Raka berjalan ke halaman belakang sendirian. Ia harus bertahan dengan beragam tatapan tajam anak-anak di sekolahnya ketika keluar dari kelas. Stella berada di UKS, dan anak-anak di sekolah langsung membuat gosip baru bahwa Stella sakit karena berurusan dengan Raka. Gila, semuanya benar-benar gila. Ia tidak menyangka satu rumor kecil yang entah pertama kali dibuat oleh siapa bisa merembet menjadi banyak rumor. Orang-orang kehilangan kepercayaan padanya, dan setiap apapun hal buruk yang sialnya selalu berhubungan dengan Raka seketika langsung menjadi gosip besar dan memperkeruh keadaan. Raka hanyalah anak pindahan yang baru beberapa hari masuk, jelas saja tidak ada yang percaya dengannya. Orang-orang tidak mengenalnya dengan baik. Bahkan teman-teman sekelasnya yang di hari pertama Raka masuk bersikap ramah dan memiliki tendensi untuk dekat dengannya mendadak jauh. Jangankan berteman, menatap pun enggan.
Raka duduk pada satu-satunya bangku yang ada di halaman belakang, menghela napas berat dan menyandarkan kepalanya pada lutut. Ia tidak bisa meminta untuk pindah sekolah lagi kepada orang tuanya, ini bahkan belum ada sepekan sejak ia menjadi murid pindahan di sekolah ini. Lagipula akan aneh juga tiba-tiba pindah ke sekolah baru lagi, dan pindah sekolah pun tidak menjamin kehidupan Raka akan lebih baik. Buktinya, setelah ia nyaris dikira tersangka pada kasus bunuh diri salah satu anak di sekolah lamanya hanya karena Raka kebetulan ada di tempat yang sama, ia pindah kemari dengan harapan kehidupan SMA-nya yang hanya tinggal kurang dari enam bulan akan lebih baik. Nyatanya, semuanya malah jauh lebih buruk.
"Hei Raka!"
Raka tersentak kaget. Chima berdiri menatapnya dengan tawa keras sampai memegangi perutnya. Raka harusnya sudah terbiasa dengan kemunculan tiba-tiba mereka, tetapi ia sama sekali tidak bisa. Jika Chima ada di sini—Raka melirik sekitar. Ah, benar sekali, Geovan juga ada di sini, bersandar pada batang pohon di dekat mereka.
"Kau tampak sedih?"
Raka menatap Chima. Gadis imut itu balik menatapnya dengan bola mata hitam yang bersinar khawatir.
"Kemana saja kalian selama beberapa hari ini?"
"Eh?"
"Atau kalian tidak menemuiku karena kalian tidak ingin terseret dalam rumor yang mengatasnamakan aku juga?"
Chima menggeleng kencang. "Tidak, Raka! Aku dan Geovan memiliki banyak kegiatan beberapa hari terakhir. Kami bahkan baru tahu soal rumor itu makanya kami mencarimu, dan ternyata kau ada di sini."
Raka mengacak surai kelamnya. "Aaaaaahhhh sialan!" Umpatnya kesal. Ia kemudian menatap Chima yang tampak khawatir. Ada raut bersalah pada wajah gadis itu dan Raka menjadi tidak enak karena terkesan menyalahkan mereka.
"Maaf, Raka."
"Ngomong-ngomong, kalian memiliki janji padaku yang belum dipenuhi. Ceritakan padaku soal Kakak kelas kalian yang meninggal itu."
"Ah, benar juga. Banyak hal yang terjadi sampai kami lupa untuk menceritakan kasus menghebohkan itu. Tidak masalah, aku akan menceritakannya sekarang jika ini bisa membuatmu sedikit terhibur dan melupakan rumor-rumor itu."
O||O
Dua tahun yang lalu, Chima dan Geovan masih seorang murid baru di SMA Utama. Sudah menjadi tradisi ketika masuk ke Sekolah Menengah Atas bahwa akan ada sesi masa orientasi siswa, dan sudah menjadi tradisi pula bahwa kegiatan itu akan menjadi ajang senioritas kakak kelas untuk menunjukkan bahwa mereka lebih tua, wajib dihormati, dan lebih berkuasa. Di sekolah mana pun, hal seperti itu rasanya sudah sangat umum, dan bukan hal baru lagi menyiksa adik kelas yang baru masuk entah secara verbal atau sekadar iseng dengan dalih melatih mental padahal hal itu bisa jadi malah merusak mental anak-anak baru yang masih sangat polos dan tidak tahu apa-apa tentang kehidupan SMA yang sebenarnya. Jika ada yang melawan, maka mereka akan dianggap tidak menghormati kakak kelas. Para senior itu juga akan melontarkan kalimat bahwa apa yang mereka alami di masa lalu lebih keras dibanding apa yang dialami adik-adik kelasnya. Seolah hal itu menjadi ajang pamer siapa yang lebih menderita.
Chima dan Geovan berteman sejak TK, rumah mereka ada di perumahan yang tidak jauh dari sekolah dan hanya beda blok saja. Karena itulah mereka selalu bersama-sama sejak kecil. Keduanya sama saja seperti anak-anak yang baru masuk SMA pada umumnya. Merasa tertarik untuk menjajal dunia sekolah yang baru. Masa remaja selalu membawa hasrat tersendiri, tak terkecuali Chima dan Geovan yang tertarik dengan kehidupan SMA.
SMA Utama membagi satu angkatan murid baru menjadi beberapa kelompok dengan dua kakak kelas sebagai pendamping dari anggota OSIS. Ada banyak kegiatan yang dilakukan selama sepekan dari yang berguna sampai hal-hal tidak penting sekadar untuk mengisengi adik kelas. Chima dan Geovan secara beruntung masih dalam satu kelompok yang sama dengan dua orang kakak kelas laki-laki dan perempuan yang menjadi pendamping. Keduanya dari tahun ketiga. Satu kelompok terdiri atas sepuluh murid baru, jadi jika ditambah dengan dua kakak kelas pendamping, satu kelompok terdiri atas dua belas orang.
Kegiatan mereka berjalan dengan baik. Hari pertama, hari kedua, hari ketiga, hari keempat, sampai hari kelima. Tidak ada anggota kelompok mereka yang ketiban dial diisengi oleh kakak kelas lainnya. Beberapa murid baru yang tampak cantik, tampan, atau manis menjadi sasaran. Geovan juga nyaris menjadi sasaran saking datar dan dinginnya dia, pun dengan Chima yang postur tubuhnya lebih kecil daripada kebanyakan murid baru yang ada. Beruntung, kakak kelas pendamping mereka sangat pintar membuat alasan hingga keduanya tidak sampai diisengi seperti anak-anak dari kelompok lain.
Chima sangat ingat siapa nama kakak kelas pendamping kelompoknya. Sandra Widya dan Perry Diaz. Sandra sangat perhatian kepada kelompoknya, dan Chima menilai kakak kelasnya itu sebagai sosok perempuan yang lemah lembut, sangat cocok dengan raut wajahnya yang tampak kalem. Sementara itu Perry adalah kakak kelas laki-laki yang ceria, sangat ceria dan nyaris mirip dengan kepribadian Chima. Ketika dua orang itu disatukan, kelompok mereka menjadi sangat ramai dan menyenangkan. Semuanya sangat baik, dan berjalan dengan lancar. Ya, tetapi hanya sampai hari kelima.
Hari keenam akan menjadi hari terakhir program orientasi seperti biasa. Lalu di hari ketujuh akan ada acara penyambutan sebagai tanda resmi murid baru yang diadakan sekaligus malam keakraban. Kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun, begitu yang dijelaskan oleh kakak kelas pendamping. Di hari keenam, masalah mulai muncul ketika salah satu panitia acara marah-marah dan mengatakan bahwa ada murid baru yang menghina sistem orientasi dan menjelek-jelekkan nama OSIS di sosial media. Hampir dua jam mereka semua duduk berkumpul di aula dengan atmosfer berat karena tidak ada satu pun yang mengaku melakukannya. Akun yang dipakai untuk melakukan ujaran kebencian dan mengatakan hal-hal buruk tentang OSIS tidak memakai identitas jelas, hanya hashtag yang jelas menuliskan bahwa orang itu adalah salah satu murid baru di angkatan Chima dan Geovan. Awalnya beberapa orang beranggapan panitia terlalu terburu-buru menyimpulkan. Bisa saja itu hanya anak-anak iseng dari sekolah tetangga yang tidak suka dengan SMA Utama. Namun semua argumen itu dibantah ketika seluruh ujaran kebencian itu berurut dan sesuai dengan kegiatan yang mereka lakukan sejak hari pertama. Tidak mungkin orang luar tahu, bahkan meski ada yang menceritakannya pun, tidak mungkin akan tertulis sedetail itu. Terlebih, ada foto yang menunjukkan beberapa keisengan kakak kelas dan hanya dipotong sampai di sana sehingga panitia OSIS dianggap telah melakukan perploncoan yang seharusnya dilarang.
Ketua OSIS berserta jajarannya dipanggil oleh kepala sekolah dengan tuduhan perundungan terhadap adik kelas. Jelas mereka mendapat ancaman hukuman bahkan sampai pengeluaran jika sampai kasus itu terus berlanjut. Di hari keenam itulah, para kakak kelas melampiaskan kemarahan mereka sampai di hari terakhir waktu penutupan acara.
"Bukankah ini seharusnya menjadi malam keakraban untuk kita ya?" Bisik Chima kepada Geovan.
Geovan hanya mengangkat bahu, sama sekali tidak peduli dengan hawa tegang dari kakak kelas yang mulai melancarkan aksinya merendahkan para adik kelas. Kegiatan terakhir malam keakraban memang dilaksanakan di luar lingkungan sekolah sehingga sama sekali tidak akan ada guru yang terlibat. Agaknya hal ini dimanfaatkan para pengurus OSIS itu untuk melampiaskan kekesalannya sepuas mungkin.
Satu per satu murid baru yang sial dipanggil ke depan, dicacimaki, didorong, dan tak jarang juga dipukul di hadapan yang lainnya. Kegiatan malam itu jauh dari kata akrab, dan lebih seperti pertunjukan bully. Ada banyak anak yang menangis malam itu, dan semakin mereka ketakutan atau menangis, semakin beringas pula para kakak kelas yang kesal itu merundung mereka.
"Aku pengen pulang." Keluh Chima.
"Ssshhh..." Sandra meremas pelan bahu Chima dan meletakkan telunjuknya pada bibir gadis itu. Kakak kelasnya itu menggeleng pelan dikkuti oleh Perry yang juga melakukan hal sama.
"Jangan katakan apapun dan tetap diam, okay. Kalau mereka memanggil kalian, aku dan Sandra akan berusaha melindungi." Bisik Perry.
Sebenarnya, ada banyak anggota OSIS yang tidak setuju dengan sesi penghakiman yang dilakukan petinggi-petinggi OSIS. Memang yang mendapatkan peringatan keras dari kepala sekolah sampai diancam akan dikeluarkan jika mempermalukan sekolah adalah Ketua OSIS dan pengurus intinya. Sandra dan Perry hanyalah anggota, dan meski mereka tidak mendapatkan ancaman yang sama, tetap saja menyalahkan secara general seluruh murid baru adalah salah. Mereka bahkan melakukan perundungan di malam keakraban yang seharusnya menjadi malam penuh kenangan untuk adik-adik kelas yang baru masuk SMA. Mereka sudah cukup keras di hari keenam kemarin, dan seolah tidak cukup melakukan itu, mereka kembali melakukannya tanpa menahan diri di hari terakhir kegiatan.
Anggota kelompok Chima dan Geovan menganggukkan kepala bersama, diam sambil memegang tangan yang lainnya. Sama sekali tidak ada yang berbicara lagi setelahnya. Perry dan Sandra benar-benar waspada, sebisa mungkin membuat kelompoknya tidak menarik perhatian sehingga tidak ada dari mereka yang harus dipanggil ke depan dan dicacimaki oleh para pengurus inti OSIS yang sedang kesal itu.
Tapi sayang sekali, sepertinya keberuntungan memang tidak berpihak kepada mereka semua.
"Kamu! Cewek yang kecil di situ. Maju sini! Dan kamu! Cowok di sebelahnya!"
Chima menghela napas pelan. Cowok yang dimaksud bukanlah Geovan, melainkan pemuda dari kelompok lain yang kebetulan duduk di sampingnya karena kelompok mereka berdampingan. Sandra dan Perry sebagai pendamping tampak panik ketika Chima dipanggil. Sandra yang pertama berdiri dan berusaha mencegah hal itu, kemudian Perry ikut membantu.
"Chima keadaannya tidak terlalu baik. Dia memaksakan datang untuk acara ini padahal sedang agak demam, jadi bisakah biarkan dia duduk dan beristirahat saja?" Pinta Sandra.
Sekretaris OSIS adalah seorang perempuan tahun ketiga sama seperti Sandra. Dia yang memanggil Chima sebelumnya. Tampak sekali bahwa gadis itu sangat kesal mendengar apa yang dikatakan Sandra.
"San! Lo lebih belain dia ketimbang rekan lo sendiri!" Serunya keras. Seluruh murid baru di ruangan semakin menunduk dalam. Benar-benar tidak tahu harus melakukan apa di situasi seperti itu.
Sandra gelagapan. "Bu-Bukan begitu, tetapi keadaan Chima memang sedang tidak baik-baik saja. Apa kalian tidak takut jika nanti pihak sekolah tahu bahwa ada anak sakit yang diperlakukan tidak baik?"
"Benar! Kalian pengurus inti OSIS jelas lebih mengerti 'kan. Kami mohon maaf, tapi tolong biarkan Chima duduk." Timpal Perry berusaha membantu.
Si Sekretaris OSIS tampaknya tidak terima dengan alasan itu. Ia maju ke tengah kerumunan dan menarik paksa Chima dari barisan kelompoknya. Hal itu juga berlaku pada seorang pemuda dari kelompok yang duduk di sebelah kelompok Chima. Pemuda itu hanya diam dengan wajah datar, sama sekali tidak ada intensi untuk melawan atau mengatakan apa-apa. Sandra dan Perry masih berusaha membujuk Si Sekretaris OSIS untuk melepaskan Chima, tetapi gadis itu malah semakin marah dan mendorong Sandra hingga terjatuh.
Para pengurus inti OSIS tampaknya sudah dalam kondisi psikis yang tidak beres akibat ancaman kepala sekolah. Tetapi bukannya takut dikeluarkan, mereka malah melampiaskan seluruh amarah itu dengan mencaci-maki murid-murid baru dan bahkan rekan mereka sendiri.
Chima tidak memiliki pilihan lain selain menuruti apa yang diminta si Sekretaris OSIS. Ia dan pemuda dari kelompok lain itu sama-sama maju. Karena sebelumnya Sandra dan Perry berusaha menahan Chima bahkan sedikit melawan Si Sekretaris, caci maki yang diterima Chima bahkan jauh lebih parah daripada anak-anak sebelumnya. Mereka bahkan sesekali melayangkan tamparan ke wajah Chima, juga menarik-narik rambut pendek Chima dengan kesal. Chima hanya bisa mengikuti gerakan Sekretaris OSIS itu ketika menjambaknya untuk sedikit mengurangi rasa sakit akibat tarikan itu. Bahkan Sandra dan Perry sampai bersujud kepada teman seangkatannya sendiri dan memohon agar Chima dilepaskan.
"Hei! Bisakah kalian hentikan ini?"
Chima menoleh termasuk para pengurus inti OSIS yang sejak tadi hanya tertawa puas melihat Chima disiksa. Pemuda yang dipanggil bersama Chima berseru lantang, tampak benar-benar iritasi melihat apa yang dilakukan kakak kelasnya.
Ketua OSIS yang sejak tadi hanya duduk diam mengamati anak buahnya melampiaskan emosi akhirnya bangkit berdiri menghampiri pemuda itu dan menarik tag nama yang dipakai untuk melihat siapa yang berani membantah. Siapa sangka pemuda yang sejak dipanggil tadi hanya diam dengan wajah datar mendadak berseru dan membuat Ketua OSIS bangun dari posisi duduknya.
"Rayhan?" Si Ketua OSIS tersenyum miring. "Ada pahlawan yang sok ingin menolong rupanya."
O||O