(New York – Spring. Sekarang)
Raphael Suarez menggumam sebuah lagu sambil dengan mata tertutup, namun dengan satu bbirnya terangkat. Ia tengah berbaring dengan berbantalkan satu lengan di atas sofa dalam salah satu ruang VIP klubnya. Kaki sehatnya di lantai bergerak mengikuti irama lagu berbahasa Spanyol yang ia gumamkan dan kaki yang masih berada di ats sofa. Lampu ruangan itu ia biarkan mati.
Ia baru saja menggumamkan lagu lain ketika pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Raphael bahkan tidak berjengit terkejut karenanya. Senyumnya malah makin melebar walau matanya masih menutup dan ia malah menyanyikan lagu tersebut lebih keras sekarang.
“Sampai kapan kau akan di sana itu?” Itu suara wanita yang sudah pasti adalah Gabriella. “Dan jangan pura-pura. Tidak ada orang yang menyeringai ketika tertidur.”
Karena tidak ada wanita yang lain di sini yang berani meneriakinya selain wanita itu. Walau banyak lebih cantik darinya. Para wanita yang ia sebut Perdon Angel…
Dan kalian tahu sekarang betapa kompleksnya pikiran pria ini sekarang?
“Sangat tenang di sini, kau tahu? Sampai-sampai aku bisa mendengar otakku berdengung dengan ide-ide cemerlang yang tidak akan mungkin kudengar kalau aku berada di dekatmu.” Raphel menjelaskan dengan mengikuti nada lagu terakhir yang ia nyanyikan.
Ia mendengar sayup-sayup Gabriella menyumpah dalam Bahasa Spanyol. “Kalau begitu pindah ke tempat lain. Ruangan ini satu-satunya yang belum dibersihkan dan kau menakuti banyak orang.”
“Suasana hatiku sedang baik. Aku tidak akan menakuti siapapun hari ini,” jelas pria itu sambil menarik dirinya bangun, berpura-pura menguap dan menggeliat ke kiri dan kanan.
Bias cahaya dari balk tubuh Gabriella menunjukkan meja di hadapan yang penuh dengan gelas dan botol minuman kosong, kulit-kulit kacang dan jeruk mandarin yang berserakan.
“Kita tidak pernah menyajikan jeruk di sini.” Gabrilla terdengar bingung.
“Oh, aku sendiri yang bawa. Salah satu petinggi kartel menyukainya, kau tahu.” Raphael memungut tongkat jalan mengilat berkepala beruang menyeringai dari lantai untuk membantunya berdiri. Sekuat tenaga menahan erangan agar tidak sampai terdengar wanita itu. Menampakkan dirinya yang memanggil segar-bugar.
Ketika ia melewati Gabriella di ambang pintu dengan langkah terseret. Ia menyadari betul wanita itu langsung mengendusnya. “Kau tidak minum semalam, kan?” Gabriella mengendusnya lagi. Wajahnya mengernyit dalam. “Kau hanya berbau… jeruk.”
“Well, memang tidak. Aku harus yang tetap sadar ketika mereka sudah terlalu mabuk untuk memutuskan sesuatu.”
“Kau tahu, kan kau tidak akan pernah bisa minum lagi?”
Raphael meringis. “Harus, ya masih pagi-pagi seperti ini kau sudah menyebalkan?”
Pengiriman paket khusus mereka tersendat di perbatasan akibat pembangunan tembok pemisah yang telah dibangun oleh presiden tersebut. Akibatnya mereka rugi sebanyak nyaris ratusan ribu dollar. Para petinggi kartel yang gelisah itu akhirnya menghadap pada Raphael. Dan seperti biasanya ia mampu meredam kegelisahan mereka dengan janji-janji manis yang diikuti dengan jajaran wanita cantik dan minuman yang tidak ada habisnya.
Suara ketuk tongkatnya di lantai menggema di setiap sudut klub sepi. Raphael selalu merasa berada di dunia lain ketika ia berada di sini ketika pagi hari. Tidak ada suara ingar-bingar, aroma parfum yang berbeda dan menyengat dari segala arah, tubuh-tubuh berimpitan dan saling gesek, lampu-lampu warna-warni, dan seruan-seruan mabuk…
Raphael membawa dirinya ke konter. Ada tiga pria yang bertugas sebagai bartender yang sedang mengelap gelas dan merapikan botol-botol minuman dibaliknya. Salah satunya adalah Xavier. Raphael menudingkan telunjuk ke arah pria yang mengulum senyum.
“Anda tidur di kamar VIP lagi, Senor?” sapa Xavie ringan sambil meletakkan gelas yang sudah ia lap dan mengambil yang lain.
“Si, dan aku tidakernah mengerti kenapa kalian selalu meributkannya.” Raphael menurunkan telunjuknya. “Lalu kenapa kau bisa di sini pagi-pagi sekali? Kukira kalau matahari menampakkan diri kau adalah ayah yang berdedikasi?”
Xavier Rivera – head bartender Perdon Club dan seorang ayah untuk seorang anak perempuan berusia delapan tahun. Salah satu dari sangat sedikit yang bisa dipercaya dan tidak banyak tingkah. Untungnya ia seperti itu karena orang-orang sudah sangat pusing dengan kelakukan Raphael yang penuh kejutan…
“Ayah dan ibuku datang berkunjung, Senor. Ia lebih saying kakek-neneknya daripada aku.”
“Tapi bukan brarti kau tidak pulang juga, kan?”
Senyum Xavier berkurang sedikit. “Semalam kita menjamu banyak tamu penting. Jadi saya juga menginap…”
“Nah, kenapa Gabriella tidak memarahimu juga kalau begitu!”
“Karena saya tidak melakukannya nyaris setiap pekan selama sembilan tahun terakhir Senor.”
Raphael mendengus keras.
“Kalau begitu Anda mau minum sesuatu yang panas, Sir?”
“Memangnya ada sesuatu selain minuman keras yang bisa kau berikan padaku?”
Xavier dengan cepat memperlihatkannya satu sachet kopi instan. “Ini membantu untuk keadaan darurat seperti sekarang.”
Raphael tidak berkomentar selama Xavier menyeduhkannya kopi instan dari air dalam pot listrik. Aroma kopi dan gula merebak itu sudah cukupuntuk membuat suasana hati Raphael sedikit rileks. Ia tidak lupa mengucapkan terimakasih pada Xavier dengan kopi buatannya itu.
Manis, pahit, dan krim melebur jadi satu. Menyisakan rasa pekat asam di bagian belakang lidahnya. Raphael terkejut mendapati dirinya menyukai kopi instannya itu lebih dari seharusnya…
“Bagaimana kalau kita buka coffee shop saja, Xavy? Kau mungkin bisa jadi barista...”
“Senor Suarez, itu kopi instan!” Xavierr tertawa kecil
Raphael sedang menikmati minumannya dengan tenang ketika ia mendengar seseorang berdeham di sebelahnya. Bernardo menunduk untuk membalas tatapan Raphael dari atas gelasnya.
“Saya diminta Senora untuk membawa Anda pulang sekarang.”
Raphael mengerang protes dengan bibir masih di gelasnya. “Dios, Bernardo. Duduklah dulu…”
“Tidak, Senor. Senora Gabriella berkata kalau Anda jelas belum minum obat Anda sejak semalam.”
Pria itu menatap kedua kedua anak buahnya bergantian dengan mata menyipit. Xavier cepat-cepat mengambil gelas kopi Raphael dan Barnardo sudah mengambil tongkat jalan Raphael yang ia sandarkan di kursi di sebelahnya dan menyerahkannya padanya.
“Aneh rasanya kenapa aku pula yang harus selalu patuh dengan kalian.” Dengan bibir mencebik, Raphael turun dari kursi. Secara sengaja berjalan dnegan sangat lambat untuk membuat Bernardo kesal. Tapi pria tanpa rambut itu tidak mengatakan apapun dan tetap berjalan di belakangnya.
Mobil SUV berwarna putih itu teparkir tepat di depan pintu klub. Bernardo dengan sigap membukakan Raphael pintu penumpang di belakang. Raphael pura-pura tidak melihat tangan Bernardo yang terulur itu dan berusaha untuk naik ke mobil tinggi itu tanpa bantuan. Walau dengan susah-payah.
Hanya saja ia tidak pernah suka mobil sedan. Rasanya seperti naik taksi.
Raphael menatap ke jendela di sampingnya. Kemacetan New York selalu sesuatu. Namun entah hari ini suasana sangat lengang padahal di hari kerja…
“Untuk mencerahkan suasana hati Anda, Senor. Bagaimana kalau kuberitahu Anda kalau hari ini adalah hari pertama Andrew di 10th Precinct.”
Raphael menahan diri untuk tidak tersenyum. “Aku tidak menanyakan dan menyuruhmu untuk mencaritahu, Bernardo. Kau tahu.”
“Hari pertamanya sebagai detektif, Senor. Apa kau tidak penasaran?”
***