Dua Tahun Silam -3

2527 Kata
"Ini nggak mungkin!" Seru Chima. "Kenapa Kak Sandra memilih bunuh diri? Aku lihat apa yang disebar di forum jurnalistik sekolah, dan itu bukan hal yang terlalu memalukan. Yah, setidaknya jika untukku." Geovan memutar bola matanya bosan. "Kondisi mental seseorang beda-beda, Chima. Kamu mungkin mikir aíb milik Kak Sandra nggak terlalu memalukan, tetapi itu tetap saja aíb untuknya. Dia sudah tahun ketiga, stress dengan ujian ditambah dengan aibnya disebar di forum jurnalistik sekolah. Kurasa masuk akal jika dia merasa tertekan." "T-Tapi, pernah mencium teman sekelasnya saat tahun pertama bukan aíb yang besar, Ge. Kamu pasti juga paham 'kan? Bisa saja Kak Sandra nggak sengaja. Aku bahkan nggak berpikir hal itu bisa dikategorikan sebagai aíb. Setidaknya jika dibandingkan dengan aíb para petinggi OSIS yang sebagian besar sudah masuk ranah kriminal. Pengalaman masa lalu Kak Sandra hanya sekadar itu. Rasanya aneh sekali dia sampai melompat dari atap sekolah." "Aku setuju dengan itu. Aku juga berpikir bahwa pernah mencium teman sekelasnya hanya sebatas kesalahan biasa. Kalau pun Kak Sandra malu, rasanya tidak mungkin sampai membuatnya bunuh diri. Selain itu, tidak ada orang yang mengejeknya terang-terangan seperti orang-orang mengejek para anggota inti OSIS itu. Tapi sekali lagi, kondisi mental seseorang tidak bisa disamaratakan, okay? Aku dan kamu mungkin berpikir ini bukan apa-apa, tapi kita nggak tahu apa yang Kak Sandra rasakan." Jelas Geovan panjang lebar. Chima menggigit bibirnya dan mengacak rambutnya frustrasi. "Tapi! Argh! Nggak mungkin Kak Sandra yang berani pasang badan melawan rekan-rekannya sendiri memiliki mental yang cukup lemah sampai membuatnya bunuh diri. Kau juga pasti ingat bagaimana Kak Sandra berusaha melindungiku saat aku dipanggil ke depan. Mana mungkin orang yang seperti itu bisa depresi hanya karena kenangan pernah mencium teman sekelasnya tersebar. Aneh, Ge! Aneh banget!" Geovan tidak berminat menyelidiki misteri atau semacamnya. Bukannya ia tidak peduli dengan Sandra yang merupakan kakak pendamping di kelompoknya ketika orientasi, ia hanya tidak ingin terlibat dengan kekacauan yang sedang terjadi di sekolahnya. Sejak pertama ia lolos masuk ke sekolah ini, hanya masalah yang terus datang. Geovan bahkan tidak ingat sudah menikmati kehidupan SMA-nya atau belum, lalu Chima teman dekatnya ini malah berusaha menyeretnya untuk masuk ke dalam masalah baru. Sungguh, Geovan tidak habis pikir. "Ge!!" "Apa Chima?" Chima mendecak. "Kita harus mencari tahu mengapa Kak Sandra sampai melompat dari atap sekolah. Sampai saat ini, aku masih berpikir jika alasan Kak Sandra itu benar-benar nggak logis. Serius, kenapa harus sampai mengambil keputusan bunuh diri hanya untuk masalah itu?" Geovan menghela napas. "Harus berapa kali aku bilang kalau kondisi mental seseorang itu beda-beda Chima. Memangnya kamu tahu bagaimana kehidupan Kak Sandra? Kita bahkan nggak kenal baik dengannya selain karena dia kakak pendamping kelompok. Lantas untuk apa repot-repot melakukan ini?" "Mungkin Kak Sandra nggak bunuh diri." Cicit Chima pelan. "Apa maksudmu?" "Dengar, aku nggak mau bikin ini jadi aneh atau nggak rasional, tapi aku hanya berusaha memaparkan apa yang kupikirkan berdasarkan pengamatan seluruh kejadian di sekolah kita. Bagaimana kalau Kak Sandra sebenarnya dibunuh? Dia mengetahui siapa yang menyebarkan aib-aib anak OSIS di forum jurnalistik sekolah dan kemudian dibunuh agar tidak ada informasi yang bocor, dan untuk membuat semua