Atmosfer

1239 Kata
"Kenapa semua orang bersikap aneh?" Raka mengusap kepalanya. Chima, Geovan, dan Rayhan adalah segelintir orang yang baru ditemuinya di sekolah baru. Tiga orang itu memiliki sikap yang berbeda, tapi tetap saja Raka merasa ada hawa aneh ketika bersama mereka. Rayhan, meski ia selalu bersikap normal dan sopan, Raka malah merasa kurang nyaman. Apa yang dia lakukan seperti telah disetir orang lain. Ibaratnya, Rayhan adalah boneka yang dikendalikan dari jauh. Senyumnya tampak sama dalam segala kondisi, bahkan ketika ia mengatakan pendapatnya soal Zefan. Seolah tidak ada empati sama sekali darinya. Lagi, helaan napas keluar dari kedua belah bibir Raka. Harus ia akui, kesan pertamanya masuk ke dalam sekolah ini cukup aneh. Raka tak punya pilihan selain kembali ke kelasnya. Meskipun hari ini jelas tak akan ada kegiatan belajar mengajar sebagaimana mestinya, Raka sama sekali belum mengenal lingkungan sekolah ini. Tiba-tiba dia jadi menyesal mengusir Rayhan dan bilang lebih suka jalan sendirian. Mungkin dengan memanfaatkan ketua kelasnya itu, dia bisa lebih banyak mendapat informasi tentang sekolah barunya ini. Kematian Zefan, dan kasus bunuh diri kakak kelas Rayhan. Seharusnya ada sesuatu yang berhubungan meski ia sendiri tak begitu yakin. Raka sudah tahun ketiga, yang dengan kata lain kasus kematian itu melibatkan orang-orang yang sudah tak ada lagi di sekolah ini. Kalau pun Raka ingin tahu, pasti tampak aneh karena tidak ada hubungan dengannya yang anak baru. "Tiba-tiba aku rindu dengan image supelku yang dulu. Kenapa juga aku berlaga sok dingin begini, benar-benar bukan diriku saja. Sial." Gumam Raka pelan. Ketika Raka melangkah masuk ke kelasnya, teman-teman barunya langsung mengerubungi dia bak seorang aktor papan atas yang diserbu penggemar. Mereka memperkenalkan diri masing-masing. Raka bukannya tidak suka, tapi mereka semua tampak seperti Rayhan. "Raka dulu sekolah di mana?" "Ada alasan apa kok Raka pindah pas udah pertengahan semester tahun ketiga? Bukannya tanggung ya?" "Raka udah punya pacar atau belum sih?" Raka hanya tertawa. Diserbu dengan pertanyaan oleh orang-orang baru cukup mengagetkan. Raka terbiasa dengan keramaian, tentu saja. Tapi bersama orang baru dan dia yang jadi pusat perhatian tidak begitu nyaman. Rayhan kembali mendekat. Senyum formalnya telah kembali."Gimana? Udah keliling sekolah 'kan?" "Hm... Ya." Rayhan meletakkan secarik kertas folio dengan beberapa tulisan di sana. "Ini jadwal pelajaran kelas ini. Hari ini sepertinya nggak akan ada pelajan, jadi kamu santai aja." Raka mengangguk. "Thanks." Ia menyelipkan jadwal pelajaran itu ke salah satu buku tulisnya. "Ray? Bisa temani aku ke perpustakaan?" Rayhan membenarkan kacamatanya. "Tidak masalah, ayo." Raka tidak punya pilihan lain selain membawa Rayhan untuk menemaninya. Meski sifat Rayhan jelas bukan jenis yang cukup nyaman untuk bicara, setidaknya dia lumayan nyambung saat diberi pertanyaan. Mungkin karena dia ketua kelas dan sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga tidak sulit baginya untuk menjawab apa yang Raka tanyakan. "Kamu udah tahu perpustakaannya 'kan?" Raka menggeleng. "Tadi aku cuma keliling dekat sini aja. Canggung juga dilihatin sama anak-anak lain. Mungkin karena aku tampak asing." Rayhan terkekeh. "Itulah mengapa aku menawarkan untuk menemanimu keliling. Kurasa kamu jenis orang yang cukup kaku." "Yah... Mungkin." Masa sih? Raka membatin sangsi. Memang Raka sedikit menutupi sifat aslinya. Dia cukup ceria dan supel, lasak dan berantakan, jenis orang yang mungkin sebelas dua belas dengan Zefan, dan jenis orang yang kemungkinan besar tidak disukai Rayhan andai pemuda berkacamata itu tahu yang sebenarnya. Tapi mungkin karena Raka sejak awal berusaha membatasi dirinya hingga ia tampak sebagai pribadi yang kaku. Berhubung Raka belum mengenal orang-orang disini, ia terpaksa bertahan dengan image palsu yang ia pasang demi bisa mendapatkan informasi lebih lanjut dari Rayhan. Sial, seandainya saja tidak ada peristiwa kematian di hari pertamanya masuk ke sekolah baru, Raka tidak perlu bersikap super hati-hati begini. "Perpustakaan ada di lantai tiga. Sebenarnya di lantai dasar juga ada, cuma untuk kelengkapan buku-bukunya, lantai tiga lebih mumpuni. Di lantai dasar sebagian besar hanya diisi oleh buku-buku pelajaran dan pengetahuan umum, buku hiburan semacam novel atau komik tidak ada di bawah." "Sekolah ini juga menyediakan komik?" Rayhan mengangguk. "Karena itulah diletakkan di lantai tiga." "Beruntung dong yang kelasnya di lantai tiga." "Perpustakaan tempatnya terpencil, dekat gudang penyimpanan dan cukup gelap meski siang hari. Sebagian besar anak di sini terlanjur malas duluan sebelum benar-benar ke sana." Kening Raka mengerut. "Kenapa?" Rayhan mengangkat bahu. "Takut, mungkin saja." "Kenapa?" Rayhan melirik Raka sekilas, yang seketika disadari oleh Raka tatapan itu mirip dengan yang sebelumnya ketika Rayhan menceritakan pandangannya soal Zefan dan kejujurannya atas ketidaksukaan dia kepada Zefan. "Ngomong-ngomong, untuk apa kamu ke perpustakaan? Anak baru biasanya bertanya di mana kantin." "Iseng, dan aku lebih tertarik saat kamu bilang mereka juga menyediakan komik." "Yah... Asal kamu tidak ribut saja. Penjaga perpustakaan lantai tiga cukup menyeramkan. Bertampang preman dengan tubuh besar." "Jadi karena itu anak-anak lain malas ke perpustakaan lantai tiga?" "Mungkin." "Ray, soal kakak kelas yang katamu bunuh diri itu, karena apa ya?" Rayhan mendadak berhenti, keningnya mengerut. Senyum formal yang selalu ia pasang luntur seketika. "Kenapa kamu ingin tahu?" "Well, emangnya dilarang? Bukannya kasusnya udah lama 'kan? Nggak masalah dong kalau aku ingin tahu?" Rayhan menghela napas. "Aneh. Anak baru biasanya nggak akan kepo soal kasus itu, tapi sejak aku mengatakan kasus itu, kamu terus saja mencari tahu. Ada apa?" Raka mendengus. "Kalau kamu nggak mau ngasih tahu juga nggak masalah, Ray. Nggak perlu melihatku dengan pandangan seolah aku baru saja melakukan tindakan kriminal." Senyum formal Raka kembali. Ia membenarkan kacamatanya. "Oke, ayo lanjut ke perpustakaan." Raka mengekor di belakang Rayhan. Ia menggigit bibirnya kesal. Susah sekali mencari informasi soal bunuh diri itu. Andai saja ia tidak melihat Zefan jatuh dan mematahkan lehernya tadi pagi, Raka tidak akan mau repot-repot mengurusi kasus yang tidak ada hubungannya dengan dia. Raka tidak bisa lari lagi. Kali ini, Raka yakin cuma kebetulan, meski terlalu aneh jika dibilang kebetulan. Jika Raka mau meyakinkan dirinya bahwa ia tidak berhubungan apapun dengan kematian tadi pagi, maka ia harus tahu kasus bunuh diri kakak kelas Rayhan beserta penyebabnya. "-Ka... Raka... RAKA!" "Hah iya apa?" Raka berkedip bingung. Rayhan mendekat, kedua alisnya bertaut. "Kamu kenapa?" Raka menggeleng ringan. "Nggak kenapa-kenapa." "Masih penasaran soal kakak kelasku yang mati bunuh diri itu?" "Bukan urusanmu." "Ka, jangan bertingkah macam-macam." "Lah? Aku nggak ngapa-ngapain 'kan?" Rayhan meremas kedua bahu Raka, menatapnya tajam. "Apapun yang terjadi, jangan cari tahu apapun yang berhubungan sama kematian kakak kelasku itu. Lebih baik kamu nikmatin aja sisa semester di sekolah ini." Raka menepis telapak tangan Rayhan di bahunya. "Apapun yang kulakukan, bukan urusanmu, Ray. Jadi nggak usah ngatur-ngatur apa yang mau aku lakuin, okay! Udah ah yuk lanjut ke perpustakaannya. Di ujung lorong ini 'kan?" Keduanya berjalan dalam diam. Rayhan yang sebelumnya sangat talkative mendadak diam dan hanya mengikuti Raka. Raka menyeringai. Ia tidak terlalu suka dengan senyum formal Rayhan, dan kelakuannya yang terlalu kaku. Ya, tentu saja Raka tidak bermaksud mengkritisi kepribadian orang. Satu-satunya yang membuat ia cukup tidak betah hanyalah perintah-perintah Rayhan supaya ia tidak mencari tahu soal kematian kakak kelasnya itu. Jadinya seperti ada sesuatu yang disembunyikan dan Raka semakin penasaran untuk tahu. "Ray, kamu balik aja ke kelas, nggak apa-apa kok. Aku bisa masuk sendiri." "Kenapa?" Raka menaikkan sebelah alisnya. "Ya bukannya kamu ada urusan lain? Kamu ketua kelas 'kan?" "Kamu yakin masuk sendirian?" Raka mengangguk mantap. "Nggak perlu khawatir, aku cuma mau baca komik atau novel di sini. Berhubung aku belum kenal semua sama anak-anak sekelas, jadi aku males di dalam kelas." "Oke. Tapi ingat jangan macam-macam." Raka menghembuskan napas kesal. "Iya iya... Pergi sana." Raka menyeringai sepeninghal Rayhan. "Jangan kira aku bakalan nurut sama kamu. Mencari informasi nggak harus dari kamu." gumamnya pelan. O||O
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN