Jika boleh memilih, Chima akan langsung menentukan bahwa ia lebih baik duduk dan menonton apa yang dilakukan para pengurus inti OSIS itu kepada teman-teman barunya yang lain. Terkesan egois memang, tetapi siapa sih yang mau berdiri di depan dipermalukan dan dicaci-maki oleh para kakak kelas yang kesal karena diancam kepala sekolah. Sebagian besar pengurus inti OSIS adalah anak-anak tahun ketiga. Bahkan jajaran inti dari mulai Ketua sampai Bendahara adalah anak tahun ketiga. Kemungkinan mereka yang sudah cukup stress dengan rutinitas baru sebagai senior yang harus rajin belajar semakin stress karena diancam oleh kepala sekolah pasca foto-foto kegiatan orientasi tersebar dan hanya diambil sepotong-sepotong untuk menunjukkan seolah-olah mereka menyiksa murid baru. Seperti menjadi kenyataan, pasca ancaman muncul dari kepala sekolah, para pengurus OSIS itu langsung merealisasikannya kepada murid baru di acara malam keakraban yang berubah menjadi malam mencekam. Chima bahkan berpikiran buruk mengenai bagaimana jika ada salah satu di antara mereka yang mati karena tidak sengaja. Posisi kegiatan mereka di luar sekolah, cukup mudah untuk membuang mayat andai salah satu dari mereka ada yang meninggal. Membungkam mulut sekian banyak anak tidaklah mudah, tetapi mereka yang pandai mencaci-maki itu pasti memiliki segudang cara untuk mengancam agar tidak bocor kemana-mana.
Chima melirik takut pada Ketua OSIS yang sedang mengintimidasi pemuda bernama Rayhan yang kebetulan dipanggil bersamanya. Pemuda itu dalam pandangan Chima sama sekali tidak tampak gentar meski Ketua OSIS dengan badan lebih tinggi dan lebih besar berdiri di hadapannya dan mulai mengintimidasi di depan seluruh murid dan pendamping kelompok yang lain. Eksistensi Chima di depan agak terlupakan karena pernyataan berani Rayhan mengenai kegiatan ini. Jelas sekali bahwa para kakak kelas itu tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Rayhan. Memang serba salah dalam keadaan seperti ini. Diam hanya akan semakin dicaci-maki, angkat bicara semakin dirundung.
"Tidak perlu menjadi pahlawan untuk menunjukkan kalau tindakan kalian itu keterlaluan. Apakah seperti ini contoh perilaku baik dari para anggota OSIS SMA Utama yang selalu dibangga-banggakan itu?" Seru Rayhan tegas.
Wajah Si Ketua OSIS tampak murka. Ia tanpa menahan diri langsung menarik kerah kemeja Rayhan. "Oh? Atau mungkin kau yang menyebar kegiatan orientasi kita ke media sosial dan membuat kegaduhan ini?"
"Kakak tidak memiliki bukti."
Perdebatan Rayhan dan Ketua OSIS tampaknya cukup berat dan melewati batas. Rayhan jelas tidak memiliki kendali atas hal ini. Sejauh yang Chima dengar, Rayhan hanya berusaha mempertahankan diri sementara Si Ketua OSIS terus menekannya dengan kalimat caci-maki dan langsung menuduh bahwa Rayhan yang bersalah.
"Semua sudah terbukti dari tindakanmu. Lihatlah, kau berani melawan kami. Tidak ada yang melawan kami sebelumnya dan kau adalah satu-satunya."
Rayhan menatap tajam. "Jadi maksudnya, kami harus diam ketika kalian terus mencaci-maki kami? Tidak melawan bukan berarti membenarkan apa yang kalian lakukan. Jika memang kalian kesal dengan penyebar kegiatan di media sosial, buktikan saja kepada Kepala Sekolah bahwa kegiatan kalian tidak ada unsur perundungan di dalamnya!" Rayhan kemudian melirik Si Ketua OSIS dan menyeringai. "... Ah tapi sayang sekali, kalian sudah terlanjur merundung kami."
Si Ketua OSIS melotot ganas. Ia mendorong Rayhan hingga punggung pemuda itu membentur dinding. Seluruh orang yang ada di dalam ruangan itu hening, sama sekali tidak ada yang berani menyela. Bahkan pendamping kelompok Rayhan juga hanya bisa menunduk dengan ekspresi ketakutan. Chima tahu bahwa mereka adalah anak tahun kedua. Sandra dan Perry yang satu angkatan dengan para pengurus inti OSIS saja sama sekali tidak bisa melawan mereka, apalagi pendamping kelompok Rayhan yang adik kelasnya. Jelas sekali mereka tidak akan mampu dan tidak berani.
"b*****h!" Seru Si Ketua OSIS ganas.
Chima sampai terkejut mendengar kata itu muncul dari Ketua OSIS. Mereka terus mencaci-maki sejak datang kemari, tetapi sama sekali tidak ada u*****n di dalamnya dan hanya kalimat-kalimat intimidatif belaka. Meski Chima yakin ia juga akan merasa tertekan andai menjadi salah satu yang dicaci-maki, tetap saja ia tidak menyangka jika Ketua OSIS berani menggunakan kata u*****n kasar di malam keakraban yang berubah menjadi malam mencekam seperti ini. Chima tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sejak ia dipanggil, para pengurus inti itu hanya fokus kepada Rayhan karena ia berusaha melawan, sementara Chima hanya berdiri kaku seperti orang i***t karena tidak tahu harus melakukan apa.
Rayhan terus melawan para pengurus inti OSIS. Apapun caci-maki yang diberikan oleh mereka, Rayhan selalu berhasil membalikkan kalimat itu kepada para seniornya dan membuat mereka semakin marah karena itu. Sekarang bukan lagi hanya Ketua OSIS yang mencaci-maki Rayhan, melainkan Wakil, Sekretaris, Bendahara, bahkan beberapa koordinator Divisi OSIS juga mengeroyok Rayhan. Jelas kegiatan malam itu menjadi tontonan suram yang membawa trauma tersendiri bagi murid-murid baru yang mengharap kegiatan menyenangkan pra-SMA sebelum mereka benar-benar dihadapkan pada realita kehidupan SMA yang tidak benar-benar seindah cerita-cerita film fiksi.
"Apa lihat-lihat hah!"
Chima berjengit kaget ketika salah satu kakak kelas yang merupakan koordinator salah satu Divisi OSIS meneriakinya karena Chima hanya memperhatikan bagaimana Rayhan dikeroyok dengan caci-maki oleh para kakak kelasnya. Tentu saja Chima melihat, ia bahkan ada di samping pemuda itu. Chima juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong dan semacamnya karena ia sendiri ketakutan dengan hal itu. Sudah menjadi kodrat manusia untuk takut kepada orang-orang yang lebih tua dan lebih berkuasa. Meski jauh dalam lubuk hati Chima ia merasa begitu kesal dan ingin sekali melawan, kesadaran bahwa ia tidak akan mampu membuatnya hanya bisa berdiri diam dan tidak melakukan apa-apa.
"Saya hanya—"
Plak!
Chima membelalak. Ia merasa bagian kanan pipinya panas dan nyeri. Wajahnya berpaling secara otomatis dengan dorongan itu. Benar, salah satu koordinator Divisi OSIS melayangkan pukulan ke wajah Chima. Chima meraba pipinya, rasa nyeri dan panas itu menjalar, dan lebih terasa ketika rasa kesal dan marah menyelubungi hatinya. Chima tidak pernah terima ketika seseorang melakukan kekerasan padahal ia sama sekali tidak bersalah. Chima bahkan belum mengatakan apa-apa. Hanya dua kata yang belum tuntas dan kakak kelas perempuan itu langsung menampar wajahnya tanpa alasan.
Sandra dan Perry berteriak tidak terima. Keduanya berusaha diam dan bersabar sejak tadi, tetapi Chima tiba-tiba ditampar di depan semua murid baru tanpa alasan. Sandra dan Perry maju, menarik Chima dan berusaha melindunginya.
"Apa-apaan? Kalian sudah melewati batas!" Seru Perry.
Koordinator Divisi OSIS itu tampaknya sedikit menyesal meski gengsi membuatnya terus melawan. "Dia pantas mendapatkannya."
Chima hanya diam, mengernyit ketika merasakan bagian pipi kanannya nyeri saat disentuh. Sandra merangkul bahunya, melindunginya dengan menutupi Chima dan berdiri di depannya.
Chima memejamkan mata, menghela napas dan berharap semua keributan ini segera berakhir. Ia tidak berharap untuk mendapatkan tamparan tentu saja. Ia bahkan tidak berpikir Panitia OSIS berani melakukannya kepada murid perempuan. Ya, meski yang melakukan itu juga sesama perempuan, tetapi Chima jelas tidak berekspektasi sejauh itu. Jika seperti ini, Chima bingung harus menyalahkan siapa. Pengunggah misterius yang menyebabkan kegiatan orientasi tersebar ke internet, kepala sekolah yang memarahi panitia inti OSIS, atau bahkan panitia OSIS sendiri? Chima benar-benar ingin pulang rasanya.
Keributan malam itu tidak pernah benar-benar reda. Rayhan dicaci-maki habis-habisan, Ketua OSIS bahkan sempat memukulnya hingga memar. Murid-murid diam dalam ketakutan. Keesokan harinya ketika seluruh kegiatan dalam jadwal telah selesai, seluruh murid baru benar-benar bernapas lega dan senang karena bisa pulang ke rumah. Malam itu semuanya diancam. Siapa pun yang membocorkan apa yang terjadi malam itu akan mendapatkan balasan yang lebih mengerikan dari kejadian malam itu. Para kakak kelas itu tampaknya sudah tidak berpikir secara sehat dalam menangani masalah. Chima tidak peduli, ia juga tidak berniat menyebarkan apa-apa karena tidak punya bukti. Yang pasti, ia hanya ingin kegiatan malam itu segera berakhir. Sisanya terserah apa yang terjadi.
Chima kira setelah malam mencekam itu, semuanya benar-benar usai. Permasalahan kakak kelas dengan kepala sekolah usai, intimidasi yang dilakukan mereka kepada adik kelas usai, dan kehidupan SMA mereka akan berjalan damai sebagaimana mestinya. Tetapi Chima terlalu berharap muluk. Nyatanya masalah itu semakin besar, melebar kemana-mana.
Dua hari setelah malam keakraban yang penuh keributan itu, sekolah digegerkan dengan pemberitaan memalukan yang muncul di forum jurnalistik sekolah. Kegiatan yang diselingi dengan beberapa kekerasan malam itu tiba-tiba muncul di forum jurnalistik sekolah beserta narasi provokatif yang langsung menghebohkan satu sekolah. Chima ingat tidak ada yang boleh membawa ponsel selama kegiatan itu, dan Chima yakin sekali tidak ada yang berani sembunyi-sembunyi melakukannya di saat keadaan benar-benar tidak baik. Lantas, bagaimana foto-foto dan video kegiatan malam itu bisa menyebar ke forum jurnalistik sekolah dan bahkan secara detail?
"Kenapa mengurusi hal itu? Seharusnya kita bisa bersekolah dengan tenang setelah kebodohan para kakak kelas itu." Ujar Geovan cuek.
Chima menghela napas. "Kita tidak akan bisa tenang jika masalah ini belum selesai. Aku khawatir para panitia OSIS itu akan menyalahkan kita lagi."
"Mereka tidak bisa, toh tidak ada bukti."
Ya, harusnya memang tidak bisa. Pemanggilan para pengurus inti OSIS oleh kepala sekolah menjadi berita hangat di sekolah. Pengurus inti yang mayoritas dari tahun ketiga benar-benar mendapatkan ancaman yang serius pasca apa yang mereka lakukan di malam keakraban beberapa hari yang lalu. Mereka sudah diberi peringatan, tetapi bukannya berbenah malah semakin menjadi-jadi. Tidak hanya itu, foto-foto dan video kegiatan berbalut perundungan malam itu bahkan tersebar di internet dan menjadi viral. Nama sekolah dicatut dan menjadi citra buruk lembaga. Masalah yang melebar kemana-mana itu bukan lagi menjadi tanggung jawab OSIS, melainkan sudah ke ranah sekolah. Ada beberapa orang tua yang protes mengenai pelaksanaan orientasi yang berujung perundungan. Sekadar mengingatkan saja, SMA Utama berisi anak-anak kaya, jelas orang tua mereka tidak akan terima jika membayar mahal hanya untuk mendapati anak mereka dirundung oleh kakak kelas dengan dalih masa orientasi murid baru.
Chima dan Geovan kira, masalah hanya sampai di sana, kemudian selesai ketika ada mediasi antara pihak sekolah dengan orang tua yang dirugikan dan mengajukan protes. Nyatanya, hal itu masih terus berlanjut. Sasarannya jelas para anggota OSIS yang terlibat pada hari itu. Belakangan, hal baru muncul di sekolah. Satu per satu rahasia buruk anggota OSIS entah bagaimana bisa terpampang di forum jurnalistik sekolah. Semuanya lengkap, seolah disebarkan oleh pemiliknya sendiri. Ketua jurnalistik berkali-kali membela diri bahwa mereka sungguh tidak tahu apa-apa mengenai itu dan mereka jelas tidak mungkin melakukan hal segila itu.
Saat itu adalah semester yang kacau untuk Chima dan Geovan. Katakan saja mereka tidak mendapat masalah apapun, nama mereka juga tidak dikaitkan dengan semua masalah yang beredar. Keduanya tetap bertahan sebagai pengamat yang berharap semua keributan ini segera usai.
Hari demi hari, satu per satu rahasia buruk atau memalukan para anggota OSIS itu dipampang di forum jurnalistik sekolah. Tentu saja tidak sampai di sana. Berita-berita buruk itu menyebar ke luar sekolah, menyebabkan orang-orang yang tersangkut menjadi malu dan depresi. Bahkan Sandra dan Perry yang malam itu berusaha membela Chima dan menghentikan rekan-rekannya tidak lolos dari dipermalukan oleh forum sekolah. Semuanya tanpa kecuali mendapatkan porsi sendiri untuk dipermalukan oleh entah siapa yang meretas forum jurnalistik sekolah.
Tidak hanya dipermalukan oleh anak-anak dari sekolah lain, masalah di SMA Utama menjadi bahan ejekan oleh anak-anak di sekolah sendiri pula. OSIS bukan lagi menjadi organisasi yang disanjung karena berisi anak-anak teladan, melainkan dihina karena berisi anak-anak kasar dan penuh aib memalukan. Agaknya sikap arogan mereka selama menjadi panitia orientasi murid baru menjadi bahan ejekan semenjak aib-aib mereka satu per satu terungkap. Pihak sekolah sudah berusaha menghentikan itu semua dengan menutup akses forum jurnalistik sekolah, tetapi hal itu sama sekali tidak mempan. Si penyebar aib tampaknya bukan orang biasa dan bisa diremehkan.
Lalu segalanya memuncak ketika hampir akhir semester. Kebanyakan pengurus OSIS adalah anak-anak kelas tiga yang hampir lulus dan dalam masa sibuk mempersiapkan ujian. Namun karena masalah itu, banyak dari mereka yang tidak fokus dan nilai-nilainya turun drastis di beberapa try out. Padahal, ujian yang sebenarnya sudah tinggal beberapa minggu.
Satu minggu sebelum ujian diadakan, sekolah geger dengan kematian seorang gadis tahun ketiga SMA Utama. Dia jatuh dari atap dan menghantam halaman keras di bawahnya. Beragam rumor beredar, sebagian besar mengatakan jika gadis itu depresi karena nilai -nilai try out-nya anjlok sehingga dia menjadi tidak percaya diri untuk menghadapi ujian yang sebenarnya. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia stress dengan banyaknya aib yang dibongkar oleh entah siapa di forum jurnalistik sekolah. Ia menjadi sangat malu dan kemudian mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atap. Investigasi dilakukan oleh pihak berwajib, pihak keluarga juga meminta untuk diselidiki lebih lanjut karena tidak terima dengan kematian anaknya yang tiba-tiba, tetapi mereka berakhir dengan kesimpulan bahwa gadis itu bunuh diri.
Sandra Widya; bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya sendiri dari atap SMA Utama.
O||O