Casya ingin sejenak mendinginkan hati dan pikirannya dari segala permasalahan yang ada. Tapi kenapa dia justru semakin mendekat dengan masalah? Tidakkah bisa dia sejenak saja tenang? Dari segala permasalahan pekerjaan sampai keluarga dan sahabatnya? Apa memang sesial inikah hidupnya? Atau sebenarnya mama dan papanya juga tidak pernah mengharapkan dia terlahir makanya mereka berpisah, tidak bisa memberi sedikit kasih sayangnya yang tulus untuknya? Ah, hidup memang semenakutkan itu dan ternyata setelah dijalani kau akan tahu bagaimana caranya untuk bertahan dengan sendirinya.
Dia duduk hanya untuk meminum segelas espresso tanpa gula dan s**u. Hampir pahit walau tidak sepahit kopi hitam pekat atau yang biasa disebut Americano. Tiba-tiba ponselnya berdering.
"Halo," ucapnya.
"Kamu di mana?" balas orang di seberang sana. Tampaknya dia tidak mau berbasa-basi.
"Café," ujarnya singkat.
"Kamu tidak lupa kan nanti malam? Papa tidak mau malu, Cas. Jika pun karena tante Danisa, papa pasti sudah datang," ujarnya.
"Hem." Casya mendengus. Ya, orang itu adalah papanya yang menanamkan benihnya di rahim mamanya sampai ada dia. Tapi kelakuannya tidak sedikitpun cocok menjadi seorang ayah.
"Kamu mabuk?" tanya papanya.
"Ini masih siang. Dan saya tidak segila itu. Lagian tumben sekali, Tuan Bramantyo yang terhormat, menanyakan seorang Casya seperti itu," ujarnya sarkas.
"Hem, papa hanya bertanya, kenapa kamu selalu sensitif sekali?" tanya papanya heran.
"Tidak perlu." Klik, bunyi panggilan diakhiri menjadi akhir sebuah pembicaraan yang tidak pernah ada ujungnya itu. Bagi Casya lebih baik mengakhiri dengan cara seperti itu dari pada menjilat dan berdebat panjang lebar tapi tidak ada hasilnya.
"Dasar tua bangka! Bisanya hanya menyuruh dan memerintah. Kenapa dia tidak membayar orang saja menjadi anaknya? Dasar k*****t!!" hujatnya pada gelas yang ada di depannya.
***
Pelayan datang membawakan makanan yang dipesan Casya.
"Ini, Mbak, silakan," ujarnya mempersilakan Casya sambil membungkuk.
"Temembungkuk, Mbak. Eh, tunggu sebentar. Ini tambahan buat Mbak," ujarnya sambil memberikan tip pada pramusaji itu. Setelah mengucapkan terima kasih, si pramusaji berlalu.
Apa yang dilakukan Casya semua terlihat jelas oleh seseorang di depan sana. Semua perlakuannya kepada si pramusaji dan tingkah konyolnya yang mengomel pada gelas juga sangat jelas, membuat orang itu tersenyum dan kadang mengernyit bingung. Kemudian ponselnya kembali berdering.
"Ya, ada apa?" tanyanya tanpa mau capek melihat siapa penelpon itu.
"Casy, kamu di mana?" tanya orang di seberang.
Casya yang hafal suara ini melihat id penelpon, ‘Sky Si Tidak Peka’. Rupanya dia, batinnya.
"Ya, kenapa?" tanya Casya balik.
"Kamu di mana? Aku tanya, Cas, kenapa kamu tanya balik aku?" katanya kesal.
“Hehehe, sorry. Gue pikir lu b**o kagak sadar," celanya sambil mencibir walau dia tau Sky tidak akan melihat.
"Ah, kamu di mana?" ulang Sky, katanya mulai ditekan pertanda dia kesal dipermainkan oleh Casya.
"Eits, tenang dong. Santai aja dulu. Kalau kamu mau tahu, habis ini kamu mau ajak aku ke mana? Atau aku dapat apa deh biar ada giftnya gitu lho," jelasnya sambil terkekeh.
"Apa aja deh. Aku ajak kamu keliling Jakarta gimana?" tawarnya.
"Hem, gimana ya?" Casya masih berpikir tapi kemudian Sky menjawab,"Iya itu aja, titik," ujarnya. Klik. Lalu panggilan diakhiri.
Casya yang tahu panggilannya diakhiri pun mendumel sendiri.
"Ih, Sky ngga asik banget deh. Gue belom setuju dia udah main iya aja. Ishh, anak itu. Gue ngambek deh kalo dia datang," monolognya pada ponsel di tangan.
Drrrrt...drrrrt.. Ponselnya kembali bergetar.
Sky : Di mana? Cepat bilang!
"Ishh, kenapa dia maksa sih? Suka banget pemaksaan," ucapnya. Mungkin orang yang belum terbiasa melihat Casya akan bingung sendiri, tapi orang yang sudah biasa akan tersenyum simpul. Contohnya adalah pramusaji tadi. Karena Casya sudah biasa duduk di sana walau hanya memesan kopi beberapa gelas bisa untuk dua atau tiga jam saja.
Casya : Di cafe biasa. Buruan yaa, entar gue balik.
Setelah membalas pesan itu dia kembali menekuri beberapa kertas yang menjadi objek dan tujuannya di cafe ini buat sejenak melepas penat
Semua yang dilakukannya kali ini pun tidak luput dari penglihatan seseorang di sana. Dengan senyum sama rasa penasarannya pun semakin membludak karena dia tau sepertinya Casya berbicara dengan seseorang yang akrab melalui telpon itu.
Dua puluh menit kemudian...
Seseorang berlari ke arahnya dan mulai mengatur nafas.
"Duduk." Casya mempersilakan.
"Makasih" ujarnya lalu duduk.
"Ngapain kamu bela-belain ke sini? Rindu sama aku?" tanya Casya nyengir tanpa dosa membuat orang di depannya mendelik kesal.
"Ngga lah. Aku justru khawatir kamu ngelakuin hal aneh. Karena kutolak, mungkin sebab aku nolaknya udah berulang kali." Sinis dalam ucapannya walau tidak benar-benar sinis dari hatinya.
"Hahahaha, kamu lucu banget sihh," ujarnya sambil mengerling mencoba menggoda Sky dengan tatapan genit. Bukannya tergoda atau lucu, justru Sky bergidik ngeri akibat ulah Casya.
"Aku ngga pernah tahu bahwa temanku ternyata calon penggoda akibat ditolak. Dan itu mengerikan," ujarnya sarkas.
Kata-kata Sky kembali membuat Casya tertawa puas. Terbahak sampai mau mengeluarkan air mata menahan tangis yang diakibatkan karena terlalu banyak tertawa dalam frekuensi yang besar dan lama.
"diam, dasar! Cantik-cantik tapi tertawanya kok bar-bar banget sih? Ngga anggun banget kamu," jelas Sky. Sebelum sempat Casya menjawab, seorang pramusaji datang.
“Pesanannya, Pak?" tanyanya.
"Oh, ya sebentar," ujar Sky.
Setelah memesan dan pramusaji itu pergi, Casya membalas ucapan Sky tadi.
"Biarin aja bar-bar. Lagian tetep cantik ya ngga masalah dong! Emang kalau aku berubah jadi anggun …." Casya menggantung ucapannya membuat Sky menaikkan sebelah alisnya yang sukses selalu membua Casya kesal, "… kamu mau sama aku?" Dalam satu tarikan nafas kata itu keluar begitu saja.
"Ukhuk!" Sky terbatuk karena terkejut. Dia tau Casya suka padanya. Memberikan sinyal atau kode-kode tapi tidak berterus terang karena itu seakan langsung melempar bom di depannya. Walau dia tahu, tetap saja dia terkejut mendengar pernyataannya langsung.
Casya tertawa puas dan lepas. “Hahahaha. Gitu aja kamu langsung terkejut. Gimana kalau Maudy yang bilang suka sama kamu?" tembak Casya, lagi-lagi membuat Sky tak berkutik bingung.
"Alah, sudah ngga usah dibahas. Syok banget ya kamu, Pak?" tanya Casya.
"Aku minta maaf ya," lanjutnya dengan menangkupkan kedua tangan di depan d**a dengan muka memelas, membuat Sky mendengus. Lalu Casya yang melihat pun hanya tersenyum puas sambil menepuk sebelah lengan Sky yang bisa dia jangkau, sambil mengatakan, "Sabar ya, sepertinya kita sama dan serasi," ujarnya kembali membuat Sky lagi-lagi berdehem.
“Aku makan dulu," katanya mengalihkan pembicaraan.
Sky tahu kalau terus melayani ucapan Casya, dia takkan menang dan tidak pernah ada habisnya. Lebih baik mengalihkan saja.
"Selalu begitu," ujar Casya mencibir.
Sky tahu Casya tidak terima, tapi dia tetap diam dan melanjutkan makan pura-pura fokus.
***
Seseorang di sana tetap memantau.
"Pak, hari ini Bapak ada pertemuan dengan seseorang untuk proyek ke depannya," ucap Key, si asisten yang setia padanya.
"Aku tidak lupa, Key. Suruh Pak Budi pulang. Hari ini kau yang menyetir dan nanti pulang duluan saja. Aku ingin sendiri setelah pertemuan ini," ujarnya.
"Oh, ya pukul berapa pertemuannya? Jika malam maka cukup satu jam saja, ‘kan? Bagaimana menurutmu kira-kira?" tanya Tirta pada Key.
Ya orang itu adalah Tirta. Dia penasaran semenjak kemarin siang bertemu dengan Casya dan tadi juga bertemu di lobi kantor. Semalam dia mengikuti ketika jam pulang kantor, tapi tidak ada yang aneh karena Casya hanya duduk di pinggir kolam dekat taman, menyendiri.
Sekarang dia juga mengikuti, dan Key yang tidak tahu apa-apa hanya berdehem bingung sebab bosnya itu tidak pernah bertanya berapa lama kira-kira setiap pertemuan berlangsung. Karena selama ini bosnya baik dan nyaman saja. Kalau dia tidak suka, maka akan dicarinya sendiri bagaiamana cara keluar dari sana. Lalu, kenapa sekarang bertanya? Begitu pikirnya.
"Bagaimana Key?" ulangnya, membuat Key terhenyak karena dia pikir akan terlupakan tapi nyatanya tidak. Dia lupa bosnya suka menagih janji.
"Saya tidak tahu, Bos. Paling lama satu jam saja," jawabnya memberi pendapat yang dia bisa.
Melihat Tirta hanya manggut-manggut dengan tangan di dagu dia mulai cemas. Akhirnya Tirta memutuskan, “Oke, sepertinya cukup. Dan nanti kamu pulang saja."
Key hanya mengangguk melihat bosnya mulai berdiri. Itu pertanda mereka akan berangkat.
"Pukul berapa sekarang?" tanyanya lagi.
"Pukul lagi, Pak," jawabnya.
"Oke. Eh, Key, cari tahu siapa pria yang ada di sana," titah Tirta sambil menunjuk ke arah Sky.
Key yang paham hanya mengangguk dan sejenak berpikir dia seperti tahu siapa itu tapi masih ragu karena jika dia salah maka habislah dia. Jika benar ya syukurlah.
"Baik, Pak. Yang berbicara dengan Nona Casya, ‘kan? Tapi sepertinya Bapak jangan menunjuk begitu, sebab apabila dia melihat maka pasti tidak nyaman," ujarnya secara tidak sadar menasehati bosnya itu.
Tirta yang mendengar pun berbalik badan. "Kau menasehatiku, Key? Uh, aku tidak peduli!" ujarnya lalu berjalan menuju mobilnya.
Key yang sadar dia sudah secara tidak sadar menasehati bosnya pun hanya berharap dalam hati dia tidak akan kelupaan suatu hari nanti dan bosnya tidak menambah pekerjaannya.
Mereka berlalu dari sana dengan senyum samar yang menghiasi wajah Tirta. Sekilas Casya menoleh karena tadi dia seperti melihat seseorang menunjuk Sky namun dia tidak bisa melihat wajahnya, hanya punggung kokoh dan cocok banget buat dipeluk deh, batin Casya.
***