Keputusan

1306 Kata
Ini sudah beberapa hari sejak kasus bunuh diri Thalia terjadi. Beritanya menyebar begitu cepat. Kolom-kolom surat kabar dipenuhi oleh kisah-kisah dan kemungkinan penyebab bunuh diri Thalia. Majalah dinding sekolah juga tak kalah, mereka berlomba-lomba menulis berita kematian itu. Polisi sudah tidak lagi berlalu-lalang di area sekolah untuk mencari informasi. Sampai saat ini, tidak ada pernyataan pasti apakah ada indikasi kematian Thalia merupakan pembunuhan. Keputusan sampai pada pendapat bahwa kematian itu murni bunuh diri. Sejenak Raka merasa cukup tenang dengan perginya para polisi yang menangani kasus ini. Ia tidak lagi merasa terteror jika ada kawan-kawannya yang menyuruh supaya ia memberikan keterangan kepada pihak kepolisian. Tidak ada yang tahu bahwa Raka ada di tempat kejadian saat itu, dan Raka berharap semua itu akan menjadi rahasianya hingga ia mati. Meskipun kematian Thalia adalah murni bunuh diri, Raka tak serta-merta merasa lepas dari peristiwa itu. Terlebih, setelah pemanggilannya ke ruangan BP tempo hari, juga laporan kecurigaan teman-temannya menjadi ancaman tersendiri bagi hidupnya. Mereka jelas tidak punya bukti untuk melibatkannya lebih jauh dalam permasalahan Thalia, tapi tetap saja Raka khawatir. Seseorang dengan berani mengungkapkan kecurigaannya pada sikap Raka kepada dua guru yang sering berurusan dengannya, sudah pasti orang itu cukup yakin dengan perkiraannya. Raka ketakutan. Rencananya untuk pindah sekolah sudah ia pikirkan matang-matang. Ia tidak peduli meski dirinya sudah di pertengahan semester tahun ketiga. Orangtuanya tidak terlalu peduli dan membebaskan Raka untuk melakukan segalanya. Itulah mengapa sejak dulu Raka tak pernah serius dalam belajar. Urusan semacam pendaftaran, registrasi, dan semacamnya sudah menjadi tanggung jawab pengasuhnya sejak kecil. Jadi Raka bisa bernapas lega asalkan segera keluar dari sekolah ini. Dengan rencana yang cukup matang dan pilihan sekolah keluar kota yang jauh, Raka yakin setidaknya ia tidak perlu ingat dengan kematian Thalia. Kabar rencana pindah Raka dirahasiakan bahkan oleh wali kelasnya atas permintaan Raka. Sejak awal, Raka sudah meminta kepada pengasuhnya supaya memberikan alasan yang meyakinkan agar tidak menimbulkan kecurigaan apapun. Intinya, Raka tidak pernah terlibat dengan pembunuhan itu, hanya itu satu-satunya keyakinan yang membuat Raka masih mampu menghadapi hari-hari terakhirnya di sekolah ini. O||O Raka pindah tanpa mengucapkan apapun kepada teman-teman sekelas bahkan kawan se-gengnya. Ia benar-benar memutuskan untuk hilang kontak dengan seluruh orang yang ada di sekolah lamanya. Tidak ada alasan yang pasti mengapa ia melakukan itu. Hanya karena ia berada di tempat kejadian, Raka merasa harus melupakan semua hal tentang sekolah lamanya, juga orang-orang di sana. Ia pindah jauh ke luar kota atas izin orang tuanya. Tinggal di salah satu apartemen tanpa pengasuhnya. "Baiklah, lupakan soal kejadian itu dan jadi Raka yang baru." Katanya menyemangati diri sendiri. Raka tidak terlalu peduli dengan sekolah mana yang akan ia masuki asalkan jauh dari tempat asalnya dan tak seorang pun mengenal dia sebelumnya. Ini hari pertamanya menginjakkan kaki ke sekolah barunya. SMA Utama. Hanya sekolah swasta biasa yang kebetulan cukup terkenal di kota itu karena reputasi baik. "Hari ini seharusnya berjalan dengan baik, semoga saja." Raka tersenyum lebar di depan cermin. Rasanya kaku, setelah beberapa hari dia hanya merenung dan memikirkan kematian Thalia. Raka menggeleng kencang. "Harusnya aku tidak mengingat kejadian itu." ia menepuk pipinya keras. "Oke, siap berangkat." Orang tua Raka membelikan apartemen yang dekat dengan lokasi sekolahnya, berbeda dengan sekolah lamanya yang cukup jauh hingga Raka selalu diantar-jemput oleh supir. Di sini, ia bisa berjalan sekitar sepuluh menit saja. Sekolah barunya cukup besar. Sekumpulan anak-anak sudah mulai memadati area pelataran sekolah. Sebelumnya ia sudah melihat ruang kelasnya jadi tak ada masalah mengenai jalan. Ruangan kelas tiga ada di lantai dua, lorong itu berisi kelas-kelas khusus untuk tahun ketiga. Ada sepuluh kelas untuk tiap angkatan. Raka berada di ujung lorong dekat tangga menuju lantai tiga yang merupakan lantai deretan untuk kelas satu. Beberapa orang menatapnya karena merasa asing. Raka hanya tersenyum ceria seperti biasa dan mereka sepertinya cukup tertarik dengan Raka. Raka melongok ke dalam kelas, ada beberapa orang yang sudah masuk ke dalam dan duduk di bangku masing-masing. Raka belum pernah pindah sekolah sebelumnya, jadi yang ia tahu biasanya murid baru akan masuk bersama wali kelas seperti di film-film. Raka memutuskan untuk tetap berdiri di dekat tangga. Masih ada sepuluh menit sebelum bel masuk. Ia mengikuti apa yang pernah ia tonton di film, meski tidak harus sih. "Oi, kamu anak baru ya?" Raka melongok ke bawah. Seorang anak laki-laki berperawakan tinggi besar menampilkan cengiran lebar padanya. Raka membalas tak kalah lebar. "Ya." "Aku Zefan. Selamat datang ya!" Raka mengangguk. Zefan berlari naik tangga menuju ke arahnya dengan tangan terulur. "Terima ka—“ BRAK!!! Raka mematung di tempat dengan tangan kanan menggantung di udara. Anak-anak lain yang baru datang langsung mengerumuni Zefan yang tergeletak di bawah tangga. Jeritan ketakutan mengudara, menarik semakin banyak atensi anak-anak lain di sekitarnya. Saat Zefan baru saja memperkenalkan namanya, ia langsung berlari untuk naik tangga. Tepat dua anak tangga sebelum Zefan menyentuh lantai dua, kedua kakinya saling bertubrukan dan menyelip hingga membuatnya terkilir dan langsung jatuh. Raka baru sempat menyentuh ujung jari anak itu, dan sekarang Zefan jatuh di depan matanya. Tidak ada yang terlalu memperhatikan Raka, semuanya terfokus pada Zefan yang tergeletak memejamkan mata dengan pergelangan kaki memutar yang tampak menyakitkan. Napas Raka sesak seketika. Bayangan wajah Thalia dan suara debuman tubuhnya menyentuh dasar lantai kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Ini salah. Ada yang salah dengan semuanya. Raka mundur beberapa langkah, bahkan ketika beberapa anak meneriakinya untuk membantu, Raka tetap diam. Ketika kerumuman semakin padat, Raka berlari menjauh. Ia tak peduli lagi dengan hari pertama masuk sekolah atau apapun. Ia hanya ingin pergi dari sana secepatnya, sebelum ia kembali menjadi pemurung yang merasa telah membunuh orang lain. Dan di sinilah ia sekarang. Duduk bersandar pada kursi taman yang ada di area belakang gedung sekolah. Di jam masuk seperti ini, area ini sangat sepi. Apalagi sejak keributan jatuhnya Zefan tadi, orang-orang pasti auto berkumpul ke tempat itu. Raka memegangi dadanya. Detak jantungnya tak kunjung normal, tetapi semakin cepat. Hal ini membuatnya lelah dan nyaris sesak napas. Raka memejamkan kelopak matanya, merasakan hembusan angin membelai pipi sembari berusaha menenangkan diri. "Hei, aku melihat yang tadi." Raka reflek terkejut. Ia bangkit berdiri, dan karena tidak begitu memperhatikan langkahnya, kakinya saling bertubrukan dan ia langsung jatuh. "Hahaha... Lucu sekali." Raka menopang badannya dengan kedua lengan. Di depannya seorang perempuan dengan perawakan agak pendek dan tubuh kurus memandangnya geli. "S-siapa?" "Hai, aku Chima. Salam kenal." Gadis yang memperkenalkan diri dengan nama Chima itu mendekati Raka dengan tangan terulur. "Jangan mendekat!" Seru Raka ketakutan. Chima berhenti, kemudian menurunkan tangannya. "Kau takut aku bernasib seperti anak yang tadi?" Jantung Raka berdetak semakin tak karuan. Gadis ini melihat semuanya. Raka tidak tahu apa yang akan terjadi jika sampai Chima melaporkannya. Ia pasti menjadi pihak bersalah meski Raka sama sekali tak punya niat mencelakai Zefan. "Hei, aku tahu semuanya. Tapi tenang saja, aku tidak akan mati." "Apa maksudmu?" Chima tertawa. "Yang tadi mungkin kebetulan. Kenapa kamu sangat khawatir?" "A-aku tidak." Chima menyeringai. "Hmmm? Benarkah? Lalu kenapa kamu langsung berlari ke sini? Ini hari pertamamu masuk 'kan?" "K-kau ini sebenarnya siapa sih?" "Chima." Raka berdiri, kemudian mendekati Chima. Tinggi Raka yang jauh di atas Chima membuat aura intimidasinya semakin kuat. Sayangnya, semua itu tak berpengaruh kepada Chima. "Mau apa?" tanya Chima santai. "Kamu pasti akan melaporkanku soal yang tadi 'kan?" Chima menggeleng. "Untuk apa? Bukan urusanku." "Lalu kenapa kamu mengatakan tahu semuanya?" Chima tertawa terbahak-bahak. "Tidak ada. Hanya iseng. Hahaha." Raka membatu. Gadis di depannya sangat aneh. Kalimat-kalimatnya tak terduga. Kening Raka berkerut samar, mengira-ngira bagaimana sifat gadis di depannya ini. "Chima... Ayo ke kelas." Chima dan Raka menoleh. Seorang anak laki-laki dengan rambut dan pakaian acak-acakan bersandar pada dinding tidak jauh dari posisi mereka berdua. "Oh? Sayang sekali, padahal aku baru dapat teman baru." Raka melongo, menunjuk dirinya sendiri. Memangnya sejak kapan mereka berteman? Pemuda acak-acakan itu mendekat. "Oh? Kau kan... " ia mendekatkan wajahnya di hadapan Raka, kemudian menyeringai. "Yang tidak sengaja membuat Zefan jatuh?" Raka membelalak. Bagaimana bisa orang ini juga tahu? O||O
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN