Orang Aneh

1262 Kata
"Mereka itu siapa sih?" Keluh Raka kebingungan. Ia menyelempangkan tasnya. Peluh yang sejak tadi menetes-netes di pelipisnya ia usap dengan asal. Dua kali. Ini kedua kalinya Raka melihat seseorang mengalami kecelakaan, yang dalam hal ini jatuh di depan matanya. Raka masih tidak tahu apakah nasib Zefan sama dengan Thalia. Raka berharap, Zefan hanya sekadar pingsan dan tak sampai meninggal. Raka mengusap dadanya, menghela napas sebentar kemudian melangkah menuju kelas. Akibat keributan karena jatuhnya Zefan, tidak terlalu ada yang menyadari bahwa Raka berkeliaran di jam masuk kelas. Masih ada banyak orang yang berlalu-lalang di sekitar lokasi. Sepertinya, memang hari ini tidak akan ada jam belajar sebagaimana mestinya. "Hei, tau tidak, katanya anak yang jatuh tadi lehernya patah." "Hah? Beneran? Terus gimana keadaannya?" "Dia meninggal seketika karena posisi jatuhnya." "Kasihan sekali." Raka berhenti. Dua anak perempuan yang bersandar di dekat tangga mengatakan apa yang tidak mau ia dengar. "H-hei, permisi. Kalian tahu kabar anak yang jatuh tadi ya?" Dua anak perempuan itu menoleh. "Oh? Hai. Iya, tadi kami ada di sana sih pas guru-guru mengevakuasi jasadnya." "Jasad?" "Ya. Dia meninggal." "Beneran?" "Lehernya patah. Saat dibawa tadi, guru-guru sudah yakin kalau anak itu tewas, tapi karena masih berusaha berpikiran positif, mereka segera membawanya ke rumah sakit, dan memang benar kalau dia meninggal seketika saat jatuh tadi." Raka meremat celana abu-abunya, memaksakan senyum kepada dua gadis yang telah memberinya informasi. "Terima kasih ya. Sampai nanti." Raka memejamkan matanya. "Bagaimana bisa ini terjadi?" Keluhnya pelan. "Raka? Kamu Raka Hanenda 'kan?" Raka terlonjak kaget. Ia berbalik saat seorang anak laki-laki berkacamata tersenyum sopan kepadanya. "Siapa?" "Perkenalkan, aku Rayhan, ketua kelas 12-A. Wali kelas kita bu Anisa sudah memberitahukan tentangmu, dan karena insiden tadi pagi beliau tidak bisa memperkenalkanmu secara resmi di kelas, untuk itulah beliau menitipkanmu padaku. Semoga kamu tidak keberatan." Raka mengangguk. "Tidak masalah." "Kalau begitu, ayo ku antar ke kelas. Tidak perlu canggung, anggap saja seperti di sekolah lamamu." Mana bisa!!!!! Batin Raka kesal. Pagi ini niat di hatinya untuk memulai sisa masa sekolahnya dengan tenang langsung kandas karena insiden meninggalnya salah satu murid di depan matanya. Mana bisa Raka bersikap biasa saja setelah kejadian itu. Dan di sinilah Raka sekarang, memulai perkenalannya tanpa wali kelas dan hanya didampingi oleh ketua kelas yang telah diberi tanggung jawab untuk membantunya berbaur. Meski Raka sebenarnya tidak butuh untuk ditemani, Rayhan sepertinya jenis orang yang akan melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya dengan baik. "Ray, kamu nggak perlu ngekorin aku kemana-mana. Aku cuma mau lihat-lihat sekolah ini, nggak akan ngelakuin hal-hal buruk." Raka mendesah frustrasi. Sejak selesai perkenalan dan meletakkan tasnya ke bangku yang tersedia, anak-anak lain sudah tak terlalu mempedulikan kehadiran Raka karena ia sendiri juga tidak begitu ingin beramah-tamah dengan mereka. Ia hanya ingin mengelilingi sekolah ini, dan Rayhan dengan sukarela terus saja mengekorinya. Rayhan tersenyum hingga matanya menyipit. "Tidak perlu sungkan, aku akan menemanimu berkeliling." "Aku pengen jalan-jalan sendiri, Ray." "Ada kasus kematian pagi tadi, menjadi pemandumu adalah tanggung jawab yang diberikan padaku. Juga, bisa berbahaya untukmu kalau kamu sembarangan melakukan sesuatu. Kamu anak baru 'kan, bisa jadi kamu dicurigai." Raka mengerutkan kening. "Kenapa? Bukankah terlalu gegabah mencurigai anak baru? Lagipula aku juga tidak melakukan apa-apa." "Benar. Ini hanya kemungkinan saja. Kecuali kalau kamu nggak ada di tempat kejadian pagi tadi, maka jelas kamu bersih dari semua kecurigaan." Obrolan ini sedikit menarik, Raka berhenti melangkah dan menyandarkan badannya pada dinding di sebelahnya. "Ray, apa ini pertama kalinya?" "Hm?" "Kecelakaan seperti yang terjadi pagi tadi. Apa sebelumnya tidak pernah ada kejadian semacam ini?" Rayhan membenarkan posisi kacamatanya. "Tiga tahun lalu hal seperti ini pernah terjadi. Ada kakak kelas yang bunuh diri dari atap gedung ini. Setelah kasus itu, tidak pernah lagi ada hal-hal semacam ini. Lagipula, yang terjadi pagi tadi adalah kecelakaan. Kurasa tidak ada hubungannya dengan kematian tiga tahun lalu dan juga jaraknya begitu jauh jika ingin dikaitkan." Raka mengangguk paham. "Memangnya kenapa?" "Ah, nggak papa kok, hanya penasaran saja. Kau tahu, hari pertama masuk sekolah dan langsung melihat kejadian seperti itu agak mengangguku." Rayhan tersenyum, ia menepuk bahu Raka pelan. "Tidak perlu khawatir.  Selama kamu belum menemukan teman yang cocok denganmu, aku akan menjadi temanmu. Tanyakan apapun yang kau ingin tahu tentang sekolah ini. Aku akan menjawabnya sebisaku." "Anak yang jatuh tadi, siapa namanya?" Tanya Raka pura-pura tidak tahu. Sejujurnya ia sudah tahu namanya karena anak itu yang hendak mengajaknya berkenalan di tangga tadi. Rayhan melirik Raka sekilas. "Zefan. Dia cukup berandalan dan susah diatur. Hobi melakukan keributan dan sangat bodoh." "Sepertinya kamu nggak suka sama Zefan itu?" "Ya." Raka membelalak tak percaya. Sejujurnya, ini pertama kalinya Raka bertemu seseorang yang begitu santai mengatakan ketidaksukaannya. "Kenapa? Kalian saling kenal sebelumnya?" Rayhan menatap Raka tajam. "Aku memang bilang akan menjawab pertanyaanmu, tapi tidak dengan pertanyaan yang mengulik hidupku." "Ah? Hahaha... Maaf maaf. Aku hanya penasaran soal Zefan itu kok." Raka memaksakan tawanya. "Dan lagi, kamu menampakkan aura permusuhan yang jelas ketika mengatakan soal Zefan, wajar bukan kalau aku penasaran. Yah, lupakan saja kalau memang kamu keberatan." Rayhan maju, mendekatkan bibirnya pada telinga kiri Raka. "Kuberi tahu satu aturan penting, jangan mencari tahu apapun yang bukan ranahmu mencari tahu, bisa jadi itu akan membahayakanmu sendiri." Rayhan kembali tersenyum cerah. "Kalau begitu, aku akan kembali. Kurasa kamu butuh waktu sendirian." Raka menatap punggung Rayhan yang semakin menjauh. Lagi-lagi, ada orang yang bersikap aneh. Memang tak seaneh dua orang sebelumnya, tapi Rayhan tampak berbeda dan bagaimana menjelaskannya ya? Dia seperti menutupi sesuatu? Raka mengusap rambutnya pelan. "Bukan hakku juga sih ikut campur masalah dia. Kalau pun dia ada dendam sama Zefan, itu juga urusan mereka. Tapi kenapa aneh sih ngeliat Rayhan bersikap seperti itu." Gumam Raka kepada dirinya sendiri. Raka tidak pernah menyesal pindah ke sekolah ini, meski di awal masuk sekolahnya langsung ada kasus kematian kawannya sendiri. Zefan tampak menyenangkan meski penampilannya terkesan urakan. Sayang sekali dia harus tewas bahkan sebelum Raka mengenalnya. "Haaaah...  Balik ke kelas aj—“ "HAI!" "Aaaaaaaargh!" Raka mundur beberapa langkah yang seketika itu membuatnya jatuh. Ia bahkan tak peduli teriakannya sangat tidak macho sekali. "K-kalian?" "Hai! Apa kabar?" Raka spontan berdiri. "Kenapa kalian disini? Chima?" Chima tertawa. Ia mendekati Raka dan memegang telapak tangannya. "Sekolah. ‘Kan aku sudah bilang kalau aku di sini juga." "Y-ya! Maksudku kenapa kamu ada di tempat ini?" Chima terkikik geli. "Kasihan, kamu sendirian makanya Chima mau menemanimu." "Aku nggak sendirian. Rayhan baru aja pergi karena aku yang suruh." Kening Chima berkerut. "Rayhan?" "Ketua kelasku. Dari tadi dia yang nemenin aku jalan-jalan di area sekolah." "Kamu berteman sama dia?" Raka mengangkat bahu. "Bukan urusanmu. Lagipula, kenapa kalian berdua selalu muncul tiba-tiba sih? Mirip setan tahu!" Chima tertawa lagi. Raka tidak mengerti kenapa gadis mungil itu suka sekali tertawa. Suaranya yang cenderung cempreng dan perawakannya yang kecil membuatnya tampak lebih muda daripada aslinya. "Chima... Udah jangan ganggu dia." "Geovan nggak seru!" "Geovan?" Chima menatap Raka. "Aaah... Benar juga ya. Geovan belum memberitahukan namanya tadi, soalnya Geovan nggak suka kenalan formal sih." Raka memalingkan wajahnya. "Memangnya siapa juga yang mau kenalan dengan kalian." "Uuuh... Raka dingin banget sih." "Diam!" "Raka, memangnya kamu dekat sama Rayhan ya? Menurutmu dia seperti apa? Baik?" Raka menghela napas. "Pertama, aku baru sampai di sekolah ini pagi ini. Kedua, Rayhan itu ketua kelasku, sudah sewajarnya dia bersikap baik kepada anggota baru di kelasnya, dan tidak! Kami nggak berteman baik. Aku juga nggak minta berteman sama orang aneh macam kalian-kalian ini." "Rayhan aneh?" "Kurasa kalian pasti lebih tahu daripada aku. Ngomong-ngomong, kalian ini dari kelas mana sih?" Chima mengulas senyum jenaka. Ia mengapit lengan Geovan dan berbalik pergi. "Dadah! Raka." Raka menatap kepergian Chima dan Geovan dalam diam. Kenapa mereka buru-buru pergi? Dasar, orang-orang aneh. O||O
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN