2. Secret Revealed

690 Kata
(New York, Mid Summer. 2012) Raphael Suarez sedikit lebih tua sekarang tengah menatap keluar jendela ruang rawat inap VIP-nya entah sudah berapa lama. Sesekali ia menarik napas panjang. Membuat satu-satunya orang yang menungguinya di sana berdeham keras. “Berhenti melakukannya. Itu tidak akan merubah apapun.” Raphael menoleh ke arah asal suara. Ia mendapati Gabriella Alvaro sedang mengupas apel dengan pisau yang sama sekali tidak terlihat seperti pisau yang berasal dari rumah sakit. Gadis itu menyampirkan rambutnya di salah satu bahu dengan tanktop berwarna merah tanah dan celana pendek. Jika Raphael punya kekuatan ia mungkin sudah menggulung adiknya itu dengan selimut yang ia pakai ini. Itu akan menjadi pergulatan yang seru. Karena Gabriella tidak meyukai memakai sesuatu yang menyedihkan ber. Dan selimut rumah sakit memang terlihat menyedihkan. “Jadi kau sudah tahu dan kau tidak memberitahuku?” Gabriella mengedikkan bahu. “Itu urusannya.” Raphael memutar matanya lalu kembali memandang ke luar jendela. “Dan ia tidak datang menjengukku...” Senor Suarez muda tidak menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba pintu kamar rawat inapnya. Saat itu juga wajah Raphael menjadi bersinar, secepat itu juga eksresinya berubah menjadi marah. Andrew Kwon. Pemuda itu sekarang menutup pintu di belakangnya perlahan. Menatap kedua penghuni kamar itu bergantian. Gabriella hanya meliriknya sekilas sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya. “Lama sekali.” Raphael menyipitkan mata “Sehari.” “Itu lama!” “Hermano, kumohon.” Andrew melirik ke arah saudari angkatnya yang masih menunduk dengan apelnya. “Gab, apa yang sebenarnya terjadi?” Raphael menyambar dengan, “Oh, itu Itu seperti bagian prolog dari semua cerita. Setelah mendengarkan sebuah cerita yang mengejutkannya. Si pemeran utama berlari di bawah derai hujan tidak tentu arah dan tiba-tiba seorang pengendara mobil menabraknya...” Andrew menggeleng. Masih ke arah Gabriella. “Cerita yang sebenarnya.” “Maaf mengecewakanmu. Tapi itulah yang terjadi.” Gabriella bangkit, membuang kulit apel ke tempat sampah dan kembali duduk untuk memakan apelnya. Raphael mendelik ke arah gadis itu namun sekali ia tidak diindahkan. Andrew mengacak-acak rambutnya sekarang. “Apa aku boleh tahu alasan kenapa kau melakukannya?” “Setelah ia mengacak-acak kamarmu. Aku yakin kau tahu alasan kenapa ia melakukannya.” Gabriella lalu disusuk dengan suara ia menggigit potongan apel. Tidak ada percakapan. Hanya suara Gabriella yang menggigit apel karena sekarang Rapahel menolak menatap Andrew yang mendekat ke arah ranjangnya. Sebelah kaki Raphael tergantung dan terbalut bebat yang sangat rapat. “Untung kecelakaannya tidak melukai sedikitpun wajahnya. Kalau tidak ia mungkin tidak akan setenang ini.” Gabriella lagi ketika Andrew memilih untuk memutari ranjang agar ia bisa saling menatap Raphael. “Tapi bukan berarti tidak melukaiku hatiku.” Raphael mengembungkan pipinya dan akhirnya mau menatap Andrew. “Salahku. Aku seharusnya memberitahumu sebelum aku mendapatkan beasiswa itu.” Raphael memutar matanya sekali lagi. “Untuk apa kau memilih jurusan itu?” Andrew menutup mulutnya lagi. Karena Raphael sudah memakai nada bicaranya ketika ia dan kedua saudara angkatnya yang lain berada di ruang latihan. Ketika mereka memegang dan melihat keraguan di mata mereka... “Untuk melakukan hal yang baik. Untuk membantu lebih banyak orang. Secara legal.” Andrew nyaris memelas dan dengan sengaja menekan keras kalimat terakhirnya itu. “Kau tahu dia adalah anak yang lembek. Juan pasti senang sekali mendengar ini.” Gabriella dan diikuti suara apel yang digigit lagi. “Diam, Gab.” Itu Raphael yang langsung membuat Andrew berdiri tegak dan tentu saja itu membuat Gabriella menaruh piring apelnya kembali ke atas meja kopi dan duduk tegak. “Bukan untuk menusukku dari belakang, kan? Bukan untuk pergi selamanya dariku?” Mata biru Andrew mengerjap. Karena Raphael sekarang memberinya pandangan mata anak anjing. “Aku... ingin melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Dan ini memang terdengar seperti sebuah alasan yang mengada-ada. Tapi kau sudah cukup banyak membantuku. Aku tidak ingin berutang terlalu banyak.” Mereka saling tatap. Sudah jelas menunggu siapa yang lebih dulu menyerah. Dan Andrew tahu Raphael selalu kalah darinya. “Baiklah!” Raphael memencak, namun ia langusng meringis karena kakinya yang terluka. “Tapi bukan berarti aku tidak membawamu kembali lagi bersamaku.” Hening sejenak sebelum Gabriella-lah yang menyela, “Eyuh, apa aku harus mendengar semua ini sekarang?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN