Pola

1517 Kata
Raka tersenyum cerah. Chima dan Geovan menyetujui untuk menceritakan mengenai kakak kelas mereka yang meninggal dua tahun silam. Meski keduanya tampak terpaksa, Raka tidak terlalu peduli karena Chima dan Geovan menyetujui itu yang artinya Raka akan mendapatkan informasi mengenai kejadian dua tahun silam. "Jadi, kapan kalian akan menceritakannya?" Tanya Raka antusias. Geovan mendengus yang langsung disambut tawa oleh Chima. "Sabar, Raka. Hm... Pulang sekolah nanti, datanglah ke halaman belakang yang tadi. Aku dan Geovan akan ada di sana untuk menceritakan apa yang kau ingin tahu." Kedua bola mata kelam Raka berbinar bahagia. Ia mengangguk-angguk dengan semangat. "Siap! Pulang sekolah aku akan menemui kalian! Kalau begitu, aku kembali ke kelas dulu. Sampai nanti!" Seru Raka heboh sembari berlalu pergi. Geovan dan Chima berdiri diam, memandang punggung Raka yang semakin menjauh. Chima melirik Geovan yang hanya diam sembari memandangi Raka, sama sekali tidak ada ekspresi yang berarti dan Chima terkikik geli melihatnya. "Akhirnya dia menunjukkan sikap aslinya." Ujar Chima pelan. Geovan memutar bola matanya. "Maksudmu menunjukkan sikap berisiknya?" Chima tertawa pelan. Geovan lebih dulu berbalik pergi, dan Chima segera mengikuti langkah pemuda itu sebelum semakin menjauh. O||O Raka berhenti tepat di depan pintu ruang kelasnya. Ia menoleh ke belakang, dan menggaruk tengkuknya pelan. "Duh, Lagi-lagi aku lupa bertanya mereka berdua dari kelas apa." Mengangkat bahu pelan, Raka hanya bersikap tak peduli dan kembali duduk di mejanya. Seorang gadis manis yang mirip seperti perawakan Chima menjadi teman sebangkunya. Raka tidak melihat gadis itu sebelumnya, dan tertawa ramah ketika gadis itu memandanginya dengan malu-malu. "Hai, namaku Raka. Kamu?" Raka mengulurkan telapak tangan kanannya. Gadis mungil manis itu tersenyum malu-malu, ia bahkan tidak berani menatap Raka dan hanya sesekali menatapnya kemudian kembali menurunkan pandangannya. Dengan lengan bergetar gadis itu berusaha menjabat telapak tangan Raka. Raka bahkan bisa merasakan bahwa telapak tangan gadis ini berkeringat dingin karena gugup. "Na-namaku Karina." Raka mengulas senyum yang lebih lebar. "Salam kenal Karina." Jawaban dari gadis itu belum terdengar karena perhatian Raka langsung beralih ke depan kelas ketika Rayhan membawa sebundel kertas dan menepuk tangannya untuk meminta atensi seluruh kelas. Ada beberapa hal yang dijelaskan Rayhan di depan kelas termasuk beberapa tugas sekolah dan jadwal melayat untuk menghormati kematian Zefan. Kematian Zefan dianggap sebagai kecelakaan dan tidak ada unsur kesengajaan apalagi pembunuhan. Namun meski pernyataan resmi itu telah diturunkan dari sekolah, Raka tetap merasa tidak tenang dan bersalah. Ia akan mendapatkan penjelasan mengenai kakak kelas yang meninggal dua tahun lalu dari Chima dan Geovan, dan sekarang Raka benar-benar tidak sabar menunggu bel pulang sekolah. "Ra-Raka..." Raka menoleh, Karina menunduk sembari memainkan jemarinya. "Iya?" "Kudengar kau tadi ke perpustakaan atas?" "Hm, iya. Kenapa?" Karina semakin menunduk, membuat sebagian wajahnya tertutup oleh poninya sendiri. "Itu... Aku sebenarnya ingin sekali kesana sejak dulu, ta-tapi tidak ada yang berani kesana 'kan, d-dan aku takut untuk kesana sendirian. Jadi jika kau tidak keberatan, maukah kamu mengantarkan aku kesana sepulang sekolah?" Raka menggaruk tengkuknya. "Tapi, aku sudah ada janji sepulang sekolah. Jika kuantarkan saja lalu kutinggal, apa kau tidak keberatan? Penjaga perpustakaannya enggak seram seperti yang dikatakan kok, eh yeah wajahnya memang seram sih, tapi dia kurasa cukup baik. Asal kau tidak ribut saja." "B-Benar?" Raka mengangguk-angguk. Ia menarik kartu dari dompetnya. "Nih, beliau bahkan memberikanku kartu perpustakaan. Katanya anak-anak di sini terlalu takut untuk kesana ya?" Kedua bola mata Karina tampak berbinar melihat kartu itu. Melihat dari sikapnya yang kikuk dan malu-malu, Raka bisa menebak jika gadis ini lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca banyak buku daripada hang out bersama teman-temannya. Itu juga jika dia memiliki teman dekat. Bukan maksud Raka merendahkan Karina, ia hanya merasa sering sekali melihat orang-orang seperti Karina, yang lebih puas berteman dengan buku daripada dengan orang-orang di sekitarnya. "Nanti aku juga akan bilang ke penjaga perpustakaannya kalau kamu butuh kartu seperti itu juga. Supaya kamu mudah kalau mau kesana lagi." Karina tampak senang, jelas sekali terlihat dari wajahnya yang bersinar. Raka juga merasa senang. Melihat orang lain bahagia karenanya memiliki sensasi tersendiri, dan Raka menyukai sensasi itu. "Te-Terima kasih, Raka." Cicitnya pelan. Raka mengangguk sebagai balasan, dan kembali fokus menatap beberapa lembar kertas yang diberikan oleh Rayhan mengenai jadwal, tugas, dan sebangsanya. O||O Bel pulang sekolah baru berbunyi beberapa menit yang lalu. Raka langsung tampak bersemangat dan mengemasi beberapa bendel kertas yang diberikan Rayhan sebelumnya. Menjadi murid baru di pertengahan semester kelas tiga cukup merepotkan. Banyak pelajaran yang harus ia kejar agar tidak tertinggal dengan teman-teman barunya. Raka mengabaikan hal itu, sekarang fokusnya tengah berada pada halaman belakang dimana ia akan bertemu dengan Chima dan Geovan. Ia akan mengetahui kisah dua tahun silam, dan Raka benar-benar merasa tertarik. Raka menoleh ke sampingnya. "Jadi kuantar ke perpustakaan?" Karina mengangguk pelan. "Iya." "Oke, yuk!" Raka berdiri lebih dulu, yang kemudian diikuti oleh Karina. Gadis pemalu itu berjalan di belakangnya, dan Raka langsung menarik pergelangan tangannya agar ia berjalan sejajar dengannya. Meletakkan perpustakaan di lantai tiga dengan suasana suram memang salah. Jelas saja minat membaca siswa menjadi berkurang. Sebenarnya Raka juga agak bingung, bagian balkon lantai tiga yang mengarah langsung ke perpustakaan berhadapan dengan taman sekolah yang luas. Seharusnya area itu akan terang, tetapi entah mengapa malah suram dan agak gelap. "Na! Tamannya kalau dilihat dari sini keren banget. Bagus juga sekolah kalian, bisa bikin taman gede dan terawat gitu." Seru Raka riang. Ia menunjuk-nunjuk beberapa tanaman bunga yang mekar warna-warni dan air mancur tinggi yang ujungnya berbentuk tombak trisula. Unik sekali. "Kepala sekolah suka sekali dengan taman. Beliau yang membuat taman ini menjadi seindah itu. Dua tahun lalu sebelum kepala sekolah yang lama digantikan, area taman itu benar-benar enggak terawat. Daripada bunga, lebih banyak ranting kering yang bercecer dan berantakan. Oh ya, seluruh pembiayaan dari bunga-bunga, bangunan air mancur, ikan hias, dan peralatan untuk merawat kebun juga diberikan secara pribadi oleh kepala sekolah. Jadi ya makanya tamannya menjadi sangat terawat." Raka mengangguk-angguk, tersenyum mendengarkan penjelasan Karina. "Sebenarnya kamu cuma butuh rasa nyaman untuk bicara ya?" "Eh?" Raka hanya mengangkat bahu. Kedua matanya kembali fokus kepada taman luas yang terlihat dari balkon lantai tiga itu. Memang mengesankan. Membangun taman indah nan asri di sekolah adalah hal yang bagus dan tentunya menyegarkan. Raka memanjat balkon dan duduk di sana, membuat Karina memekik tertahan dan memegangi perut Raka karena khawatir. Raka terbahak kencang. "Tenang saja, aku sudah biasa." Karina bernapas lega. Raka asyik menggoyang-goyangkan kakinya sembari memandangi taman indah itu. Tujuan mereka untuk ke perpustakaan entah mengapa menguap begitu saja. Raka juga tidak terlalu memikirian soal pertemuannya dengan Chima dan Geovan. Seolah, segalanya sirna dan fokus Raka hanya pada taman asri di bawah sana dan Karina yang mulai merasa nyaman berbicara dengannya. "Menurutku, bakal lebih bagus kalau pohon palem yang ada di sana—HEI! JANGAN IKUT NAIK KE PAGAR BALKON!" Seru Raka heboh. Karina mengabaikan teriakan Raka dan fokus memanjat pagar balkon dengan kaki-kaki mungilnya. Raka mengalihkan pandangannya, rok pendek di atas lutut itu harus tersingkap ketika Karina berusaha membuat kakinya menggantung pada seberang pagar balkon seperti yang dilakukan Raka. "Wah! Ternyata memang lebih indah dilihat dengan cara seperti ini." Raka menggaruk tengkuknya. "Kurasa aku baru saja membuat murid teladan menjadi anak nakal. Ayo turun! Kau mau ke perpustakaan 'kan? Aku juga ada janji dengan dua temanku." Raka memundurkan badannya dan melompat ke lantai balkon dengan mudah. Ia menepuk-nepuk celananya yang kotor karena debu, dan menatap Karina yang masih duduk nyaman di sana. "Ayo, kubantu." Raka mengulurkan tangannya. Karina menyambut uluran tangan itu dengan membalikkan tubuhnya pelan-pelan. Sudah menjadi hal yang lumrah jika memanjat adalah hal yang mudah sementara turun cukup sulit. Apalagi posisi mereka berada pada lantai tiga. Raka sendiri agak takut ketika tubuh Karina bergetar. Padahal, sebelumnya gadis itu sangat lihai membuat tubuhnya duduk dengan nyaman pada pagar balkon. "Ra-Raka..." Keluh Karina horor. Ia berkali-kali melirik bawah yang membuat wajahnya semakin ketakutan. "Jangan lihat ke bawah, pegang saja tanganku. Ayo—" Drrrtt.... Drrrttt.... Raka melepaskan sebelah tangannya dan meraih ponsel yang bergetar menganggu di saku celana abu-abunya. "Karina hati—KARINA!" "RAKAAAAAAAAA!!!" Raka menjatuhkan ponselnya pada lantai. Tangan kanannya menggantung di udara. Ada bekas cakar di sekitar pergelangan tangannya. Suara ramai di bawah tak kunjung membuatnya bergerak. Dengan langkah terseok-seok Raka mengintip dari balik balkon. Tubuh Karina tampak mungil, dan perutnya tersangkut pada hiasan trisula salah satu air mancur di taman. Air mancur berisi ikan hias yang awalnya bening berubah menjadi merah keruh. Karina bahkan tewas dengan kedua mata melotot dan mulut yang menganga. Raka berbalik, jatuh merosot dan memeluk dirinya sendiri. "A-Aku membunuh seseorang?" Gumamnya tidak jelas. Sebelum Raka tertangkap basah oleh penjaga perpustakaan ada di tempat kejadian, Chima dan Geovan tiba-tiba datang dan menariknya. Raka hanya pasrah, wajahnya benar-benar pucat seolah nyawanya telah ditarik keluar. Dua orang itu membawa Raka ke taman belakang seperti apa yang mereka janjikan. Namun keadaannya benar-benar berbeda. Raka hanya diam dengan seluruh tubuh bergetar, dan Chima berusaha menenangkannya dengan mengusap pelan bahu Raka. "Tiga kali." Cicit Raka pelan. "Yang pertama bisa jadi kebetulan, yang kedua mungkin juga bisa jadi kebetulan, tapi ketiga kalinya adalah pola. Ada yang salah denganku." Racau Raka. Kedua bola matanya bergerak-gerak gelisah. Ia mengacak-acak surainya sendiri sebagai bentuk pelampiasan stressnya. Raka menatap Chima dan mencengkram bahu gadis mungil itu. "Katakan! Apa yang salah denganku!" Serunya frustrasi. O||O
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN