Setidaknya, bukan kali pertama Raka merasa seseorang memperhatikannya. Raka bukan tipikal remaja yang peka dengan keadaan sekitar, tetapi ia selalu meras ada seseorang yang mengawasi gerak-geriknya. Di sekolah ketika banyak anak-anak lain, atau bahkan saat ia berjalan pulang ketika ia menunggu jemputan supirnya. Rasanya benar-benar aneh karena Raka seolah merasakan tatapan itu begitu tajam menghujam tubuhnya. Raka selalu berjengit kaget, menatap ke belakang dan mencari-cari siapa yang terus-terusan mengawasinya dan apa tujuannya, tetapi semua selalu nihil. Dia tidak menemukan siapapun, apalagi alasan dia diawasi. Raka sempat mengira ada seseorang yang mencurigai dirinya perihal kematian Karina dan Pelita, tetapi rasanya tidak mungkin ia hanya diawasi diam-diam jika memang orang tersebut memiliki bukti keterlibatannya. Hanya Chima, Geovan, Putra, dan Wira yang tahu soal itu, dan Raka yakin mereka berempat tidak akan dengan santai melaporkan bahwa Raka terlibat karena itu juga akan mempengaruhi kehidupan mereka. Proses hukum tidak pernah berjalan dengan sederhana, dan Raka sendiri juga tidak membunuh Karina dan Pelita.
Raka ingin sekali menceritakannya kepada Mbak Hannah, tetapi ia sendiri tidak ingin membuat wanita pengasuhnya itu khawatir dan malah panik mencarikan pengawal untuknya. Karena apapun yang Raka laporkan pada Mbak Hannah, wanita itu akan langsung laporan kepada orang tuanya. Raka bisa bilang jika orang tuanya memang jarang menemuinya, tetapi mereka begitu cepat bertindak jika Raka melaporkan sesuatu yang mengganggu. Dengan atau tanpa mereka datang pada Raka langsung.
Ini hari ketiga. Raka merasa tenang karena tidak ada hal aneh semacam kematian lagi setelah Pelita Hapsara. Namun meski begitu, Raka tetap ketar-ketir, takut jika sesuatu yang buruk terjadi.
Raka berjalan santai di lorong sekolah ketika segerombolan murid laki-laki dan perempuan langsung menghentikan obrolan mereka dan menatap Raka dengan pandangan merendahkan.
"Coba pikir, sejak anak baru itu datang tiba-tiba saja ada tiga kasus kematian di sekolah kita. Sudah dua tahun berlalu sejak kasus kematian kakak kelas kita dulu, dan semuanya damai. Tapi tiba-tiba kematian-kematian mengenaskan terjadi begitu saja."
Raka memperlambat langkahnya, mendengarkan rumor yang disebarkan itu. Seolah mereka sengaja memperdengarkan apa pendapat mereka kepada seseorang yang mereka curigai.
"Mungkin anak baru itu membawa kematian? Terkutuk?"
"Kalau benar, berarti kita juga nggak aman dong? Bisa jadi dia nargetin kita untuk tumbalnya."
Telinga Raka rasanya panas mendengar celoteh tak berdasar mereka. Terkutuk? Membawa kematian? Memangnya Raka ini manusia apa? Dan kurang ajar sekali mereka sengaja mengatakannya dengan keras. Mereka memang tidak menyebut nama Raka, tetapi satu-satunya anak baru yang masuk di pertengahan semester dua memang hanya dirinya sendiri. Raka tidak bisa menyalahkan mereka yang berpikir seperti itu, tetapi ia sendiri juga kesal mendengarnya. Rasanya tidak etis mengatai seseorang terkutuk. Kalimat mereka terlampau kejam, dan Raka sungguh sakit hati mendengarnya.
Raka menoleh ke arah mereka, dan gerombolan itu menatap Raka dengan sinis.
"Kau mau mengutuk kami ya? Supaya kami mati dengan mengenaskan seperti tiga anak sebelumnya?" Salah seorang dari gerombolan itu meneriaki Raka. Dia adalah seorang perempuan dengan postur tinggi dan rambut panjang. Alisnya menukik dan lirikan matanya benar-benar sinis.
"Bisakah kalian menutup mulut? Semoga lidahmu nggak rusak karena kebanyakan menggosip." Balas Raka asal.
Perempuan itu mendecak. "Kau! Manusia terkutuk!" Raungnya keras.
Raka tidak peduli. Ia langsung berjalan pergi untuk menuju kelasnya. Gerombolan itu masih terus menggunjingkan Raka, dan Raka tetap mendengarnya bahkan sampai dirinya sudah berjalan agak jauh. Beberapa murid lain yang kebetulan berpapasan dengannya dan gerombolan itu menatap aneh dan penasaran. Raka malas menjadi tontonan, apalagi karena ia melawan gerombolan penggosip yang menyebalkan.
Siapa yang pertama kali memulai rumor bahwa Raka membawa kematian? Ia tidak menyangkal bahwa kejadian-kejadian buruk itu memang terjadi setelah ia datang, tetapi disebut sebagai pembawa kematian jelas tidak enak. Memangnya Raka malaikat pencabut nyawa? Dia hanya manusia biasa yang kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah. Harusnya memang bukan kebetulan lagi mengingat semuanya sudah terjadi tiga kali. Jika Raka bisa mengetahui apa penyebabnya, mungkin ia juga bisa menghentikan semua tragedi itu. Kematian terakhir ada pada Pelita Hapsara, dan setelahnya masih aman. Raka berharap semuanya akan tetap aman, dan tiga kematian sebelumnya benar-benar hanya kecelakaan yang kebetulan Raka berada di tempat kejadian.
"Kenapa tidak masuk ke kelas?"
Raka terlonjak kaget. Rayhan berdiri di belakangnya sembari membenarkan kacamatanya yang sama sekali tidak bergeser. Pandangannya sangat datar, sama sekali tidak berubah sejak hari pertama Raka mengenalnya.
"Ray, kamu nggak dengar gosip tentangku?"
"Aku bukan penggosip."
Raka mendecak. "Maksudku kamu tahu rumor yang tersebar tentangku, nggak?"
"Si Pembawa Kematian?"
Raka menghela napas berat. "Jadi benar-benar sudah menyebar ya." Keluhnya.
"Kurasa satu sekolah sudah tahu karena rumor itu masuk ke forum berita klub jurnalistik sekolah. Tadi aku melihat ketua klub jurnalistik dipanggil kepala sekolah karena unggahan berita itu. Karena beritanya terkesan ngawur dan tidak ada bukti valid serta menyebutkan nama seseorang secara spesifik, berita itu seharusnya tidak boleh diterbitkan apalagi di forum jurnalistik sekolah. Tapi sepertinya, anak-anak di sekolah banyak yang menganggap serius berita itu dan mulai memusuhimu, sebagian skeptis, dan sebagian lagi mungkin tidak peduli."
Raka menganga. "Forum sekolah?" Seru Raka. "Gila! Siapa yang kepikiran membuat berita seperti itu astaga. Mereka bahkan enggak ada yang memiliki bukti apalagi meminta izin padaku. Bukankah ini pencemaran nama baik?"
Rayhan mengangguk. "Ya, makanya ketua klub jurnalistik dipanggil oleh Kepala Sekolah untuk mempertanggungjawabkan hal ini. Beritanya sudah diturunkan dari forum, tetapi selama dua puluh empat jam, sudah banyak yang memiliki salinannya. Kau tidak membaca grup kelas semalam? Mereka membicarakanmu tanpa tahu bahwa aku sudah memasukkan nomor ponselmu ke grup. Coba saja cek."
Raka buru-buru mengambil poselnya. Ada ratusan pesan di grup w******p kelas dimana ia baru saja diundang masuk oleh Rayhan dua hari sebelumnya. Raka memang belum berpartisipasi dalam grup itu karena tragedi-tragedi yang terjadi, dan melihat betapa aktifnya teman-teman sekelasnya pantas saja mereka tidak sadar jika ada anggota baru yang masuk ke grup itu karena pemberitahuan undangan masuknya jelas langsung terpendam oleh pesan-pesan lainnya. Raka bisa mengatakan bahwa pembahasan mereka sangat seru, ya seandainya yang dibahas bukan dirinya. Ada banyak teori yang berkembang, dan Raka merasa hal ini hampir mirip seperti ketika Pelita Hapsara meninggal.
Raka menghela napas. Kakinya terasa lemas melihat begitu cepatnya rumor itu menyebar hanya dalam waktu dua puluh empat jam. Baru empat hari Raka bersekolah di sini, dan dirinya langsung diterjang rumor tidak mengenakkan seperti itu. Sekolah ini memiliki banyak sekali murid, dan bukan tidak mungkin ia akan bertemu dengan murid yang menantang dan secara Terang-terangan memusuhinya seperti segerombolan murid yang ia temui tadi.
"Katakan saja padaku jika ada yang menjahilimu, aku akan langsung melaporkannya kepada Kepala Sekolah. Aku tidak bisa menemanimu selalu, jadi berhati-hatilah." Rayhan menepuk bahu Raka dan segera masuk ke kelasnya.
Dengan langkah gontai Raka masuk ke kelas. Ia langsung merasakan seluruh pandangan mengarah kepadanya begitu kakinya melewati pintu masuk. Jantung Raka rasanya berdetak dengan kencang, dan ia benci hal itu karena kakinya semakin terasa lemas. Bahkan sampai ia duduk di kursinya pun, Raka masih merasakan tatapan intens teman-teman sekelasnya. Semuanya baru berakhir ketika bel masuk berbunyi dan guru mata pelajaran yang bertugas masuk ke kelas.
Raka benar-benar tidak konsentrasi dalam belajar. Padahal ini adalah semester terakhirnya di SMA dan ia akan menghadapi ujian akhir. Perkara kematian tiga murid sebelumya sudah cukup membebani mentalnya, dan sekarang rumor Si Pembawa Kematian yang ditujukan kepadanya. Entah siapa orang yang memulai rumor itu pertama kali. Hanya dalam waktu sehari semalam dan rumor itu bisa menjadi sebesar itu. Raka benar-benar tidak habis pikir. Bahkan sampai bel istirahat berbunyi, ia masih setia menopang wajahnya dengan telapak tangan dan menatap ke luar lewat jendela kelas. Ia sadar teman-teman sekelasnya kembali memperhatikan dirinya begitu guru keluar, tetapi Raka sudah tidak terlalu peduli dan berusaha keras untuk mengabaikannya.
Raka merenggangkan lengannya dan menguap pelan. "Malas sekali mau keluar—eh?"
Raka melirik kerumunan di depan pintu kelasnya. Ada suara ramai-ramai yang terdengar dan beberapa teman sekelasnya berkerumun di area itu. Raka juga mendengar beberapa teriakan dari luar dan suara derap langkah cepat seperti berlari. Ia berinisiatif untuk mengintip melalui jendela. Beruntung karena postur tubuhnya yang cukup tinggi, ia tidak perlu kesusahan ketika melakukan itu.
Di depan kelasnya ada enam orang anggota Palang Merah Remaja sekolah yang menggotong tandu dengan seorang gadis di atasnya menjerit-jerit dengan lidah menjulur dan ia memegangi kedua pipinya. Kedua matanya melotot. Empat orang yang menggotong tandu kesusahan karena ia terus bergerak-gerak meski dua orang lainnya berusaha memegangi dengan erat. Yang menjadi perhatian Raka selain lidah gadis itu yang tampak seperti terkena parasit dan membusuk, adalah bahwa gadis yang ada di atas tandu itu adalah gadis yang sama dengan gadis yang tadi pagi mengejeknya mengenai rumor itu.
'Semoga lidahmu nggak rusak karena kebanyakan menggosip.'
Raka ingat kalimatnya ketika kesal karena gadis itu bersikap buruk kepadanya. Kalimat itu hanya ungkapan spontan karena kesal dan tidak ada maksud apa-apa di dalamnya. Wajah Raka mendadak pucat, ia mundur dari dekat jendela dengan langkah terseok-seok.
"Tidak mungkin karena perkataanku, 'kan?" Gumam Raka parau.
O||O