"Owh ibuk itu mungkin sudah mengambil pensiun, jadi gak bakal datang lagi," jawabku ngasal. Sedangkan Dodi langsung diam dan mengangguk paham.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengambil tiga buku yang ada di tangan Dodi tadi, dan meletakkan di atas meja kamarku setelah mengucapkan terimakasih pada Dodi. Dodi izin pamit dan melangkah pergi ke rumahnya yang hanya berjarak 15 kaki anak-anak.
Aku pun langsung menuju dapur, membersihkan piring sarapan tadi. Aku menatap sekeliling rumah, kosong. Langkahku langsung mengarah ke kamar, saatnya aku membaca buku.
Tanganku bergerak mengambil buku yang ada di dalam tas, bukan yang ada di atas meja. Entah kenapa untuk saat ini aku sedikit tertarik membaca novel yang aku pinjam di perpustakaan tadi, ini pertama kalinya aku membaca buku non pelajaran.
Setelah membaca sampul belakang novel yang agak usang ini, aku langsung membuka halaman pertama dari novel. Ada kata pengantar dari penulis yang biasanya atau mungkin seharusnya berada di halaman novel, mataku bergerak kiri-kanan, dari tadi aku hanya membaca ucapan terima kasih yang banyak. Aku langsung membalik novel tersebut, untuk membaca bab pertama.
"Pengenalan yang cukup dramatis," gumamku pelan, "tapi apa membaca novel ini ada manfaatnya? Apa ada ilmu di dalamnya?" gumamku pelan sekaligus penasaran.
Tak ada bunyi ketokan pintu rumah, biasanya jam segini Dodi sudah mulai mengetok pintu rumahku, terkadang meneriaki namaku dengan sangat keras. Tapi beda lagi ceritanya jika orangtuaku ada di rumah, dia tak akan meneriaki namaku, mulutnya akan diam, dan hanya tangannya yang akan bergerak memukul-mukul pintu rumahku yang sudah tak layak di pakai itu. Entah kenapa aku menantikan Dodi, padahal di situasiku saat ini tidak seharusnya aku menantikan kehadiran Dodi.
Aku kembali fokus ke dalam novel, sebuah cerita dramatis ini menarik minatku. Tanpa aku sadari aku telah tertawa terbahak-bahak selama beberapa menit, setelah itu menangis terisak-isak.
Aku menutup novel itu, menjauhkannya dari sisiku. Aku menatap lama novel itu, "Ternyata novel ini tak baik untuk kesehatan mentalku. Siapa orang jahat yang tega membuat kehidupan sang tokoh yang sudah sempurna menjadi miris seperti itu? Tak berperikemanusiaan sama sekali." Pendapatku pertama kali saat membaca novel. Aku terdiam cukup lama, kemudian tertawa atas kebodohanku, "hahaha ini hanya sebuah cerita, tak mungkin ada di kehidupan nyata," tawaku riang yang kemudian berhenti setelah beberapa saat.
Pandanganku tertunduk. Bukan! Sebenarnya isi dalam novel itu bukan hanya sebuah cerita, aku tau... ada kisah nyata yang sebenarnya telah terjadi, dan mungkin kisahku ini juga bisa dijadikan novel. Aku kemudian tersenyum. Hal itu mustahil, aku bukanlah siapa-siapa. Dan tetap saja, sepahit apa kisah ini, itu tetap hanyalah cerita, sesuatu yang tak perlu untuk aku tangisi. Namun sayangnya, air mataku sudah terlanjur ke luar sejak tadi.
Aku langsung menyeka air mataku, setelah mendengar bunyi ketokan pintu. Aku membuka pintu rumahku dengan cepat, orang yang aku tunggu sudah tiba, Dodi. Dia tersenyum riang padaku, dengan kertas Ludo yang dibawanya.
"Hana, main yuk!" ajak Dodi bersemangat, "Hana... kamu habis menangis ya?" tanya Dodi tiba-tiba dengan ekspresi cemas.
Aku menggeleng pelan, "Tadi mataku hanya kemasukan debu," jawabku sambil tertawa cengengesan pada Dodi. "Ya udah, ayo masuk!"
Dodi mengikuti langkahku masuk ke dalam rumah, kami langsung duduk di atas tikar yang ada di depan kami, memulai permainan.
"Yaaaah, kok kamu tega sih buat aku masuk ke rumah lagi," protesku pada Dodi dengan memasang wajah cemberut. Dodi tertawa riang, merasa paling hebat sedunia, "Siapa suruh kamu bodoh. Hahahah."
Aku langsung kesal, padahal aku adalah juara satu di sekolah, mana mungkin aku akan kalah dengan si bodoh yang sebenarnya ini.
Dengan penuh emosi, aku melanjutkan permainan dengan Dodi. Selama 10 ronde bermain, aku hanya menang 1 kali. Aku benar-benar kesal.
Bunyi ketokan pintu terdengar nyaring di telinga kami. Aku dan Dodi menoleh ke arah pintu, ada ibuku yang baru balik dari pekerjaannya menjadi buruh cuci. Ibu melambaikan senyum pada kami, dengan wajah kelelahannya yang nampak dia tutupi.
"Ibu ke belakang langsung ya," pamit ibu saat melewati kami. Kami menjawab iya bersamaan.
Aku dan Dodi melanjutkan permainan.
Di ronde ke dua belas, aku masih tetap kalah. Aku sudah lelah, dan langsung menopang tubuhku mengarah ke belakang dengan telapak tangan menyentuh lantai. Aku menatap Dodi yang juga menatapku, kemudian kami saling tertawa bersama.
Walau aku kalah sebanyak 11 kali dan hanya menang 1 kali, tapi aku bersyukur, karena masih bisa bermain, bersama Dodi, malaikat kecilku yang tak pernah meninggalkanku. Walau jujur, bermain berdua tidak lah semenyenangkan saat kita bermain bersama teman-teman lainnya.
"Ya udah Hana, aku pulang dulu ya. Titip salam buat ibu kamu," ucap Dodi sambil berdiri dari duduknya.
Aku mengangguk dan tersenyum tipis pada Dodi, "Terima kasih ya."
"Untuk apa?" tanya Dodi menoleh heran.
Aku menggeleng dan tersenyum lagi pada Dodi. Dodi langsung melangkah pulang ke rumahnya sambil menggaruk-garuk kepala, kemungkinan masih memikirkan apa yang baru saja aku katakan.
Aku pun langsung masuk kembali ke rumah, dan menuju kamar untuk melanjutkan membaca buku, namun ibu menghentikan langkahku dengan berdiri di depan kamarku.
"Ada apa Bu?" tanyaku heran menatap ibu.
Ibu nampak memandang lamat-lamat wajahku, kemudian mengelus lembut kepalaku. "Maaf ya Hana..." ucap Ibu dengan raut mata yang sayu.
"Untuk apa?" tanyaku heran, mungkin ini yang sedang dirasakan Dodi tadi.
Bunyi motor ayah yang seperti bebek kejepit itu terdengar semakin mendekat, sudah memekikkan telinga, ibu langsung membuka pintu tanpa menghiraukan pertanyaanku. Aku pun langsung ke kamar, tak ada niat untuk menatap wajah ayah atau sekedar menyapanya, tidak ada sama sekali. Tapi bukan berarti aku membenci ayah. Aku hanya menghindar sejenak, setelah hatiku lebih siap menerima kenyataan. Kenyataan tentang buruknya hidupku.
oOo
Semua murid mulai duduk rapi, meja berjarak, dan semua alat tulis sudah ada di atas meja. Hari ini kami ada ulangan harian. Bukan hal yang sulit apalagi menegangkan untuk menghadapi ulangan harian ini, dengan penuh percaya diri, aku yakin nilaiku akan melebihi rata-rata.
Bu Sintia, guru matematika di sekolah kami mulai memberi soal ulangan beserta kertas kosong untuk lembar jawaban. Aku menatap soal sejenak, tersenyum tipis, dan mulai mengerjakannya dengan teliti.
15 menit berlalu, aku sudah selesai menjawab 10 pertanyaan dalam soal, tinggal mengumpulkan jawabanku, tapi sebaiknya aku menunggu beberapa menit lagi.
Aku melirik Dodi yang nampak menggaruk-garuk kepalanya, bisa aku tebak, Dodi tidak akan mampu menjawab 5 soal, kemungkinan besar dia hanya akan bisa menjawab 2 soal, itu pun mungkin sudah susah-susah dan mengulang berkali-kali agar dapat jawaban yang memuaskan.
Aku kembali tersenyum tipis dan menatap lembar jawabanku yang rapi dan bersih, tidak ada coretan sedikitpun yang dapat membuat buruk lembar jawabanku. Bisa dibilang aku menjawab semua soal dengan sempurna.
15 menit berlalu lagi, masih belum ada yang menggumpulkan lembar jawaban, waktu untuk ulangan harian ini hanya tinggal 30 menit lagi. Aku memilih untuk mengumpulkan lembar jawabanku dulu, ada panggilan alam untuk ke toilet yang datang kepadaku, terlebih aku juga bosan duduk diam saja di kelas.
Bu Sintia mengambil lembar jawaban yang aku letakkan di atas meja, Ibu itu tersenyum padaku. Aku hanya ikut membalas senyuman, sekedar rasa hormat.
"Bu, Hana izin ke toilet sebentar ya," ucapku langsung diangguki tanggung oleh bu Sintia.
Sebenarnya aku tidak terlalu kebelet untuk buang air kecil, aku hanya bosan berlama-lama di kelas. Entah kenapa aku sudah ingin ke perpustakaan saja, tapi sekarang masih dalam jam pelajaran, aku tidak boleh membolos.