Dua Tahun Silam -5

1710 Kata
Jujur, menyelinap masuk ke sekolah di malam hari bukan hal yang pertama kali dilakukan oleh Geovan. Katakan saja, ia dan Chima masuk dalam kategori murid yang agak bandel sejak dulu. Meski tidak melakukan hal yang berlebihan atau sampai ke ranah kriminalitas, ia dan Chima cukup sering melakukan hal-hal seperti ini sejak Sekolah Dasar. Tujuannya ada bermacam-macam, namun semuanya hanya hal-hal ringan yang sama sekali tidak membahayakan nyawa mereka. Makanya, untuk menyelinap ke sekolah baru mereka, baik Geovan maupun Chima sama-sama tidak memiliki kendala yang berat. Masalahnya adalah, saat ini yang mereka hadapi bukan sekadar hal-hal iseng seperti di masa lalu, melainkan kematian seseorang. Geovan sungguh tidak akan melarang Chima menyelinap ke sekolah malam-malam seandainya yang ia cari bukan kebenaran tentang kematian Sandra Widya. Ia tidak bisa berhenti merasa khawatir sejak tadi siang. Awalnya, Geovan kira mereka hanya akan melihat-lihat tempat kejadian perkara. Setelahnya, Chima akan menyelidiki hal lainnya sendiri. Siapa sangka di tengah-tengah mereka melakukan penyelidikan abal-abal itu seseorang naik ke atas atap. Sungguh, jika Geovan tidak merasa bahwa dirinya terancam, ia akan langsung keluar dan menyergap entah siapa pun itu yang naik ke atas atap. Namun sekali lagi, ia sendiri juga melakukan hal yang salah. Di mana-mana, masuk ke tempat kejadian perkara itu sama dengan melanggar hukum dan jelas berbahaya. Geovan harus benar-benar menghindari CCTV yang tersebar di area sekolah. Ia bahkan khawatir apakah Chima cukup sadar untuk menghindari CCTV menangkap wajahnya. Bisa jadi perkara besar jika sampai pihak sekolah melihat wajah Chima berkeliaran di area sekolah malam hari. Rasanya, setelah mereka menyelesaikan masa orientasi yang kemudian berlanjut dengan penyebaran àib para anggota OSIS itu, Geovan belum benar-benar merasa damai setiap kali masuk ke sekolah. Hingga saat ini, anak-anak baru seperti dirinya tidak ada yang membuka mulut perihal kejadian di malam keakraban yang mencekam hari itu. Namun seseorang di antara mereka telah menyebarkan semuanya berikut dengan àib para pengurus OSIS yang terlibat termasuk mereka yang tidak ikut mem-bully adik kelas. Geovan masih tidak paham mengapa budaya senioritas tetap saja tumbuh dan berkembang di sekolah. Seolah, dengan melakukan hal itu mereka akan tampak seperti penguasa. Seandainya Geovan peduli, atau ia tidak malas, sejak dulu ia akan melawan kakak kelas yang melakukan hal-hal kelewatan seperti malam keakraban hari itu. Masalahnya, Geovan terlalu malas untuk ikut campur dengan hal-hal yang tidak berkaitan dengannya. Beruntung ia tidak pernah dipanggil ke depan oleh kakak-kakak kelas gilà hormat itu, sehingga sampai sekarang pun Geovan masih sama sekali tidak memiliki alasan untuk ikut campur. Tidak ada gunanya juga dia berbicara, karena sekali memiliki mental tukang búlly, seringnya mereka akan selalu seperti itu, dan Geovan tidak dalam kapasitas untuk menghentikannya. Geovan berusaha untuk terus menghubungi Chima sembari berjalan untuk menuju ke atap sekolah. CCTV yang tersebar di mana-mana membuat Geovan harus benar-benar hati-hati untuk menghindarinya. "Cih, dia benar-benar nggak jawab panggilanku." Keluh Geovan pelan. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket dan memandangi sekitar. Ternyata jauh lebih sulit menyelinap ke sekolah barunya ini. Beruntung, tangga yang menghubungkan atap tidak dipasangi CCTV, entah memang sejak awal tidak dipasangi atau memang dilepas, yang jelas Geovan cukup merasa bebas bergerak setelah ia menyebrang dan naik ke tangga itu. Pintu seng yang memisahkan atap dengan tangga terbuka sedikit. Geovan harus menggigit bibirnya sendiri karena tidak tahan dengan suara pintu seng yang nyaring saat ia membukanya. Di malam yang senyap seperti ini, gerakan sekecil apapun menimbulkan suara yang benar-benar mengganggu. "Chima?" Panggil Geovan pelan. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Geovan mengeluarkan ponselnya dan menyalakan senter. Bagian atap memang tidak terlalu gelap karena terkena sinar bulan. Namun Geovan masih belum menemukan gadis mungil itu. "Chima?" Ulang Geovan sedikit lebih keras. "Chim—aaah!" "Hahahahahaha.......! Kau ketakutan ya!" Seru Chima puas. Geovan mengusap dadanya sendiri dan langsung membekap mulut gadis itu sebelum ia semakin keras tertawa. "Diam!" "Ngapain kamu ke sini? Katanya kamu nggak mau ikut?" Geovan mendengus kesal. "Dan ngapain kamu ke sini padahal aku sudah bilang kalau berbahaya datang ke sini malam-malam." Chima mengendikkan bahunya tak acuh. "Buktinya aku masih hidup kok." "Kamu tahu 'kan ada banyak CCTV di sekolah?" Chima mengangguk. "Tenang saja, aku menghindari semuanya. Lagipula ini bukan pertama kalinya aku menyelinap ke sekolah malam-malam, kamu juga 'kan? Bukankah ini juga salah satu kegiatan rutin kita sejak dulu? Nggak usah munafik deh." Geovan tidak menampik hal itu karena memang benar. "Jangan samakan menyelidiki kasus pembunuhàn dengan keisengan kita di masa lalu." "Ya, ya, aku tahu." "Ayo pulang." Geovan menarik lengan Chima namun gadis itu menahannya. "Nggak, aku belum selesai memeriksa." "Apalagi yang kamu periksa hah? Tadi siang kita sudah melakukannya dan kamu juga sudah memotret banyak. Tujuanmu cuma menyelidiki tempat ini 'kan? Maka foto-foto yang tadi siang juga sudah cukup." "Bukan begitu, aku hanya ingin memastikan apakah pembunuhnya akan datang di malam hari untuk memeriksa juga." Geovan melebarkan matanya. "Kamu gilà ya? Kalau pembunuhnya benar-benar datang dan memergokimu, menurutmu apa yang akan terjadi?" "Mungkin kamu akan menemukan berita kematianku di headline berita terbaru." "Chima!" Seru Geovan keras. Ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap sembrono yang dilakukan oleh sahabatnya itu. Ini sudah sangat kelewatan dan Geovan tidak lagi bisa memakluminya. Membicarakan kematian dengan santai seolah tengah membahas cuaca hari ini. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu. Geovan mencengkeram lengan Chima dan menarik gadis itu dengan keras. Ia tidak peduli dengan protes yang dilayangkan oleh Chima dan tetap memaksa gadis itu untuk keluar dari atap. Geovan tahu ia tidak seharusnya kasar kepada seorang gadis, namun Chima sudah tidak lagi bisa diatasi dengan cara lembut. Geovan tidak ingin sahabatnya berakhir mengenaskan hanya karena penasaran akan sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupannya. Jika Geovan masih mampu, ia akan mencegah Chima melewati batas aman tersebut. "Lepasin aku Geo!" Seru Chima murka. "Diam Chima! Kalau kamu teriak-teriak, kita akan ketahuan." "Karena itu seharusnya kamu nggak gangguin aku." Geovan mendecak kesal. "Aku sedang menolongmu!" Geovan dan Chima saling menarik satu sama lain. Mereka berdiri di dekat pagar pembatas pendek di dekat undakan. Tidak ada yang sadar sama sekali bahwa mereka berdiri di area yang berbahaya. Dengan gerakan tidak beraturan yang mereka lakukan, Geovan yang paling berpotensi untuk jatuh karena tinggi badannya yang di atas rata-rata. "Aku nggak bilang kamu harus datang ke sini ya! Kalau kamu ke sini cuma untuk menghalangi tujuanku, mending nggak usah datang!" "Aku datang untuk menyelamatkan kamu! Seharusnya kamu berterimakasih." "Bodo amat! Kita nggak sejalan dan aku nggak pernah berpikir kalau yang kamu lakukan itu untuk menyelamatkan aku. Kamu cuma nggak mau terlibat dalam hal ini dan menyeretku untuk mundur." "Ya benar! Sebelum kamu makin nekat ngelakuin hal-hal yang nggak benar dan membahayakan, aku harus nyeret kamu pulang!" "Siàlan! Lepasin aku Geo!" "Nggak akan! Aku akan tetap nyeret kamu sampai kamu ikut pulang bareng aku." "Geo—" Geovan menunduk dan memeluk tubuh Chima ketika menyadari ada orang lain di antara mereka. Klontang! Klontang! Jantung Geovan berdetak dengan cepat. Area atap memang tidak memiliki penerangan dan hanya mengandalkan sinar bulan. Geovan melihat langkah kaki yang sama seperti yang ia lihat siang tadi. Dia seorang laki-laki, dengan tubuh agak kurus namun cukup tinggi. Dia memakai celana panjang dengan sepatu kets berwarna abu-abu—atau hitam? Geovan kurang jelas karena suasana yang temaram. Laki-laki itu memakai masker yang menutupi wajahnya. Geovan hanya bisa melihat kilatan tajam dari kedua bola matanya yang sesekali tertimpa cahaya bulan. Geovan melirik ke arah kapak yang terlempar agak jauh di belakang mereka. Hanya melihat sekilas saja, Geovan tahu untuk apa kapak itu. Sungguh, ia tidak mengira bahwa ada seseorang yang berniat membunuh mereka dengan kapak sebesar itu. Bagaimana caranya dia masuk ke area sekolah dengan membawa kapak sebesar itu tanpa ketahuan? Jika pun dia naik melewati pagar seperti apa yang dilakukan oleh Geovan dan Chima, ia pasti harus melemparkan kapaknya terlebih dahulu ke dalam baru kemudian ia naik melewati pagar. Masalahnya, bagaimana ia bisa melemparkan kapak besar itu ke dalam area sekolah tanpa didengar oleh dua satpam yang berjaga di pos depan? Hampir seluruh bagian sekolah ini memiliki halaman yang dipaving. Hanya beberapa bagian saja yang tidak dipaving dan semua itu kebanyakan untuk ditanami bunga-bunga sebagai hiasan sekolah. Geovan berdiri dan menghalangi tubuh Chima. "Siapa kamu?" Tanyanya. Laki-laki itu tidak menjawab sama sekali. Geovan ngeri membayangkan dia mendapatkan kapaknya kembali kemudian mengejar dirinya dan Chima. Kilatan tajam di kedua bola mata kelam laki-laki itu tampak sangat mengancam. Laki-laki itu masih sangat muda, atau setidaknya itulah yang bisa Geovan simpulkan berdasarkan beberapa area wajah yang bisa ia lihat. "G-Geo...." Cicit Chima pelan. Geovan sebisa mungkin menutupi tubuh Chima agar gadis itu jauh dari jangkauan laki-laki yang mengincar mereka. Siapa dia? Geovan benar-benar gemas dan ingin sekali menarik masker yang menutupi wajahnya, namun melihat betapa beraninya dia membawa kapak sebesar itu untuk membunuh Geovan dan Chima, rasanya dia tidak lagi bisa disebut sebagai orang biasa. Apa ini? Mengapa tempat kejadian kematian Sandra Widya didatangi oleh seseorang yang sangat berbahaya dan kejam sepertinya? "Oi! Siapa kamu?" Seru Geovan lebih keras. Lagi-lagi, sama sekali tidak ada jawaban dari laki-laki itu. Geovan mengedarkan pandangannya. Ia harus segera membawa Chima keluar dari sekolah ini, namun masalahnya laki-laki mengerikan itu berdiri di dekat satu-satunya pintu yang menghubungkan atap dengan tangga. Geovan tidak membawa senjata apapun, dan siapa yang bisa menjamin bahwa laki-laki menyeramkan itu juga mungkin membawa senjata lain di dalam jaket panjangnya. Geovan menoleh ke belakang, menatap kapak yang tergeletak di lantai atap. Ia menggigit bibirnya dan berlari dengan cepat untuk meraih kapak itu. "Minggir!" Bukannya menyingkir karena melihat Geovan mengayunkan kapak itu dengan asal, laki-laki tersebut malah semakin maju seolah sama sekali tidak takut jika Geovan benar-benar berniat membunuhnya dengan kepak besar tersebut. Geovan tidak berniat untuk membunuh siapa pun. Maaf saja, ia tidak berniat untuk menjadi kriminal di usia muda kemudian menghacurkan semua kehidupannya. "Hei, aku bisa melukaimu sekarang juga jika kamu tidak menyingkir!" Geovan mengayunkan kapak tersebut dan laki-laki itu secara reflek menghindar ke samping. Geovan melihat kesempatan untuk melarikan diri, ia langsung melempar kapak besar tersebut dan menarik lengan Chima untuk segera keluar dari atap. Sayangnya, laki-laki itu cukup cepat. Ia mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku jaketnya dan hendak menyerang Geovan. Karena gerakan Geovan yang cepat, pisau tersebut hanya berhasil menyayat sedikit lengannya yang bergerak bebas. Chima sama sekali tidak berbicara. Tubuhnya gemetar hebat. Geovan berlari menuruni tangga dengan menahan rasa perih di lengannya. "Kita harus segera keluar dari sekolah!" Seru Geovan panik. OǀǀO
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN