Bagaimana Putra dan Wira bisa tahu? Hanya Chima dan Geovan yang tahu tentang Raka berada di tempat kejadian ketika Karina jatuh dari lantai tiga. Terlebih, Chima dan Geovan malah langsung membawanya pergi dari tempat kejadian agar tidak disangka sebagai pembunuh. Lantas, bagaimana kedua adik kelasnya ini bisa tahu tentang hal itu? Tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Chima dan Geovan, Wira dan Putra juga membawanya pergi dari lokasi tragedi. Tapi mengapa?
"Kak Raka?" Panggil Putra lagi.
Wira mendecih dengan ekspresi kesal. "Meskipun kau berbohong, kami sudah tahu. Kau ini sebenarnya apa sih?"
Putra menggeleng kepada Wira, mengisyaratkan temannya itu untuk tidak berbicara kepada Raka secara kasar. Putra terus berusaha mendekati Raka, tetapi dia tetap menjaga jarak seolah enggan jika sampai bersentuhan dengannya.
"Kak, kami nggak ada maksud apa-apa menanyakan itu, hanya saja..."
Raka memandang Putra dengan ekspresi putus asa. Raka tidak berpikir bahwa seseorang selain Chima dan Geovan akan mengetahui bahwa ia berada pada tempat dan waktu yang sama dengan Karina ketika ia jatuh.
"Kak, sebenarnya mengapa Kakak bisa bersama dengan orang-orang yang meninggal?"
Raka terkekeh pelan. "Kau bertanya seperti itu seperti aku tahu jawabannya saja. Aku ingin saja menjawabnya kebetulan, tapi kebetulan mana yang terjadi berulang kali, dan kau Putra, kau bahkan mengatakan ada yang salah dengan takdirku di pertemuan pertama kita kemarin. Kau pasti bisa melihat yang tak terlihat, jadi harusnya kau lebih tahu apa yang terjadi padaku daripada aku sendiri."
Putra terkejut. "Tapi Kak, aku—"
"Kau tampak ketakutan setiap kali usai reflek menyentuhku. Katakan, apa karena bersentuhan denganku mereka semua mati? Zefan mungkin belum sampai berjabat tangan denganku, tapi jemarinya sudah bersentuhan dengan jemariku, Karina naik ke pagar balkon dengan berpegangan denganku, dan yang terakhir gadis yang di toilet itu. Dia sudah berniat bunuh diri sejak awal, tapi usai menyentuh dan melukai lenganku, dia seolah tak berpikir panjang dan langsung menggorok lehernya. Kau, yang bisa melihat hal-hal yang tidak dilihat orang pada umumnya pasti tahu tentang hal itu 'kan?"
Putra mengerutkan dahinya. "Aku mungkin bisa, tapi aku tidak memiliki kemampuan sampai ke hal-hal seperti itu. Aku hanya kebetulan terlahir dengan penglihatan berbeda, tapi aku tetap manusia biasa, Kak. Aku bukan Tuhan."
Raka menaikkan sebelah alisnya. "Oh? Kalau begitu, jelaskan tentang 'Takdir yang salah' sebagaimana yang kau ucapkan kemarin."
Wajah Putra pucat pasi. Ia menunduk, seolah berusaha menghindari kontak mata dengan Raka. Jelas sekali bahwa adik kelasnya itu enggan mengatakan apa maksud ucapannya sendiri, dan jelas hal itu semakin membuat Raka penasaran. Jika memang Putra tahu sesuatu, mengapa dia tidak mengatakan segalanya? Adakah alasan yang relevan sampai-sampai ia tidak mau mengatakan maksudnya? Jika dia memang tidak berminat ikut campur, lantas mengapa ia menolong Raka? Selalu ada alasan di balik tindakan, dan sekarang Raka benar-benar butuh tahu alasan apa yang membuat Putra tidak mau menjelaskan maksud ucapannya sendiri.
Raka tertawa. "Kau tidak mau mengatakannya."
"Kak Raka—"
"Aku berterimakasihlah atas pertolongan kalian kemarin, tapi kurasa tidak ada urusannya lagi aku bersama kalian. Bye." Raka berbalik pergi. Benar, ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan Putra dan Wira. Ia tidak memiliki urusan apapun dengan adik kelas yang baru saja dikenalnya kemarin. Tidak ada apapun yang berhubungan dengan mereka kalau mereka tidak mengatakan apa-apa.
Raka tidak pernah bersikap seperti itu, atau setidaknya itulah yang ia ingat. Setidaknya sejak dulu Raka selalu bersikap ceria, kurang lebih seperti Putra sebelumnya, hanya saja ia tidak sepolos Putra. Segalanya benar-benar berubah sejak Raka melihat kematian pertama di atap sekolah lamanya. Seakan tekanan datang dari mana saja. Masalahnya, Raka mungkin akan kembali seperti Raka yang dulu andai sisa kehidupan SMA-nya damai dan tentram sebagaimana yang ia pikirkan saat memutuskan pindah. Tapi sayang, bukannya menjadi damai tetapi malah semakin buruk. Apa yang lebih buruk dari melihat tiga kematian di hari pertama masuk sekolah baru? Sepertinya tidak ada.
Raka menghela napas sembari menggaruk tengkuknya pelan, merasa konyol dengan sikapnya sendiri. Ia berjalan malas untuk kembali ke kelasnya, dan untuk gadis yang bunuh diri itu, Raka tidak memiliki keinginan untuk terlibat meski sebenarnya ia memang terlibat. Dia akan melihat saja, keributan apa lagi yang akan terjadi pasca mayat gadis itu ditemukan.
O||O
Raka berharap bisa menikmati semester terakhirnya di SMA dengan aman, nyaman, dan tenteram, tapi sepertinya semua itu tidak akan pernah terjadi. Jika Raka bisa menemukan alasan mengapa ia selalu berada di tempat dan waktu ketika seseorang meninggal, mungkin ia bisa membenarkan apa yang salah, itu pun jika ia tahu mana yang salah.
Seperti yang ia kira, sekolah langsung ramai begitu petugas kebersihan menemukan mayat gadis yang bunuh diri itu. Sekali lagi, kegiatan belajar mengajar terganggu seperti kemarin. Entah Raka harus bersyukur atau sedih karena di semester terakhirnya saat kelas dua belas pembelajaran sama sekali tidak lancar. Raka sadar diri, ia tidak begitu pandai dalam hal akademik, satu-satunya yang membuat ia merasa bebas adalah campur tangan uang dari orang tuanya tentu saja. Ia bisa masuk ke Universitas paling bergengsi di Indonesia, atau melarikan diri ke luar negeri dengan semua uang orang tuanya, masa bodoh dengan otaknya yang pas-pasan, karena realitanya, memiliki uang memang memperlancar segala hal.
Raka terkekeh dengan pemikirannya sendiri. “Itu pun jika aku masih hidup saat hari kelulusan.” Gumamnya. Jujur saja, dengan banyaknya kematian yang terjadi di sekitarnya, tidak menutup kemungkinan bahwa ada masa dimana ia juga akan mati. Entah dengan cara apa, atau oleh siapa ia akan menemui ajalnya sendiri.
“Mungkin sebaiknya aku kembali ke kelas saja sebelum—“
Raka membelalak. Lengannya ditarik paksa hingga membuatnya oleng dan nyaris jatuh. Rasanya benar-benar déjà vu. Baru saja Putra dan Wira melakukan hal yang sama, sekarang siapa lagi yang melakukannya?
“Chima?” Seru Raka terkejut, dan tentu saja ada Geovan yang bersama gadis itu.
“Sshh…” Chima meletakkan telunjuknya di depan bibir. “Kau baik-baik saja, Raka?”
Raka mengernyit. “Hah?”
“Gadis yang bunuh diri di toilet itu, kamu ada di sana bersamanya ‘kan?”
Raka meremat celana abu-abunya, orang-orang selalu saja tahu apa yang ia lakukan. Memangnya, bagaimana Chima dan Geovan tahu sementara mereka juga pergi terlebih dahulu kemarin. Putra dan Wira, Chima dan Geovan, keempat orang itu benar-benar aneh. Seolah mengetahui segalanya, Raka dibuat selalu terkejut mengenai bagaimana mereka bisa tahu sementara mereka tidak ada di tempat kejadian.
“Bagaimana kamu tahu? Kamu dan Geovan sudah pulang duluan ‘kan? Bahkan lebih dulu daripada Putra dan Wira kemarin.”
Chima memasang wajah ceria. “Kami nggak langsung pulang karena ada keperluan kemarin, dan kami melihat Putra dan Wira menolongmu dan membawamu pulang.”
Melihat? Raka merasa tidak ada korelasinya ada keperluan dengan melihat apa yang dilakukan Wira dan Putra di toilet. “Keperluan kalian di toilet? Aneh sekali karena kalian beg—kenapa menjauh dariku?” Tanya Raka ketika ia melihat Chima mendongak dengan ekspresi horor di wajahnya.
“K-Kami ada keperluan di kelas, nanti kita bicara lagi. Sampai nanti, Raka.” Chima menarik Geovan masih dengan ekspresi ketakutan di wajahnya. Raka menoleh, dan tidak melihat apapun yang seharusnya membuat mereka takut. Ia menggaruk tengkuknya dengan bingung. Pertama Putra, dan sekarang Chima.
Sebenarnya, apa yang mereka lihat di dekat Raka atau malah pada diri Raka sampai memasang ekspresi ketakutan seperti itu?
O||O