Setelah pertemuan dengan Sky, Casya kembali melangkahkan kakinya ke butik untuk bersiap nanti malam karen ada acara yang seharusnya dihadiri Si Tua Bangka itu tapi malah harus dia yang pergi. Casya pun mendengus kesal, kenapa hidupnya harus diperintah oleh Si Tua yang sudah membuatnya ada di dunia ini.
Setelah membereskan sedikit pekerjaan dan butiknya yang sedikit berantakan, dia menaiki lantai dua dan melepaskan highheels yang dia pakai, meletakkannya di rak sepatu dan bersiap akan mandi ketika ponselnya berdering. Setelah melihat Id di layar, dia mengangkatnya.
"Halo," ujarnya cepat.
"Kamu tidak lupa, ‘kan, untuk malam ini?" Casya hanya mendengus mendengarnya.
"Tidak," ujarnya.
"Kamu di mana?" Dia kesal kenapa selalu ditanya dia di mana? Apa peduli si tua itu selain bisnisnya, batinya.
"Ini lagi siap-siap. Sudah nanti lagi," ujarnya.
"Ka—" Belum sempat ayahnya menjawab, dia sudah memutuskan panggilan sepihak.
Bodo amat, pikirnya. Dia sebenarnya tidak mau diperintah. Dia juga bukan orang yang mau saja disuruh. Hanya saja untuk menghormati neneknya, dia akan melakukannya. Sebab, nenek tidak suka dia bertengkar dengan ayahnya walaupun tidak terlalu akur, setidaknya kelihatan akur saja lebih baik. Kemudian dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tidak berselang lama, dia telah selesai lalu membuka wardrobe untuk mencoba beberapa gaun terbaik yang dia miliki.
"Ini bagus, tapi norak deh," monolognya. "Ini juga. Tapi ketinggalan jaman."
Ini, itu, dan yang lain seterusnya. Akhirnya dia lelah sendiri memilih pakaian apa yang akan digunakan.
"Ngapain aku tampil cantik di sana jika bukan kepentinganku?" tanyanya pada diri sendiri.
"Ah, tapi tetap saja. Aku perlu menarik perhatian. Siapa tau bisa dapat jodoh. Lagian agar si tua itu tidak terlalu malu aku juga bisa menggaet beberapa rekan untuk kerja sama," katanya lagi.
Akhirnya setelah diputuskan, dia akan memakai gaun terusan simple dan terlihat santai berwarna hitam elegan dengan lengan pendek dan panjang gaun di bawah lutut, sedikit agar terlihat tetap sopan dan sexy.
Setelah dia memakai gaun itu, dia mematut diri di depan cermin sembari menilik penampilannya. Ah, ternyata aku masih cantik kok, ucapnya membatin. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dia tidak melihat id di layar, langsung saja mengangkat.
"Halo?" ujarnya.
"Halo, Nak. Kamu apa kabar? Sehat?" tanya neneknya. Oh, nenek rupanya. Pasti si tua itu kembali mengadu pada neneknya tentang betapa tidak sopannya dia kepadanya.
"Halo, Nek. Nenek apa kabar? Casya baik kok," jawabnya.
"Nenek juga baik, Nak. Kamu makan teratur, ‘kan?"
"Teratur, Nek. Sangat teratur. Nenek kenapa menelpon Casya?" tanyanya. Dia sudah tahu dan tidak akan membuang waktu basa-basi dengan nenek hanya untuk mengalihkan topik.
"Kamu to the point sekali. Memangnya tidak boleh nenek menelpon cucu nenek? Memangnya tidak boleh nenek merindukan kamu?"
“Uhh.” Casya mendengus walau dia tau nenek tidak akan melihat.
"Boleh, Nek. Sangat boleh. Tapi Casya tahu Nenek tidak berbicara denganku hanya untuk itu," ujarnya.
"Kamu selalu bisa menebak nenek ya, Cas." Tentu, Nek, batin Casya.
"Nenek cuma mau minta sama kamu, jangan terlalu keras dengan ayahmu ya, Nak.”
Iya sih papanya memang anak neneknya, yang membuat kakek neneknya juga terluka.
"Casya tidak keras, Nek. Memang berbicara padanya harus dengan otot, tidak bisa lembut. Apalagi selembut sutra," jawabnya kesal mengingat ayahnya. Meninggalkan banyak luka di hatinya.
Kenapa mengingat mamanya tidak? Sama. Ketika dia mengingat mamanya juga sakit. Hanya saja dulu dia hanya anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Selalu menaruh harapan besar pada ayahnya. Dia selalu mendambakan mendapatkan laki-laki seperti ayahnya, bahkan ketika dia sudah SMP dan merasakan sakit pun, tetap berharap ayahnya datang ketika dia ulang tahun tapi nyatanya tidak. Ayahnya selalu lupa atau entah pura-pura lupa. Dia tidak mau tahu lagi sekarang. Dia melamun sampai neneknya memangil.
“Casy, halo?" Dia tersentak dari lamunannya, sadar seketika.
"Ah, tidak, Nek. Hanya sedikit pusing saja," ujarnya.
"Kamu baik-baik saja, ‘kan? Jangan terlalu diforsir dengan kerjaan."
"Iya, Nek. Paham. Nenek masih mau bahas yang tadi atau tidak? Aku malas bahas dia, Nek," katanya.
"Nak, jangan begitu. Ayahmu mungkin bersalah. Tapi tolong beri dia waktu. Nenek juga salah, tidak hanya ayahmu."
"Nenek ngga usah belain dia. Dia punya anak dan isteri yang bisa ngurus dia. Kurang banyak apa waktu yang selama ini kita beri?" kesalnya menggebu-gebu.
"Ah, suatu saat nanti kamu akan mengerti. Dan jangan lupa, cepatlah cari jodoh. Nenek sudah tidak sabar menggendong cicit. Nenek masih kuat kok." Dia ternganga mendengarnya. Neneknya pikir mencari jodoh dan punya anak seperti membeli kue donat lalu dapat isi di dalamnya. Ckckckkc, ada-ada saja, batinnya.
"Iya, Nek. Tapi Casya belum bisa janji sama nenek untuk memberi dia waktu. Dan permintaan Nenek bukan kaya beli pakaian. Beli dua gratis satu." Jawabannya membuat neneknya tertawa di seberang sana.
"Iya, sudah. Kamu mau pergi ke acara pembukaan cabang perusahaan rekan kerja ayahmu, 'kan?"
"Iya, Nek. Nenek makan dan istirahat ya. Jangan sampai sakit," ucapnya.
"Sakit ya tidak bisa diprediksi, namanya sudah tua. Ya, sudah, hati-hati, Nak. Pakaiannya yang sopan ya!"
"Iya, Nek. Selamat malam."
"Selamat malam."
Setelah mematikan panggilan dari nenek, dia mendengus. Neneknya pikir selama ini dia tidak berpakaian sopan? Astaga, lalu bagaimana dengan manusia-manusia setengah matang dengan pakaian kurang bahan? Ya ampun, nenek benar-benar deh, ucapnya membatin.
Dia termasuk sopan, belum lihat saja neneknya bagaimana cara berpakaian beberapa temanya. Apalagi Alena yang sangat sexy, jangan diragukan lagi.
***
Sedangkan seorang pria bersiap-siap akan pergi. Aku masih tampan ternyata, batinnya.
Ponselnya bedering. Arga is calling.
"Halo?" Sapaan pertama untuk orang di seberang.
"Kenapa, Ga?" tanyanya.
"Aku tidak bisa pergi ke acara itu, Ta. Tolong wakilkan aku juga."
Tirta mendengus, begini jika sudah dibutakan cinta pada wanita itu, dasar. Pikirnya.
"Baiklah."
"Terima kasih."
"Ya," singkatnya lalu mematikan panggilan.
Dia bersiap dan turun dari lantai penthousenya.
"Key!" panggilnya.
"Ya, Bos," jawab Key.
"Ayo berangkat!"
"Baik, Bos," ujar Key mengikuti Tirta dari belakang menuju mobil yang akan dikemudikan oleh Key.
"Apakah menurutmu wanita tadi datang ke acara ini, Key?" tanyanya memecah keheningan di dalam mobil.
"Saya tidak tahu, Bos." Key saja bingung kenapa tiba-tiba bosnya itu menanyakan tentang wanita bernama Casya.
"Jangan terlalu tegang, Key, santai saja," ujarnya.
Key bisa saja santai. Tapi keadaan kadang tidak memungkinkan dia untuk santai. Apalagi bosnya ini kadang suka sekali memberi kejutan. Kejutan yang kadang tidak diharapkan oleh siapa pun, termasuk dia.
"Setelah ini kau pulang saja, Key. Biarkan aku pulang sendiri nanti," ucapnya lagi.
"Iya, Bos." Key hanya mengangguk tanda setuju. Sebab beberapa hari ini dia dibuat tidak bisa tidur nyenyak akibat banyaknya pekerjaan yang dilimpahkan Tirta padanya. Walau dia tahu, Tirta juga sibuk membantu Arga. Beginilah orang-orang kaya bekerja, batinnya.
Tidak berselang lama. Hanya memakan waktu 30 menit ketika baru saja Tirta sampai di halaman parkir. Sebelun turun, dia melihat seorang wanita yang sudah menarik perhatianya sejak pertama kali berpapasan. Tidak bisa dikatakan pertemuan karena tidak sengaja kecuali di cafe itu. Memang dia sengaja menguntit. Dia pun tidak pernah percaya bahwa dia mulai seperti seorang psikopat yang mengintai mangsanya dan Casyalah buruannya.
"Uhu, permainan baru akan dimulai," ujarnya pelan sambil bersiul tapi masih tetap bisa didengar oleh Key yang berada di kemudi.
***