itu tampak natural seolah Kak Sandra bunuh diri, Si Pembunuh membuat Kak Sandra jatuh dari atap sekolah tanpa jejak sehingga kesimpulan berakhir pada Kak Sandra bunuh diri karena stress dan tekanan ujian." Jelas Chima panjang lebar. Geovan menepuk kepala Chima, membuat gadis itu mengaduh karena kesakitan. "Dengar Chima, aku nggak tahu sejauh apa imajinasimu atau sesuka apa dirimu dengan kisah-kisah misteri. Tapi buka matamu, Chima. Pembunuhan itu tidak terjadi dengan mudah. Ini realita, dunia yang sebenarnya. Nggak semudah itu membunuh orang tanpa ketahuan." Chima mendecak. "Tapi bukan tidak mungkin 'kan?" "Lantas mengapa para polisi itu menyimpulkan bahwa Kak Sandra bunuh diri? Kau pikir mereka bodoh?" "Bukan bodoh, mungkin mereka kurang teliti saja. Ge, nggak usah naif. Kita semua tahu nggak semua polisi berdedikasi dengan pekerjaan mereka. Jadi wajar saja jika dalam beberapa kasus mereka tidak serius menyelidikinya dan langsung mengambil kesimpulan cepat berdasarkan bukti sekilas dan bukannya bukti mendalam. Lagipula, keluarga korban juga pasti gampang saja percaya karena mereka tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Mungkin polisi yang menyelidiki kasus kematian Kak Sandra kebetulan bukan polisi baik seperti yang kita lihat atau baca di kisah-kisah detektif." Geovan tidak menampik fakta itu. Nyatanya memang banyak oknum polisi yang seperti itu, sama sekali tidak serius dengan pekerjaannya, mengambil keputusan tercepat agar segera selesai, dan menjadikan profesinya hanya sebatas ladang mencari uang belaka tanpa ada usaha di dalamnya. Tetapi Geovan juga tidak bisa asal menyebut seperti yang dikatakan Chima karena mereka sendiri bahkan hanya dua remaja yang baru masuk SMA. Jelas jauh tidak kompeten jika dibandingkan dengan para oknum polisi tidak serius itu. "Lalu apa maumu sekarang?" Chima menyeringai. "Ayo kita selidiki." Geovan menggeleng keras. "No, thanks. Jangan melakukan hal yang tidak penting, Chima." "Ini penting, Ge! Kamu tega banget biarin Kak Sandra meninggal tanpa kejelasan. Bagaimana kalau Kak Sandra benar-benar dibunuh? Nggak adil untuk Kak Sandra dong." "Dan bagaimana kalau pembunuh itu tahu tentang kita kemudian ganti mengejar kita?" Geovan memandang Chima datar. "Ingat Chima, segala sesuatu selalu ada konsekuensinya. Kita nggak dalam kapasitas di mana kita mampu untuk melakukan penyelidikan. Terlebih, jika benar kematian Kak Sandra karena pembunuhan." "Kenapa sih kamu menolak? Ayolah, Kak Sandra benar-benar pendamping kelompok yang baik, dia bisa pasang badan untuk rekan-rekan sesama OSIS yang jabatannya lebih tinggi dari dia, tidak mungkin dia lemah mental dan langsung bunuh diri hanya karena pernah mencium teman sekelasnya di masa lalu." "Chima!" "Ayo Ge! Sekali aja cobalah untuk peduli keadaan sekitarmu dan berhenti bersikap bodo amat." Geovan mengusap wajahnya kasar. Iya, dia memang orang yang cenderung seperti itu. Mengapa harus berurusan dengan masalah jika bisa menghindarinya? Makanya Geovan juga bingung mengapa dia betah berteman dengan Chima sejak kecil sampai saat ini padahal gadis mungil itu hobi sekali masuk ke dalam masalah orang lain. Tindakan Chima mungkin berdasarkan kepedulian hatinya, tetapi terkadang hal itu malah merepotkan dirinya sendiri. Sekarang ini, yang ingin dimasuki Chima bukan sekadar masalah remeh temeh. Ini adalah masalah nyawa, antara bunuh diri atau pembunuhan. Persoalan Sandra jelas sudah jauh dari kapasitas mereka. Ingatlah bahwa mereka hanya seorang remaja lima belas tahun yang baru saja masuk SMA. Geovan sangat mengerti jika Chima merasa menghormati Kak Sandra karena gadis itu langsung membelanya ketika pengurus inti OSIS memanggilnya di kegiatan malam keakraban beberapa hari yang lalu. Tetapi untuk apa? Bahkan jika berhasil mengungkap fakta bahwa Sandra dibunuh pun, bisa jadi mereka yang akan menerima masalah selanjutnya. Pada akhirnya, mereka hanya akan merepotkan diri sendiri. Katakan saja Geovan egois, tetapi ketenangan hidupnya sendiri lebih penting daripada kepuasan menolong orang lain. Chima mendecak. "Kalau kamu nggak mau ya sudah, aku akan mencari tahu sendiri." Katanya tegas kemudian melangkah pergi. Geovan langsung menahan pergelangan tangan sahabatnya. "Oke, aku bantu. Tapi aku mau kau berjanji satu hal padaku." "Ya?" "Jika nanti keadaan ternyata enggak berpihak kepada kita dan persoalan ini semakin rumit atau cenderung merugikan kita, kamu harus terima kalau kita hentikan semua sesi mencari tahu ini. Deal?" Chima mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Geovan. "Absolutely." O||O Dan begitulah akhirnya mereka memulai penyelidikan secara diam-diam. Geovan selalu tampak ogah-ogahan melakukannya dan Chima selalu mengungkit-ungkit bahwa Geovan sudah berjanji bahwa ia akan membantu. Geovan sungguh tidak ingin terlibat dengan apapun yang tidak ada hubungannya dengan kehidupannya, terlebih yang Chima ingin selidiki adalah kematian seorang Kakak kelas di mana hal ini jelas bukan kasus main-main. Mengapa pula Chima terobsesi ingin mengungkap segalanya di saat pihak keluarga Kak Sandra sudah menerima kematiannya dengan lapang dadá. Mereka juga bukan pihak berwenang atau seseorang yang memiliki kemampuan penyelidikan mumpuni. "Jadi, apalagi yang ingin kau ketahui? Kita sudah melanggar peraturan dengan naik ke atap. Darimana kau dapatkan kuncinya?" Tanya Geovan malas. "Aku meminjam sebentar kunci milik Pak Dwi kemudian membuat duplikatnya. Tenang saja, tidak perlu sok suci begitu. Aku tahu kau sering kemari karena malas berinteraksi dengan anak-anak lainnya. Berhubung tempat ini kemudian menjadi tempat kejadian perkara kasus bunuh diri, kau tidak bisa lagi kemari sama sekali." Geovan mendecih pelan. Chima, meski tampaknya tidak terlalu peduli dengan Geovan tetapi selalu tahu apa saja yang terjadi kepada pemuda itu. Mau bagaimana pun, mereka sudah saling mengenal sejak kecil, jadi kebiasaan-kebiasaan kecil seperti itu jelas bukan hal baru lagi bagi mereka. Tapi lupakan soal itu, mereka ini sedang menerobos tempat di mana polisi sudah memberikan garis kuning mereka dengan tulisan dilarang melewati. Bahkan pihak sekolah juga membuat tulisan di papan berukuran besar bahwa tidak ada yang boleh masuk ke atap. Biasanya atap sekolah memang tidak boleh dimasuki oleh murid-murid, dan yang boleh hanya petugas kebersihan saja, tetapi kebanyakan murid tidak patuh dengan aturan itu dan masih sering ke sana. Terbukti juga dari kematian Sandra yang disinyalir melompat dari atap. "Ma, kamu tahu nggak, kalau kita ketahuan kita bisa ditangkap polisi?" Chima meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. "Tahu, makanya diamlah. Ah! Berhasil terbuka, ayo masuk." Geovan mengernyit ketika mendengar suara deritan pintu saat dibuka oleh Chima. Pintu itu memang tidak terbuat dari kayu, melainkan terbuat dari lembaran seng yang gampang sekali berbunyi ketika ada gerakan. Ketika mereka masuk ke atas atap, garis polisi ada di mana-mana termasuk perkiraan di bagian mana Sandra mulai melompat. Atap sekolah memiliki pembatas yang berasal dari besi namun tidak terlalu tinggi. Ukurannya hanya sekitar paha orang dewasa. Di bagian bawah besi itu terdapat satu undakan yang bisa dipanjat hanya dengan sekali langkah. Dengan undakan dan pagar besi yang pendek itu, sangat mudah bagi seseorang untuk melangkahkan kakinya ke bagian undakan yang luar kemudian melompat bunuh diri. Chima menelusuri area itu pelan-pelan, dan menemukan bekas sepatu yang berantakan di salah satu bagian undakan. Memang bagian undakan dicat dengan warna putih dan rutin diperbarui, sehingga ketika bagian itu diinjak oleh seseorang, bekas debu yang ada di bawah sepatu sangat mudah untuk tampak di sana. "Kenapa bekasnya berantakan ya?" Gumam Chima pelan. Geovan mendengar gumaman Chima dan mendekat ke arah gadis itu. Di salah satu bagian undakan bercat putih itu memang terdapat bekas cetak bagian bawah sepatu yang berantakan. Geovan juga pasti akan merasa aneh dengan bekas seperti itu. Jika Sandra memang bunuh diri dan atas kemauannya sendiri, bekas cetak sepatu itu akan mengarah ke luar dan kalau berantakan pun pasti hanya beberapa gerakan kecil seperti geseran ringan atau perubahan sudut posisi sebagian. Masalahnya, bekas cetak sepatu itu tampak benar-benar berantakan, seperti Sandra bergerak-gerak dengan cepat di atas undakan itu sehingga bekasnya menjadi tak beraturan. "Inilah mengapa aku bersikeras ingin menyelidikinya. Bekas cetak sepatu ini benar-benar aneh 'kan?" "Tidak, itu hanya bekas cetak sepatu yang berantakan. Mungkin Kak Sandra ragu-ragu saat hendak melompat sehingga ia beberapa kali berniat kembali namun juga masih ingin melompat." Jawab Geovan ringan. Apa yang dikatakan Geovan juga bisa jadi kemungkinan meski ia sendiri tidak yakin dengan perkataannya. Masalahnya, jika Geovan bilang bahwa bekas cetak sepatu yang mencurigakan itu memang mencurigakan, Chima akan semakin berhasrat memasukkan dirinya sendiri ke urusan yang seharusnya tidak ia urusi. Kasus kematian bukanlah wewenang mereka, dan mereka juga tidak akan mampu. Geovan hanya tidak ingin Chima berakhir tidak baik nantinya, plus Geovan pula yang ikut merasakan dampaknya. Chima menyikut pinggang Geovan, membuat pemuda itu mengaduh karena rasa ngilu berkat sikut Chima yang runcing dan keras. "Aku tahu kamu bilang begitu supaya aku berhenti menyelidikinya. Ayolah, kamu 'kan sudah berjanji akan melakukan ini. Lagipula kita akan berhenti kalau kondisi mulai tidak memungkinkan atau kita sudah tidak mampu lagi mencari jawabannya. Masalahnya, kita bahkan baru mulai dan kau sudah ingin mempengaruhiku untuk berhenti." Geovan memalingkan wajahnya, sama sekali tidak menjawab apa yang dikatakan Chima. Memang benar bahwa Geovan sedari awal sama sekali tidak setuju dengan ide menyelidiki kematian kakak kelasnya. Secara perlahan Geovan terus berusaha mempengaruhi Chima agar gadis itu berhenti. Geovan sebenarnya tidak perlu repot-repot melakukan itu karena Chima sendiri sudah mengatakan bahwa Geovan bebas untuk ikut atau tidak. Tetapi sekali lagi, Geovan tidak bisa meninggalkan temannya melakukan hal berbahaya ini sendirian. "Ge, lihat deh ada jejak sepatu lain tapi enggak jelas." Seru Chima tiba-tiba. Geovan mendekat dan memandang objek yang ditunjuk oleh Chima. Memang ada jejak sepatu dengan motif lain di sana. Berbeda dengan jejak sepatu sebelumnya yang berada di undakan pagar, jejak sepatu yang ini berada di lantai atap. Namun karena lantai atap hanya dilapisi dengan semen biasa tanpa ada cat atau apapun yang membuatnya lebih cerah, jejak sepatu itu menjadi tidak begitu jelas. "Kau tidak lupa 'kan bahwa area ini sudah diinjak oleh orang-orang kepolisian?" Chima mendengus. "Cap sepatu polisi mana mungkin seukuran ini, Geo." "Siapa tahu polisi muda, atau ukuran tubuhnya kecil seperti dirimu." Chima menggeplak kepala Geovan dengan sekuat tenaga. "Diam Geo! Serius sedikit kenapa sih!" Serunya marah. Geovan menghela napas. Ia memang tidak serius sejak awal karena ia tidak berminat untuk menyelidiki kematian seseorang. Mungkin orang-orang akan mengatakan bahwa Geovan tidak memiliki jiwa kemanusiaan, tetapi jiwa kemanusiaan ada batas dan ketentuan di dalam kehidupan Geovan. Manusia tidak bisa serta merta melakukan sesuatu dengan dalih kemanusiaan tanpa memikirkan risiko di sisi lain. Lagipula pada akhirnya, Geovan dan Chima hanyalah remaja lima belas tahun yang baru saja masuk ke SMA. Mereka hidup di dunia nyata, bukan film atau novel di mana remaja mampu mengungkap kasus kematian dengan mulus tanpa risiko besar. Masalahnya, fiksi adalah fiksi dan mereka hidup di dunia nyata. Kembali ke konsep semula bahwa realita tidak semudah mereka-reka. "Chima, coba kamu berdiri di posisi cap sepatu yang tidak jelas itu." Chima mengernyit bingung. "Hah? Kenapa?" Geovan tidak mengatakan apa-apa dan langsung mendorong tubuh Chima agar berada pada posisi tersebut. Chima menatap Geovan bingung ketika pemuda itu mendekat ke arah pagar besi dan melongok untuk melihat ke bawah. Geovan juga seperti sedang memperkirakan sesuatu, terlihat dari sorot matanya yang menyipit dan bibirnya yang bergerak-gerak pelan seolah sedang menggumamkan sesuatu. "Dengarkan aku, Chima. Ini cuma perkiraan dan hanya akan jadi perkiraan. Jika memang Kak Sandra enggak bunuh diri, dan kemungkinan mengenai ia yang ragu-ragu melakukan itu sehingga cap sepatunya di undakan itu tampak berantakan, berarti seseorang berusaha mendorongnya dan Kak Sandra berusaha untuk mempertahankan diri. Itulah mengapa cap sepatu Kak Sandra di undakan itu tampak berantakan. Kedua, posisi cap sepatu di lantai itu sangat dekat dengan posisi cap sepatu di undakan. Coba kamu ulurkan kedua tanganmu." Chima mengikuti apa yang dikatakan Geovan dan melakukannya. "Bahkan untuk kamu yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari kebanyakan orang, tanganmu masih sampai untuk menjangkau jika ada seseorang yang berdiri di undakan itu. Sebenarnya akan lebih valid jika kita bisa melihat mayat Kak Sandra, tapi jelas tidak mungkin makanya hal ini hanya menjadi perkiraan belaka." "Melihat mayat Kak Sandra untuk apa?" Tanya Chima. Geovan menunjuk bagian belakang seragamnya. "Jika seseorang bunuh diri, maka posisi jatuhnya kebanyakan tengkurap karena mereka melompat atas kemauan sendiri yang itu artinya bagian depan badannya jatuh terlebih dahulu. Memang ada sebagian yang jatuh dengan posisi terlentang, tetapi sangat jarang dan itu kebanyakan karena mereka menjatuhkan dirinya ke belakang. Cara paling mudah untuk membuat pembunuhan yang kelihatan seperti bunuh diri adalah dengan mendorong korban dari belakang tubuhnya, sehingga korban akan tampak seperti melompat atas kehendak dirinya sendiri." Chima memandang takjub pada analisis Geovan. Chima hanya berusaha mencari bukti sementara Geovan yang tampak malas lebih mengerti mengenai hal itu. Memang ironi, Chima yang benar-benar ingin mengungkap segalanya tidak memiliki kemampuan itu, sementara Geovan yang sekadar mengikuti Chima sebenarnya sangat lihai dalam menganalisis keadaan. O||O
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN