1. Family Together

1076 Kata
(New York, Christmas Eve. 2005) Raphael Suarez sedang bertopang dagu di atas gelas eggnog-nya yang masih mengepul. Ia duduk depan meja makan ketika Bernardo dan kedua adik angkatnya Gabriella dan Juan sekarang sedang sibuk menyiapkan makan malam Natal. “Jangan memasang merengut di malam Natal.” Gabriella sambil mendorong piring kosong di hadapannya. Raphael hanya menanggapi dengan sebuah helaian napas panjang. “Hermano, kau akan menyia-nyiakan spirit Natal.” Juan sekarang menyorongkan gelas wine. Raphael akhirnya mengangkat wajahnya. Memandangi ketiganya yang sekarang tengah mengawasi kalkun yang tengah di panggang sambil berbisik-bisik seru. Raphael memandangi bagian kepala Gabriella. Gadis Alvaro kecil berusia dua belas tahun yang ia selamatkan dari seorang wanita escort yang kabur dengan seorang pemadat dan meninggalkan putrinya sendirian. Gabriella sedang memakan serpihan keripik di dalam apartemennya ketika ia dan Bernardo datang dengan tujuan menagih utang dengan pacar ibunya itu. Sedangkan ia menemukan Juan Santoro dalam keadaan yang nyaris serupa. Namun Juan memiliki bekas luka dan memar disetiap jengkal tubuhnya. Raphael nyaris lepas kendali ketika menemukan bocah dua belas tahun itu meringkuk babak-belur. Menjauh dari kedua orangtuanya yang teler akibat obat-obatan dan minuman keras. Raphael menemukan Gabriella dua bulan sebelum ia menemukan Juan. Melihat keadaan Juan seperti itu membuat Raphael ingin memeriksa Gabriella juga. Karena butuh waktu lama Gabriella untuk tidak berjengit setiap kali seorang pria dewasa mendekatinya. Termasuk dirinya. Bernardo-lah yang membuatnya tidak berusaha mengejar ibu Gabriella dan pacarnya hingga ke manapun itu untuk memberinya pelajaran. “Kita akan tetap mengejar mereka untuk menagih utang, Senor. Tapi setelah itu tidak akan ada darah.” Bernardo memperingatkannya dengan penuh penekanan. Lalu tidak berapa lama kemudian ia bertemu dengan Andrew Kwon. Mengingat nama bocah itu lagi membuat Raphael menghela napas. “Apa yang dilakukan Andrew malam ini, ya?” tanyanya tidak pada siapa-siapa. Namun ia tahu Bernardo akan berekasi dengan kalimat itu. Karena pria itu sekarng cepat-cepat mengambil mangkuk dan menyendok mashed potato banyak-banyak. “Siapa Andrew?” Juan mendongak untuk memandang bergantian dua pria dewasa itu. Dan sekarang Raphael duduk tegak. “Kau tahu sesuatu, Bernardo. Beritahu aku.” Puncak kepala Bernardo berkilau diterpa lampu tergantung rendah di dapur rumah Raphael. Pria yang sebenarnya dua kali lebih besar dari Raphael itu sekarang berdeham-deham. Pandangannya tertuju ke tempat lain ketika ia berkata, “Anak itu... mendapatkan perlakuan tidak baik dari paman dan bibinya.” Tangan Raphael mengepal di dekat gelas eggnog-nya. “Dan kau memintaku untuk tidak mengambilnya hari itu.” “Karena ia punya wali. Kau tidak bisa sembarangan mengambilnya.” Raphael tahu kalau Bernardo benar, tapi ia menolak menerimanya. “Kau sendiri yang bilang kalau paman dan bibinya melakukan kekerasan?!” “Tapi tetap saja...” Tapi Raphel sudah berdiri. Bernardo melempar kain di tangannya ke dalam pelukan Juan dan berusaha mengejar. Raphael telah menyambar jaketnya yang tergantung di belakang pintu depan, begitu juga kunci mobil. Dan begitu ia membuka pintu seseorang telah berada di baliknya. Menggigil kedinginan dengan sebuah tas ransel dan jaket yang sangat tipis dengan rambut peuh dengan serpihan salju dan mata sembab. Rapahel langsung menarik bocah itu masuk dan membanting pintu menutup di belakang mereka. Sang bocah itu menabraknya, memeluknya erat di pinggang. Raphael melepasan