Raka keluar dari perpustakaan setelah ia puas membaca beberapa komik dan novel di sana. Berhubung pak Dwi memberikan akses khusus padanya, ia jadi tidak perlu khawatir ketika membutuhkan sesuatu. Apalagi, penjaga perpustakaan itu banyak tahu soal tragedi dua tahun silam. Seharusnya Raka tidak perlu repot-repot mencari sumber lain. Tapi meski Begitu, Raka tetap butuh informasi lain.
Dari murid yang melihat, misalnya?
Tapi siapa? Hanya Rayhan yang secara tak sengaja menceritakan padanya bahwa ada kecelakaan serupa dua tahun lalu. Sekarang, ketua kelasnya itu seolah menyesal telah menceritakan padanya dan membuatnya penasaran. Kalau bisa, Raka ingin sekali mencari tahu dari Rayhan, masalahnya anak itu sudah enggan melakukannya. Jadi jelas, nama Rayhan otomatis tercoret dari daftar orang yang kira-kira bisa dimintai keterangan.
Raka mengusap dagunya, berdiri diam sementara otaknya berpikir keras. Di beberapa situasi, otak Raka memang bisa diajak untuk berpikir baik terlepas dari prestasi akademiknya yang pas-pasan. Mengapa ia harus melihat kematian? Maksudnya, melihat kematian sekali adalah hal yang wajar. Bisa jadi itu hanya sekadar kebetulan. Tapi ini sudah kedua kalinya. Okay, mungkin Raka bisa menganggap ini sebagai kebetulan juga. Dua kali mungkin masih terhitung sebagai kebetulan. Hanya, soal cerita kematian kakak kelas Rayhan dua tahun silam, Raka jelas tidak bisa melupakannya.
"Hei!"
Raka terlonjak kaget. Ia memegangi dadanya sembari menghela napas. "Chima?"
"Hai lagi, Raka."
Raka mendengus. "Kalian membuntutiku atau bagaimana? Selalu saja muncul secara tiba-tiba."
Chima terbahak. "Kami juga suka ke perpustakaan kok."
Raka menaikkan sebelah alisnya. Ia menoleh ke pintu perpustakaan yang baru saja ia tinggalkan. "Oh ya? Rayhan bilang banyak yang tidak suka kemari. Lagipula aku tidak melihatmu di dalam perpustakaan."
Chima terkikik kecil. "Perpustakaan memiliki banyak rak buku, kau terlalu fokus pada komik bacaanmu sampai tidak fokus kalau ada orang lain di sana."
Raka menggaruk tengkuknya pelan. "Oh, mungkin saja."
Chima mengangguk-angguk. "Jadi, kenapa kau berdiri di sini dan melamun? Menemukan sesuatu yang menarik?"
"Jangan ganggu dia, Chima."
Raka dan Chima sama-sama menoleh. Rasanya deja vu, sebelumnya juga seperti ini. Chima merecoki Raka dengan beragam pertanyaan dan ekspresi ceria sementara Geovan hanya diam bersandar pada dinding di dekat mereka lalu mulai memperingati Chima ketika gadis mungil itu mulai terlalu antusias bertanya-tanya kepada Raka. Jujur saja, Raka tidak pernah langsung menyadari kehadiran Geovan kalau saja pemuda itu tidak memperingati Chima bahwa apa yang ia lakukan mungkin mengganggu Raka.
Chima hanya menggumam tidak jelas kemudian kembali menatap Raka. "Kau tidak tampak seperti remaja pendiam. Tapi sejak kemari, kau selalu menghindar bahkan sampai datang ke perpustakaan ini sendirian."
Raka memutar bola matanya. "Rayhan mengantarkanku tadi. Aku saja yang menyuruhnya untuk pergi duluan."
"Rayhan..." Gumam Chima pelan.
Ada satu hal yang disadari Raka sejak pertama kali bertemu dengan Chima dan Geovan. Dua remaja itu selalu tampak berbeda setiap kali Raka menyebutkan nama Rayhan. Raka tidak tahu apa penyebabnya, dan menilik dari sifat Rayhan kemudian Chima dan Geovan, Raka tidak akan kaget jika mereka bertiga terlibat semacam perseteruan atau semacamnya. Mungkin ada permasalahan internal yang cukup sensitif di antara ketiganya sampai-sampai ekspresi mereka selalu berubah tiap kali Raka menyebut nama Rayhan. Tapi toh, Raka sebenarnya tidak terlalu peduli. Mengurusi kehidupan orang lain bukanlah gayanya, dan ia sendiri masih memiliki urusan yang harus diselesaikan. Sebenarnya, hanya berdasarkan rasa penasaran besarnya saja.
Raka melebarkan matanya sekilas kemudian menjentikkan jemarinya. "Hei, Chima. Kalian 'kan seangkatan sama Rayhan, berarti kalian tahu tentang kematian kakak kelas dua tahun lalu?"
Chima dan Geovan saling berpandangan. Wajah ceria Chima sebelumnya sirna, dan Geovan masih tetap bertahan dengan ekspresi datarnya. Raka menggaruk tengkuknya pelan, merasa bingung dengan keduanya. Raka tahu jika kasus itu mungkin menimbulkan trauma tersendiri bagi siapa saja yang melihatnya, tetapi Raka ingin sekali mengetahui itu. Ia ingin tahu tentang sekolah ini, mungkin saja kematian Zefan ada hubungannya dengan sejarah sekolah yang kelam atau semacamnya. Maka jika begitu, Raka tidak perlu merasa tertekan dan berpikir bahwa siapa pun yang berdekatan dengannya akan mati, dan dua kasus sebelumnya hanyalah kebetulan yang betindih saja.
"Kenapa bertanya soal itu?" Tanya Chima.
"Penasaran. Kalian satu angkatan denganku, berarti ketika kejadian itu terjadi, kalian tahu segalanya. Tapi ya, aku tidak memaksa kalian untuk bicara kok. Semuanya terserah kalian. Tidak perlu dipikirkan, kalau begitu aku kembali ke kelasku dulu."
Geovan menahan pergelangan tangan Raka, membuat Raka reflek menoleh dan menatap pemuda itu dengan kerut bingung di dahinya. Geovan itu sangat dingin dan enggan berhubungan dengan Raka. Sejak pertemuan pertama mereka, hanya Chima yang aktif berbicara sementara Geovan hanya akan berdiri diam tanpa mengatakan apa-apa. Merupakan hal yang sangat mengejutkan melihat Geovan menahannya pergi meski Raka sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu melakukannya.
"Geovan?"
Geovan terkejut, tampak sekali dari kedua kelopak matanya yang sedikit melebar. Buru-buru ia melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Raka.
"Kutanya sekali lagi, kenapa kau penasaran dengan kematian itu?"
Raka menghela napas. "Oke, aku akan jujur pada kalian. Aku pindah ke sekolah ini karena sebelumnya seorang temanku melompat dari atap sekolah. Aku ada di sana, dan tidak sempat menolongnya. Aku merasa tertekan, apalagi dengan kecurigaan beberapa temanku dan dewan guru. Meski jelas mereka tidak ada bukti dan aku juga tidak membunuhnya. Aku hanya berada di tempat dan waktu yang salah. Lalu ketika aku pindah kemari, hari pertama, seorang pemuda yang bernama Zefan itu berniat mengajakku berkenalan, kalian pasti tahu bagaimana perasaan senang karena diterima di tempat baru. Tentu saja aku menyambut baik perkenalan yang ditawarkan olehnya. Tapi bahkan sebelum kami berjabat tangan, dia terpeleset dan jatuh dengan leher yang patah. Lebih dari itu, dia juga meninggal. Aku hanya berusaha berpikir bahwa dua kematian yang kusaksikan hanya kebetulan belaka. Aku hanyalah manusia yang berada pada tempat dan waktu yang salah. Tetapi dua kali menyaksikan kematian tetap bukan hal yang bagus."Jelas Raka panjang lebar. Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa langsung menceritakan hal itu padahal baru saja bertemu dengan Chima dan Geovan. Tapi dua orang itu secara ajaib membuat Raka percaya, dan sebenarnya Raka juga tidak peduli. Kalau pun Chima atau Geovan menyebarkan rumor tentang kemungkinan ia terlibat kematian murid, belum tentu juga orang-orang akan percaya.
"Lalu, apa hubungannya dengan kematian kakak kelas kami?" Tanya Geovan.
"Tidak ada." Raka menggeleng. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kematian kakak kelas kalian itu murni kecelakaan atau tidak. Lalu, aku juga ingin membuktikan bahwa aku tidak diikuti kematian, kebetulan saja aku berada di tempat dan waktu yang salah. Karena itulah, dengan kerendahan hati, aku mohon kalian bisa menceritakan detail yang kalian tahu mengenai kasus itu." Raka menempelkan kedua telapak tangannya dan membentuk pose memohon.
Geovan dan Chima saling berpandangan, dan sedetik kemudian mengangguk pasrah.
O||O