"Menikah?"
Mata Bella melotot mendengar ajakan dari pria yang baru ia kenal seminggu yang lalu. Pria yang tidak ia ketahui umurnya, pekerjaan, hobi atau masa lalunya. Namun, satu sisi Bella merasa ketiban durian runtuh, Daniel bisa menjadi penyelamat dari caci makian Robert nanti malam atau mungkin selamanya.
"Ya, kita menikah," jawab Daniel lagi, senyumnya melebar menunggu jawaban Bella. "Daripada aku cuma pura-pura jadi calon suami, kenapa gak kita menikah beneran? Gimana?"
Bella tertawa menanggapi ajakan Daniel yang tergesa-gesa. Baginya pernikahan adalah sesuatu sakral, cukup sekali dalam seumur hidup. Itulah mengapa ia terus menunda pernikahan bersama Bastian karena masih meragukan keseriusan dari pria penggemar action figure itu. Dan, akhirnya Tuhan menunjukkan bahw Bastian tidak layak untuk dinikahi karena Bastian memilih pindah haluan. Ya, menjadi gay.
Namun, ajakan Daniel berbeda. Di usianya yang sudah kepala tiga dan Robert yang terus mendesak, seakan akan menjadikannya seorang Hero. Setidaknya dua tiga pulau terlampaui, Bella mempunyai suami dan namanya tidak dicoret dari daftar penerima warisan.
"Apa aku harus menjawabnya sekarang? Sementara dia sudah menunggu kita, Dan?" tanya Bella melirik ke arloji, ia tidak punya banyak waktu karena untuk menemui Robert harus menerobos kemacetan selama dua jam lebih dan itu belum termasuk singgah di toko kue untuk menyogok Robert sebagai tanda perkenalan Daniel padanya.
Daniel melihat arloji dan menyetujui ucapan Bella. "Ok, kita berangkat sekarang tapi sampai di sana kamu harus menjawabnya, Bell," pintanya sedikit memaksa sambil melajukan lagi mobilnya menuju jalan tol.
❤❤❤
Robert tiada henti memandang Daniel dari ujung kepala sampai kaki. Memastikan pria yang Bella bawa berbeda dengan pria yang menjadi calon suami anak bungsunya. "Siapa namamu tadi?" tanya Robert untuk kedua kalinya.
"Daniel. Daniel Wijaya, Pak," Daniel memberitahu dengan sopan, selayaknya pria yang akan mengajak kencan anak gadisnya.
"Siapa nama orang tua kamu?" tanya Robert lagi.
"Albert Wijaya,"
"Apa?!" Mata Robert melotot. Kopi yang akan ia minum tumpah membasahi celana setelah mendengar nama pria yang ia kenal, untungnya kopi itu sudah tidak panas dan ia bisa menahan walau tidak sabar untuk mengganti celana. "Albert Wijaya pemilik Departemen store itu? Yang punya 150 cabang di Indonesia?" Robert memastikan lagi, karena yang ia tahu Albert memang mempunyai dua anak pria dan satu wanita.
Daniel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya, Pak. " Ia terkekeh lalu melirik Bella yang duduk di samping.
"Kamu gak cerita ke aku," bisik Bella.
Daniel membalas, "Kamu gak pernah nanya." Ia membela diri.
Robert berdehem sambil mengusap tumpahan kopi di celana dengan tisu dan memandang mereka berdua. "Jadi kapan kalian menikah? Bagaimana kalau bulan depan?" Ia mengusulkan agar Bella tak berubah pikiran lagi seperti pada Bastian. Apalagi calon menantunya adalah anak dari Albert Wijaya, pengusaha blasteran Perancis Jogja yang terkenal humble dan dermawan.
"Pa?!" Bella tidak setuju.
Daniel meraih dan menggenggam tangan Bella. "Oke, itu ide yang bagus, Pak. Saya akan membicarakan ini ke ayah saya dulu. Kalau sudah fix, saya pasti kasih kabar," jawabnya lugas tanpa sedikit keraguan walau tahu lawan bicaranya pria berwatak keras.
Robert mengayunkan telunjuknya ke arah Daniel. "Oke, saya suka kamu ngasih kepastian buat anak saya dari pada si Bastian," ujarnya seketika melirik ke arah Bella. " By the way, gimana kabarnya Bastian, Bell?"
❤❤❤
"Ada apa, Bas? Are you ok?" tanya pria berwajah oriental, berbadan tegap mendekati Bastian yang membersihkan serpihan kaca bingkai foto yang baru saja terjatuh dan pecah.
Bastian Wood mengangguk sambil mengumpulkan satu persatu serpihan kaca ke sebuah wadah. "I'm fine. Dia hanya terjatuh," Ia membalas lalu melirik pria tadi mendekat membawa sapu.
"Biar aku saja yang membersihkannya, Bas. Nanti tanganmu terluka," Pria itu mencegah dan langsung mengambil alih.
Bastian bangkit dan menurut.
"Kenapa kamu masih menyimpan foto dia? Bukankah sebaiknya kamu membuang atau membakarnya?" tanyanya pada Bastian, melihat foto wanita cantik.
"Dimas Wendra, kami memang sudah membatalkan pertunangan kami tapi semua itu karena salah paham saja," Bastian menjawab dan terpaksa mengulang kalimat yang sama setiap kali Dimas membahasnya, 'salah paham'.
"Itu hanya alasannya saja, Bas. Menuduhmu gay dan berpacaran denganku hanya karena aku menumpang di apartemenmu," timpal Dimas yang tak suka Bastian selalu membela mantan kekasihnya, Bella Orzo. "Dan, dia itu pembohong. Mengaku pergi ke Paris tapi aku melihatnya kemarin saat melewati kantornya. Sebaiknya kau buang semua barang milik si Bella dan segera kau cari wanita yang lebih cantik dari dia." pinta Dimas yang lama-lama emosi mengingat Bella. Sejak awal ia memang tak menyukai Bella, terlebih lagi dengan ucapannya yang tajam seperti silet.
Bastian tertawa lalu merebut sapu dari genggaman Dimas, "Biar aku saja," Ia menyelesaikan lalu membuang pecahan itu ke tempat sampah yang ada di dekat dapur.
Dimas mencuci tangan lalu menyekanya dengan serbet. "Aku pergi dulu. Ada janji di bar dengan Jack malam ini," pamitnya lalu beranjak meninggalkan Bastian yang baru saja duduk di sofa.
"Salam buat pacarmu, si Jack," ucap Bastian setengah berteriak.
Dimas melambaikan tangan tanpa menoleh dan terus berjalan ke pintu. "Akan ku sampaikan, karena dia pacarku," Tiba-tiba langkahnya terhenti di depan pintu lalu menoleh melihat Bastian. "Jack lebih baik dari pada si Bella atau wanita lainnya, Bas. Itu sebabnya aku tak menyukai wanita," ucap Dimas lagi lalu keluar dari apartemen dan menutup pintu.
Bastian memandang ponsel tergeletak di atas meja sambil berpikir. Haruskah aku menelponnya?
Tidak sampai setengah menit berpikir, ia menekan tombol kontak seseorang. Ia mendengar nada panggilannya tersambung.
Bastian bangkit lalu berjalan ke kanan dan kiri tak sabar menunggu panggilannya diangkat. "Hallo, Bella?!" Ia membuka percakapan setelah panggilannya diangkat.
Bella menoleh melihat Robert dan Daniel bicara serius tidak jauh dari dirinya yang langsung berlari kecil menuju dapur hanya untuk mengangkat panggilan Bastian "Ada apa kau menelponku lagi, Bas?! Aku di--"
"Rumah," potong Bastian cepat. "Aku tahu kamu gak pergi ke Paris dan cuma menghindar dariku. Apakah kita bisa bertemu? Ada sesuatu yang harus kamu ketahui, Bell. Aku gak seperti yang kamu duga, aku--"
"Forget it, Bas!" It's over! Kita sudah gak ada hubungan apa-apa lagi. Aku sudah bahagia dan ... kau pun bahagia dengan Dimas,"
"No! You're wrong, Honey. I'm not a gay, but he was." Bastian membela diri.
"What?! Kebohongan apalagi yang kau buat, Bas? I saw you with him. I saw you--"
"What? Pelukan atau kissing. Jika kau melihat kami sedang pelukan itu lumrah, Bell. Sama seperti kamu dengan Cindy. So, don't judge me a gay. I'm normally man. And i'm still love you, Bell,"
Bella menghela napas tidak percaya walau mengakui jika hanya melihat Bastian dan Dimas berpelukan, tapi semua orang mengetahui bahwa Dimas adalah gay dan tidak mustahil jika Bastian juga sama karena mereka hidup satu atap. Bagaimanapun juga Bella sudah tidak peduli dengan Bastian, sekalipun ia mengaku normal, baginya pria itu terlalu dingin, tidak romantis dan kurang peka.
"Sorry, Bas. Aku tak bisa menerimamu lagi. And...i hope you will be happy with Dimas. Bye.." Bella mematikan panggilan walau sempat mendengar teriakan Bastian dari seberang sana.
❤❤❤
"Masuklah." Ajak Bella setelah membuka pintu apartemen pada Daniel yang berjalan di belakang. "Kamu mau minum apa, Dan? Mau yang hangat atau dingin?" tawarnya yang langsung berjalan menuju dapur.
Daniel mengikuti lalu menarik tangannya kencang, "Tunggu dulu, Bell," Tangannya menarik pinggang Bella dan memeluknya erat.
Bella memundurkan kepala walau kedua dadanya berbenturan keras dengan d**a bidang Daniel. "Lepaskan, Daniel. Kamu mau apa?" Ia terheran Daniel yang tiba-tiba memeluknya sambil tersenyum nakal.
"Yang hangat, Bell. Aku ingin menciummu hangat," Daniel menjawab setelah menelan ludah melihat payudaranya dari celah kemeja Bella.
"Setelah menciumku kau mau apa?" Bella menantang dan menyeringai, merasakan sesuatu yang berdiri tegang, keras dan hangat menempel di perutnya.
Bak gayung bersambut Daniel makin melebarkan senyum mendengar respon Bella yang membuat tangannya otomatis membuka kancing kemeja Bella satu persatu lalu berbisik. "Mencumbumu."