diri. Dengan segera bersimpuh agar bisa melihat wajah bocah itu. Begitu ia menyadari memar yang ada di wajah bocah itu. Raphael merasakan murka luar biasa. Ia menarik lepas tas ransel dan membuka paksa jaket yang bocah itu pakai. Terlihat lebam dibalik di lengan dan tulang selangka pada tubuh mungil dan ringkih itu. “Kumohon, Senor. Bolehkan aku tinggal bersamamu sekarang?” Raphael merasakan sakit di pangkal tenggorokannya membuatnya berdeham. “Tentu saja. Ayo, kuantar kau ke kamarmu.” “Hijo?” Raphael langsung berdiri. Bernardo memberi jalan kepada Uriel Suarez yang sekarang menatapnya dengan dahi mengerut dalam, namun dengan ekspresi yang tidak terbaca. Pria berumur itu terlihat berbalut jubah rajut tebal dan kantung mata yang sangat dalam. “Bernardo, tolong keringkan dia. Aku akan bicara dengan Papa sebentar.” Bernardo yang kedua tangannya mencengkeram masing-masing bahu Gabriella dan Juan itu mengangguk. Pria itu maju untuk menarik Andrew bersamanya. Raphael mengawasi Bernardo menggiring ketiga adiknya ke dalam rumah. “Jadi itukah bocah yang membuatmu murung akhir-akhir ini?” Uriel dengan senyum tipis. “Papa tidak seharusnya keluar kamar.” Raphael memungut jaketnya dan jaket bocah itu dan menggantungnya. “Si, tapi aku juga ingin makan hidangan Natal yang kalian siapkan.” Uriel merapatkan jubahnya. “Dan ia terlihat buruk sekali. Bocah itu.” “Si.” Raphael llau mengulurkan lengannya dan papanya itu menyelipkan tangan di sana. Sama-sama mereka ke dapur. Raphael menundukkan papanya di kepala meja. Tempatnya duduk tadi. “Jadi apa dia akan di sini tinggal bersama kita?” Raphael menoleh dan mendapati Uriel menaikkan alisnya tinggi sekali. “Karena aku yakin ia tidak punya tujuan lain lagi.” Papa Raphael itu tampak sangat pucat di bawah sinar lampu. Jadi Raphael merapikan jubah di bahu ayahnya. Setelah itu ia menyelesaikan menata meja makan dengan sangat cepat. “Aku tidak pernah menyangka anak berusia tujuh tahun yang ketemui hari itu sekarang melakukan hal yang sama denganku dulu.” Raphael menggigit bagian dalam bibirnya. Mengingatkan dirinya untuk tidak mengatakan komentar yang lewat di dalam kepalanya. Seperti kebiasaannya untuk berkomentar di waktu yang salah. Karena sekarang ia belajar untuk lebih serius. Atau ia berharap memang begitu. “Apa ini karena aku membesarkanmu sebagai anak tunggal?” Raphael menoleh ke arah papanya dengan sneyum bermain-main disudut bibirnya. “Aku tahu kau berusaha keras untuk tidak mengatakan hal yang ada di dalam kepalamu sekarang.” Raphael menatap Uriel sekarang dengan ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Lalu memeluk papanya erat setelah melompat-lompat. “Papa, sulit sekali! Bernardo terus aja menyuruhku untuk menjaga sikap! Aku menjaga sikap! Aku selalu menjaga sikap! Papa tahu itu!” Uriel terkekeh. Mengelus-ngelus punggung Raphael. “Ey Dios, Raphael. Kau masih saja tidak berubah.” Akibat itu Raphael mengeratkan pelukannya. Uriel mulai sakit sejak setahun yang lalu. Tidak berapa lama setelah ia bertemu dengan Andrew pertama kali hari itu. Dengan Bernardo mendampinginya, Raphael perlahan mengambil alih seluruh kerajaan Kartel Suarez. Agar papanya tidak lagi harus terlibat dalam urusan pekerjaan dan hanya fokus dengan kesembuhannya. “Si, aku tahu. Tapi tidak semua orang bisa sepertiku dan Bernardo.” Uriel tersenyum. Dengan lembut melepaskan diri dari pelukan Raphael. Ia menepuk pipi putranya dengan telapak tangannya yang kasar. Bibir Raphael mencebik. “Ayolah, kau dua puluh satu tahun ini. Dan pria berusia segitu tidak cemberut di depan ayahnya.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN