Raka menepuk-nepuk telinganya sejak tadi. Pasca bertemu dengan wanita menyeramkan setengah ular tadi malam, telinganya terus-terusan seperti mendengar suara berdengung pelan dan itu mengganggunya. Rumor tentangnya masih saja dibicarakan, dan karena kejadian aneh yang menimpa Ariana si anak kelas dua yang kebetulan sempat berdebat dengannya, rumor tentang Raka semakin beragam. Misalnya, bahwa Raka memiliki ilmu hitam dan akan mengutuk siapa saja yang mengejeknya, atau Raka adalah pengikut aliran sesat yang tidak tersentuh, pindah sekolah karena ia menutupi jati dirinya yang terungkap di sekolah lamanya. Raka pusing mendengarnya. Bahkan forum sekolah yang ketuanya sempat dipanggil oleh Kepala Sekolah pun masih tidak jera dan kembali menulis artikel tanpa fakta mengenai dirinya. Jelas saja tragedi Ariana menjadi sumber menarik untuk tulisan itu.
Teman-teman sekelas Raka tampaknya termakan oleh rumor yang beredar, terbukti dari mereka yang enggan berdekatan dengan Raka dan menghindarinya sejak ia menginjakkan kaki ke kelas. Hanya Rayhan satu-satunya yang tidak peduli dengan rumor itu dan berbicara dengannya. Entah karena ia ketua kelas, atau karena dia kasihan melihat kondisi Raka.
"Raka?"
"Hm."
Rayhan menarik bahu Raka, membuat pemuda itu menatapnya. "Jangan mengalihkan pandangan ketika seseorang mengajakmu bicara." Peringatnya tajam.
Raka meneguk ludahnya kasar. Ekspresi Rayhan menjadi lebih aneh dan menyeramkan seperti ketika Raka bertanya-tanya mengenai Kakak kelas Rayhan yang meninggal dua tahun silam.
"I-Iya, kenapa?"
"Ariana meninggal."
Raka diam. Rasanya seolah keributan di kelas tidak lagi tedengar. Telinganya mendadak tuli. Raka tidak ingin bertingkah berlebihan, tetapi yang ia rasakan jelas seperti itu.
"K-Kenapa? Nggak mungkin 'kan?"
Rayhan menggeleng. "Dini hari tadi, pukul tiga pagi. Seluruh sekolah sudah tahu. Kau pasti sadar tatapan orang-orang padamu. Itu adalah buntut dari kematian Ariana yang tiba-tiba. Apalagi, banyak yang melihat Stella melabrakmu kemarin. Jujur saja, rumor tentangmu semakin parah."
Raka terkekeh pelan. "Tentu saja. Sejak awal anak-anak di sekolah sudah membicarakanku, lalu tiba-tiba Ariana yang kebetulan cekcok denganku tiba-tiba seperti itu. Sekarang, dia bahkan meninggal. Setelah ini, rumor 'Raka adalah pembunuh' pasti akan menyebar satu sekolah."
Rayhan menepuk bahu Raka, berusaha menyemangatinya. "Tenang saja, aku akan menemanimu."
Raka tidak begitu nyaman bersama Rayhan pada awalnya. Pemuda itu menunjukkan raut datar yang sangat datar. Benar-benar seperti robot yang dikendalikan. Caranya berbicara juga aneh, seperti tidak ada ekspresi di dalamnya. Kosong. Tapi kemudian, ia menjadi satu-satunya yang tetap mau berbicara dengannya. Entah alasannya apa. Kasihan, atau merasa kewajibannya sebagai ketua kelas. Yang manapun sebenarnya Raka tidak keberatan. Setidaknya masih ada seseorang yang mau berbicara dengannya di tengah rumor mengerikan yang mengaitkan namanya.
"Oh ya, menurutmu apa yang harus—"
"PEMBUNUH!"
Raka melebarkan matanya ketika mendengar teriakan nyaring seorang gadis yang amat dikenali olehnya. Stella, yang kemarin juga melabraknya secara langsung berlari masuk ke dalam kelasnya dan langsung mencengkram kerah kemeja Raka. Raka yang tidak siap dengan hal itu, juga Stella yang dikuasai kemarahan mendalam mendorongnya sampai ke dinding. Raka meringis kecil ketika merasakan ngilu di punggungnya akibat benturan itu. Wajah Stella berantakan dengan air mata yang membasahi kedua pipinya. Bibirnya kering, dan matanya merah. Stella benar-benar tampak tidak baik-baik saja.
"K-Kau baik-baik saja?" Tanya Raka pelan. Ia menyentuh kedua bahu Stella berusaha untuk membuat gadis itu melepaskan cengkramannya pada kerah kemeja Raka.
"Pembunuh! Kau pembunuh! Kenapa pindah ke sekolah ini kalau hanya ingin menyakiti murid-murid lain? Kau tidak punya hati nurani ya? Berpura-pura sebagai sesama murid SMA biasa padahal seorang pembunuh mengerikan. Aaaarghhhhhh!" Racau Stella.
Seluruh kelas nampaknya tidak ada yang berniat untuk memisahkan Stella dengan Raka. Sebagian besar karena takut kepada Raka karena apa yang terjadi dengan Ariana, sebagian lagi karena menikmati keributan itu bak sebuah pertunjukan drama langsung.
"Tenanglah, tenangkan dirimu." Ujar Raka. Ia tahu kalimat seperti itu tidak akan mempan. Memangnya siapa orang yang akan tenang hanya karena berusaha ditenangkan oleh seseorang yang sangat dibencinya. Stella membencinya, Stella menganggapnya sebagai penyebab Ariana meninggal.
"Pembunuh! Pembunuh!" Teriak Stella frustrasi. Ia memukul-mukul tubuh Raka, sementara Raka hanya berusaha menahan pukulan itu agar tidak terlalu menyakiti dirinya. Gadis itu benar-benar kehilangan kontrol diri, dan Raka tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Aku tidak membunuh siapa pun." Seru Raka. Ia sudah cukup sabar ditimpa rumor itu. Ia mengerti Stella sedang sedih karena ditinggalkan oleh temannya, tetapi melampiaskan hal itu kepada orang lain yang bahkan sama sekali tidak ada bukti validnya benar-benar menyebalkan. Teriakan bernada kasar, tangis, dan bentakan terus diterima Raka dari Stella. Gadis itu benar-benar marah, sama sekali tidak bisa mengendalikan dirinya.
"Pembunuh! Pembunuh!"
Raka menggigit bibirnya. Dadanya terasa panas, kesal dan marah. "DIAM!" Serunya keras. Ia tersentak, terkejut dengan dirinya sendiri. Namun yang jauh lebih membuatnya terkejut adalah Stella, yang langsung diam dengan wajah ketakutan sembari mendongak.
"Um Stella?"
Raka mengulurkan tangannya, hendak menyentuh bahu gadis itu. Namun bahkan sebelum jemari Raka menyentuhnya, Stella mundur perlahan sembari mencengkeram kepalanya sendiri. Wajahnya tampak sangat ketakutan. Setiap kali Raka mendekat, Stella selalu mundur dengan tubuh bergetar. Pandangan Stella mengarah kepada Raka, tetapi rasanya Stella tidak benar-benar melihat Raka. Membuatnya tampak seperti melihat objek tidak jelas.
"Stella aku minta maaf, aku tidak bermaksud membentakmu."
"Jangan bunuh aku." Cicit Stella sangat pelan. "Ja-Jangan bunuh aku. Kumohon."
Raka mengernyitkan dahinya, bingung mengapa Stella mendadak ketakutan padahal sebelumnya gadis itu begitu brutal melampiaskan kemarahannya kepada Raka. Mengapa Stella seperti itu? Raka tidak mungkin membunuhnya, dan memangnya Raka bisa? Ia hanya pemuda SMA biasa, bukan pembunuh keji yang tidak berperasaan.
Stella berjongkok, menyembunyikan wajahnya pada lipatan lutut. Gumamannya masih sama, ia tidak ingin dibunuh, ia memohon untuk dibebaskan padahal Raka tidak melakukan apa-apa.
"Stella? Aku—"
Sentuhan Raka dihentikan oleh Rayhan yang tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka. Ia menampilkan senyum hambar dan melepaskan tangan Raka.
"Jiwa Stella masih terguncang karena kematian temannya, jadi mungkin dia masih belum bisa mengontrol emosinya. Tolong maafkan dia." Rayhan merangkul Stella, membantu gadis itu berdiri seolah berusaha melindunginya.
Raka hanya bisa menatap mereka dalam diam, sama sekali tidak tahu harus melakukan apa.
"Stella..." Gumam Raka.
"Aku akan membawanya ke UKS. Tenanglah, dia hanya terbawa kesedihannya saja. Dia akan segera baik-baik saja."
Raka mengangguk patuh. Ia melihat tatapan aneh itu lagi, yang selalu datang di beberapa kesempatan dari Rayhan. Rayhan memiliki pandangan yang aneh sejak awal, tetapi di beberapa momen, tatapan itu tampak aneh, lurus, tajam, dan mengerikan. Seolah ia tengah menemukan sesuatu yang menarik dalam versinya. Bentuk tatapan itu, diam-diam selalu membuat Raka merinding.
O||O