"Seharusnya kamu yang paling banyak berperan dalam penyelidikan ini, Geo. Lihat, kamu bisa langsung mendapatkan kesimpulan padahal hanya melihat sekilas."
Geovan menguap malas sembari mengorek lubang telinganya dengan jari kelingking. "Maaf saja, aku tidak berminat. Lagipula, apa yang aku katakan belum tentu benar juga 'kan? Ingat Chima, kita nggak punya bukti sama sekali."
"Tapi kalau analisismu benar, kita bisa buktikan kalau Kak Sandra enggak bunuh diri. Kita bisa nyari tahu siapa yang ngebunuh Kak Sandra dan apa tujuan sebenarnya."
Geovan menjitak kepala Chima, membuat gadis mungil itu mengaduh dengan kesal. "Bukti, Chima! Selama kamu nggak punya bukti, apapun yang kamu tahu, bahkan jika itu kebenaran sekalipun nggak akan berarti apa-apa. Sekarang, kalau kamu nggak punya bukti, tuduhanmu bisa berbalik ke kamu sendiri. Jangan menambah masalah. Kita masuk ke sekolah ini untuk belajar, bukan untuk terlibat di kasus kematian seseorang."
"Makanya kita nyari bukti supaya ada keadilan untuk Kak Sandra!"
Geovan memutar bola matanya kesal. "Enggak usah sok mencari keadilan untuk orang lain kalau kamu sendiri saja belum mendapatkannya. Jujur saja, aku benar-benar malas mengurusi ini. Ayolah, sejak hari pertama kita masuk ke SMA, rasanya belum ada hal bagus dan menarik yang bisa kita lakukan."
"Ini menarik Geo! Aku benar-benar nggak tega membiarkan Kak Sandra meninggal begitu saja tanpa kejelasan."
"Jujur saja Chima, bagaimana jika semua pemikiranmu ini salah? Aku sudah mengatakan padamu bahwa kita nggak dalam kapasitas yang mumpuni untuk menyelidiki ini. Kita cuma remaja lima belas tahun yang baru masuk SMA. Nanti, coba kamu menenangkan diri dan pikirkan lebih dalam mengenai ini. Apakah kecurigaanmu ini berdasar, atau kamu hanya merasa tidak terima karena kematian Kak Sandra."
Chima mengernyit, memandang Geovan dengan tatapan tajam. Ia menarik kerah kemeja putih Geovan, membuat pemuda itu secara otomatis menunduk. Geovan menghela napas mendapatkan perlakuan seperti ini. Jelas, hal seperti ini bukan pertama kalinya untuk Geovan. Mereka sudah mengenal sejak kecil. Chima mungkin tampak mungil seperti anak kecil, namun di balik tubuh mungilnya itu dia memiliki kekuatan yang cukup untuk mengalahkan sekumpulan berandalan. Chima sudah berhenti berkelahi setelah lulus SMP, tetapi Geovan pikir, jiwa berandalannya belum sepenuhnya hilang.
"Kamu selalu mengatakan bahwa aku salah soal ini. Kita memang nggak punya bukti mengenai kematian Kak Sandra apakah benar karena bunuh diri atau ada seseorang yang sengaja mendorongnya. Tapi kita juga enggak punya bukti kalau Kak Sandra bunuh diri bukan? Apa yang terdengar dari rumor di sekolah mengenai àib Kak Sandra tampak sama sekali nggak masuk akal untukku. Kamu sendiri bahkan juga memiliki teori mengenai kemungkinan Kak Sandra didorong oleh seseorang 'kan? Aku tahu Geo, kamu cuma takut jika masalah ini ternyata benar pembunúhan, makanya kamu terus-terusan mengajakku untuk berhenti menyelidiki kasus Kak Sandra, iya 'kan?"
Geovan mencengkeram pergelangan tangan Chima dan melepaskannya dengan paksa dari kerah kemejanya. Keduanya saling menatap tajam satu sama lain. Ada saat di mana Geovan dan Chima tidak sependapat. Mereka memang berteman selama bertahun-tahun, tetapi bukan berarti selalu ada kedamaian dalam pertemanan mereka. Malahan, ketika mereka berbeda pendapat, pertengkaran keduanya bisa sangat parah.
"Aku memang bilang mau membantumu, tapi kamu nggak berhak untuk memaksaku. Ingat Chima, kamu sudah membawaku melangkah ke situasi yang berbahaya. Memangnya kamu bisa bertanggungjawab jika terjadi sesuatu kepada kita hah?"
Chima mendecak keras. "Aku pasti bertanggungjawab."
Geovan tidak akan pernah mempercayai apa yang dikatakan Chima mengenai tanggung jawab. Tidak, gadis itu tidak pernah mengingkari janjinya, pun dengan tanggung jawab yang selalu ia katakan. Chima selalu berpegang teguh pada apa yang ia katakan. Geovan sudah cukup mengenal bagaimana perangai gadis itu ketika memutuskan sesuatu. Dia pemberani, namun sangat ceroboh. Setiap rintangan diterjang begitu saja tanpa peduli bahwa beberapa hal bisa jadi merugikan dirinya sendiri dan bahkan orang lain yang terlibat. Tentu dalam hal ini Geovan adalah yang paling sering ikut terdampak atas kenekatan Chima yang tidak kira-kira. Seharusnya Geovan bisa mengabaikannya, namun ia selalu mengalah dan pada akhirnya terlibat dengan apapun yang ingin dilakukan oleh gadis itu. Benar-benar menyebalkan.
"Terakhir kali ketika kamu bilang kalau mau mau bertanggungjawab, kita malah—"
Geovan menarik leher Chima dengan lengannya dan membekap mulut gadis itu. Geovan yang memiliki tinggi badan di atas rata-rata untuk seusianya melangkah panjang-panjang dan membawa Chima bersembunyi di balik dinding atap yang berlawanan arah dengan lokasi Sandra Widya diduga bunuh diri. Bunyi pintu seng yang menghubungkan tangga dengan atap sekolah terdengar amat nyaring yang itu artinya ada seseorang yang tengah membuka pintu tersebut.
Geovan menempelkan tubuhnya pada dinding, berusaha keras agar tidak menimbulkan bayangan sama sekali. Cuaca panas di atap sekolah dengan warna cat putih salju yang cukup cerah membuat tubuh seseorang yang berdiri di bawah terik matahari akan memunculkan bayangan yang begitu jelas. Geovan harus bersusah payah memposisikan dirinya di dekat dinding yang memisahkannya dengan posisi lokasi kematian Sandra Widya dan sebisa mungkin untuk tetap berada di area teduh yang hanya sedikit. Geovan ingin melihat siapa yang datang dan naik ke atas, karena jika mendengar dari langkah kakinya, hanya ada satu orang yang naik. Tidak ada suara pembicaraan sama sekali, yang ada hanya langkah kaki pelan satu orang di sekitar area tersebut. Siapa yang memiliki akses naik ke atap sekolah selain kepolisian, dewan guru, petugas kebersihan, dan mereka sendiri? Bahkan petugas kebersihan dan dewan guru sama sekali tidak berani naik ke atas karena takut merusak kemungkinan adanya bukti di tempat kejadian perkara. Apa mungkin Pak Dwi yang menjaga perpustakaan? Tetapi untuk apa?
"Hmmmmpp...." Erang Chima pelan.
"Ssshhhhh...." Geovan membekap mulut Chima semakin keras dan menahan tubuh gadis itu dengan melingkarkan lengannya yang lain ke sekeliling tubuh Chima. Gadis itu bisa nekat melakukan sesuatu yang tidak seharusnya jika tidak ditahan seperti ini. Geovan khawatir Chima akan membongkar diri sendiri hanya karena curiga bahwa seseorang yang naik ke atap saat ini mungkin pembunuhnya. Chima mungkin memiliki keinginan menegakkan keadilan yang besar, tetapi ia sangat amatir dalam membaca keadaan.
Menit-menit berlalu seolah terjadi selama bertahun-tahun. Geovan bisa mengatakan bahwa ini adalah beberapa menit terlama yang pernah ia rasakan. Geovan baru benar-benar melepaskan bekapan tangannya di mulut Chima ketika ia mendengar pintu seng yang menghubungkan atap dengan tangga ditutup dari sisi sebaliknya.
Geovan menghela napas. "Selamat...." Gumamnya pelan.
Chima jatuh dan menghirup udara banyak-banyak. "Kamu gilà ya? Membekapku seperti itu?"
Geovan tertawa pelan. "Sorry, aku reflek melakukannya. Kamu harusnya berterimakasih padaku, Chima. Coba kalau aku enggak melakukan itu lalu kamu ketahuan, nggak cuma kamu yang akan repot, tapi aku juga terlibat."
Chima mengusap bibirnya dengan kasar. "Seharusnya aku bisa menangkap pembunuhnya kalau kamu nggak nahan aku kayak tadi."
"Hah? Yakin sekali kalau dia pembunuhnya? Kalau kamu salah orang bagaimana? Itu sama saja dengan mengungkap apa yang kita lakukan. Ingat ya, apa yang kita lakukan saat ini menentang hukum alias ilegal. Kita bisa terjerat hukum kalau sampai ada polisi yang tahu kita datang kemari. Kamu mau ngehancurin masa remaja kita atau bagaimana? Ya terserah sih kalau itu hanya kamu, tapi masalahnya kamu juga melibatkan diriku."
"Seolah sedang mempersiapkan masa depan saja." Sindir Chima pelan.
Geovan mendecih benci. Pertemanan mereka selalu seperti itu. Geovan terkadang lelah dengan kelakuan gadis mungil itu, namun ia tetap tidak bisa meninggalkannya. Chima adalah temannya, dan Geovan tidak pernah meninggalkan temannya meski kelakuan Chima terkadang cukup menyebalkan.
Geovan menarik lengan Chima. "Ayo kembali."
"Hah? Kita belum selesai menyelidiki!" Seru Chima tidak terima.
"Kita sudah selesai, ayo kembali sebelum kita berakhir berurusan sama polisi."
Chima menarik lengannya. "Sebentar, aku harus memotret tempat kejadian perkara."
Geovan hanya menghela napas melihat gadis itu begitu antusias memotret tiap sisi tempat kejadian perkara yang seharusnya tidak mereka datangi. Geovan berkali-kali melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, menunggu Chima dengan tidak sabar. Beberapa menit setelahnya mereka akhirnya kembali turun dari atap, meninggalkan tempat kejadian perkara dengan beberapa foto yang disimpan di dalam ponsel Chima.
Geovan sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi saat ini. Mereka melibatkan Pak Dwi dalam situasi ini di mana pria penjaga perpustakaan itu memberikan duplikat kunci untuk masuk ke atap sekolah. Jika sampai ada yang tahu, maka semua urusan akan semakin runyam. Mereka tidak bisa semudah itu percaya kepada seseorang.
"—van! Geovan! GEOVAN!!!"
"Hah, apa?" Jawab Geovan terkejut.
Chima mengernyit bingung. "Kamu kenapa sih?"
Geovan menggeleng singkat. "Bukan apa-apa."
Geovan sama sekali tidak berbicara kepada Chima di sisa pelajaran mereka hingga jam pulang. Chima tampak girang dengan foto-foto tempat kejadian perkara yang berhasil ia abadikan dengan dalih untuk diselidiki, sementara Geovan masih memikirkan tentang siapa yang naik ke atap ketika mereka ada di sana sebelumnya. Geovan tidak mendengar suaranya sama sekali. Satu-satunya petunjuk hanya langkah kakinya. Hanya ada satu orang yang naik ke atas dan Geovan yakin siapa pun itu, dia sama sekali tidak berhubungan dengan kepolisian. Geovan berani mengambil kesimpulan seperti itu karena kedatangan tiba-tiba dari sosok misterius tersebut begitu aneh. Setelah Geovan dan Chima turun dari atap kemudian kembali melanjutkan pelajaran sebagaimana biasanya, Geovan sama sekali tidak menemukan siapapun yang berhubungan dengan kepolisian di sekolah. Keluarga Sandra Widya telah menerima kematiannya sebagai kasus bunuh diri, dan untuk menenangkan hati keluarga yang ditinggalkan serta kepercayaan bahwa Sandra Widya lebih baik beristirahat dengan tenang, tidak ada penyelidikan lebih lanjut. Garis polisi memang masih ada di lokasi kejadian, namun itu semua sebenarnya hanya untuk mencegah ada anak-anak yang naik ke atas hanya karena penasaran. Pihak sekolah tidak ingin kejadian yang sama terulang. Skandal di forum jurnalistik sekolah masih tidak terkendali. Satu per satu àib anggota OSIS muncul tanpa bisa dicegah. Kasus bunuh diri ini dikhawatirkan bisa terulang jika dewan guru tidak berinisiatif untuk menutup atap dan membiarkan garis polisi tetap di sana.
Chima terus-terusan menatap ponselnya bahkan saat jam pelajaran di dalam kelas. Geovan tahu gadis itu sangat terobsesi untuk mengungkap kebenaran kematian Sandra Widya, namun Geovan menjadi khawatir ketika melihat betapa antusiasnya Chima melakukan ini padahal mereka sedang berdiri di tengah bahaya. Geovan tidak peduli jika dewan guru memergoki mereka di atas atap, atau bahkan kepolisian yang mengurus kasus ini, karena ia yakin mereka hanya akan mengira Geovan dan Chima adalah dua orang yang penasaran dan memperingatkan saja. Masalahnya, Geovan menjadi tidak tenang setelah ia mengetahui ada seseorang yang naik ke atas atap sendirian sebelumnya. Siapa dia? Mengapa dia naik sendirian? Apa tujuannya? Apakah berhubungan dengan kematian Sandra Widya? Beragam pertanyaan bercokol di kepala Geovan dan itu membuatnya benar-benar tidak tenang.
"Geo, ayo naik ke atap nanti malam."
Geovan melotot kaget. "Hah? Jangan bercanda kamu Chima!" Serunya.
Chima menggeleng ringan. "Aku enggak bercanda. Kalau kita naik malam-malam, nggak akan ada yang memergoki kita. Lagipula bukan perkara sulit kok kalau hanya sekadar naik ke pagar sekolah, yang penting kita punya kunci untuk ke atap 'kan."
Ini benar-benar buruk. Chima tampaknya semakin berhasrat untuk mengetahui apa yang terjadi, namun gadis itu sama sekali tidak waspada bahwa mereka mungkin saja sudah diketahui oleh pembunuhnya—jika memang benar Sandra Widya meninggal karena dibunuh. Geovan tidak memungkiri bahwa ia curiga dengan seseorang yang naik ke atas atap sebelumnya. Ia tidak mengatakan hal itu kepada Chima agar gadis itu lebih tenang dan tidak secara gegabah berusaha mencari siapa dia, namun tampaknya Geovan salah. Chima tetap akan mencari tahu meski ia sama sekali tidak waspada dengan kemungkinan pembunúh Sandra Widya ada di sekolah ini.
"Cukup Chima, aku memang bilang akan membantumu, tapi bukan berarti kita harus melakukannya malam hari."
"Kenapa? Kamu takut?" Tantang Chima.
Geovan tertawa mengejek. "Ya, aku takut kamu tersesat dan aku yang harus menolongmu. Kamu selalu gegabah dalam melakukan sesuatu dan aku yang selalu menolongmu."
Chima meninju lengan Geovan dengan kesal. "Okay, aku nggak akan maksa kamu. Terserah kamu mau ikut aku atau enggak."
Sisa hari itu digunakan Geovan untuk memikirkan ide gilà apa yang dilakukan oleh Chima. Geovan sudah cukup tahu bagaimana kelakuan Chima selama ini ketika penasaran akan sesuatu. Gadis mungil itu tidak akan begitu mudah menyerah meski ia tahu bahwa yang dilakukannya salah atau membahayakan diri. Agak merepotkan memang. Geovan seharusnya tidak usah peduli dan memisahkan diri. Dia juga tidak akan terkena masalah, namun lagi-lagi ia tidak bisa meninggalkan temannya dengan alasan apapun. Meski ogah-ogahan, Geovan tetap saja datang menolong. Geovan hanya berharap gadis itu benar-benar tidak datang ke sekolah nanti malam.
O||O
Geovan menghela napas. Sudah dua jam ia berbaring di atas ranjang dan berguling-guling tanpa bisa terlelap. Ia bukan jenis orang yang kesulitan tidur, namun kali ini ia benar-benar tidak bisa memejamkan matanya dengan tenang. Begitu banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya dan itu membuat Geovan benar-benar tidak bisa terlelap sama sekali. Ia mendecak kesal, memukul buntalan guling di sampingnya sebagai pelampiasan.
Geovan bangun dari posisi berbaringnya, mengusap wajah kasar dan memeriksa jam di ponsel. Sudah cukup malam. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Geovan biasanya sudah terlelap kea lam mimpi ketika tidak ada lagi yang harus ia kerjakan. Tidak biasanya ia kepikiran hingga seperti ini. Seandainya saja Geovan tidak mengetahui bahwa ada seseorang yang naik ke atap siang tadi, atau Chima yang berinisiatif mengajaknya ke sekolah malam hari untuk menyelidiki, ia mungkin sekarang sudah terlelap dengan nikmat ke alam mimpi. Ia harus masuk sekolah besok, dan tubuhnya cukup lelah, namun sedikit pun Geovan tidak bisa memejamkan matanya dengan tenang.
Geovan menggeser ponselnya, mencari kontak Chima dan menghubungi nomor gadis itu. Hingga nada tunggu berdering sampai selesai, tidak ada jawaban sama sekali. Geovan berusaha untuk tenang dan mencoba menghubunginya lagi, namun untuk yang kedua kalinya Chima tidak menjawab panggilannya. Geovan tahu Chima bukan jenis orang yang akan mengabaikan panggilan meski malam sudah cukup larut. Chima selalu menyalakan ponselnya dan memberikan nada dering yang cukup nyaring. Ia tidak pernah mengabaikan panggilan siapa pun meski ia sedang tidur. Selama Geovan mengenal Chima, gadis itu selalu menjawab panggilannya sebelum nada tunggu berdering sampai habis.
Geovan mulai diliputi kecemasan. Ia tahu bagaimana nekatnya Chima ketika ia menginginkan sesuatu. Masalahnya, apa yang ia inginkan kali ini sangat berbahaya. Chima selalu memaksa Geovan untuk menemaninya, namun bukan berarti gadis itu akan berhenti ketika Geovan menolak. Chima bukan penakut. Ah, ia bahkan terlalu berani hingga meski Geovan tidak ingin menemaninya, dia dengan santai akan berangkat sendirian.
"Sial!" Umpàt Geovan pelan. Ia segera menarik jaket dari gantungan pakaian dan mengendap-endap untuk keluar dari rumahnya. Geovan hanya tinggal berdua dengan Ibunya dan di jam larut seperti ini beliau pasti sudah tidur karena lelah bekerja. Ia harus segera kembali sebelum terang atau Ibunya akan kebingungan.
Geovan berlari dengan panik menuju sekolah. Udara malam yang begitu dingin sama sekali tidak berpengaruh. Malahan, ia berkeringat hebat karena berlari dengan tergesa-gesa. Chima pasti datang ke sekolah sendirian.
Sial, sial, sial, sial!
Bagaimana jika orang yang naik ke atap siang tadi juga berada di sekolah dan memergoki Chima? Bagaimana jika dia membunúh Chima karena menganggap gadis itu mengetahui apa yang terjadi? Di malam yang sunyi seperti ini, tidak akan ada yang tahu jika Chima dibunuh. Bahkan satpam sekolah juga tidak akan tahu karena mereka hanya berjaga di dekat gerbang depan sekolah.
Geovan sampai di depan sekolahnya dengan napas putus-putus. Jantungnya berdegup dengan cepat, campuran antara lelah dan panik. Geovan memeriksa sekitar, dan melihat dua orang satpam yang berjaga di pos dengan penerangan yang sangat minim. Geovan agak menyayangkan hal tersebut. Sekolah ini kebanyakan berisi anak-anak kaya, tetapi penerangan di malam hari benar-benar minim. Jika dilihat sekilas, sekolah ini benar-benar menyeramkan. Dengan bangunan besar dan luas, penerangan yang minim benar-benar tampak seperti di film horor yang ia tonton.
Geovan harus naik dan melewati pagar bagian samping untuk masuk ke pelataran sekolah tanpa diketahui oleh dua satpam yang berjaga. Oh, ia sedikit bersyukur bahwa penerangan di sekolahnya cukup minim. Dua satpam yang berjaga itu tidak akan mengetahui jika Geovan masuk ke dalam area sekolah dengan memanjat pagar. Geovan mendongak, memperhatikan beberapa bagian sekolah untuk melihat apakah ada CCTV yang menyala. Sekolahnya bukan sekolah biasa, Geovan harus ingat bahwa ia masuk ke sekolah anak-anak kaya dan perangkat semacam CCTV jelas bukan hal yang sulit untuk didapatkan.
"Okay, sekarang bagaimana caranya aku naik ke atas dengan menghindari semua CCTV itu?" Gumam Geovan pelan.
O||O