Bab 4 Tragedi (2)

3483 Kata
            Mendung menggantung pagi. Menyisakan galau yang tak kunjung usai di hati Kayla. Dia menghela napasnya yang terasa berat sembari duduk di bawah pohon kamboja berbunga merah muda. Di tangannya tergenggam amplop berisi uang beasiswa yang baru diterima dari gurunya. Sementara itu, di tangan satunya tergenggam ponsel cerdas hadiah dari Danin untuk mengganti ponsel jadul. Nasib Kayla sebagai seorang anak panti membuat dirinya tak mampu membeli barang mahal. Bisa makan nasi dan bersekolah di sekolah elite saja sudah merupakan anugerah baginya.             Seharusnya dia merasa senang karena baru saja mendapatkan beasiswa atas prestasi membanggakan. Uang di amplop itu salah satu bentuk rasa iba para teman-temannya. Namun, hati Kayla mendung seperti suasana pagi ini. Dia hanya termenung sambil menghirup aroma kuntum kamboja merah muda yang beraroma sendu. Aromanya lekat dan sanggup membawanya ke kesedihan mendalam sebab kamboja memang lambang dari sebuah elegi. Sama seperti hati Kayla yang terasa sedih mendayu karena teringat nasib cintanya pada Danin. Semakin hari renda cinta mereka semakin pekat bukannya cerah. “Halo?” buka suara imut Kayla sambil menempelkan ponsel itu ke telinganya. “Ya halo, ada apa, Dek?” tanya suara seberang yang ternyata milik Danin. Danin terlihat sibuk sebab beberapa pesan Kayla tak ditanggapinya. “Em, Kakak sibuk ya? Kayla cuma mau bilang kalau hari ini Kayla ada outting class ke lapangan Rampal di depan satuan Kak Danin,” ucap Kayla pelan. Hatinya berdebar karena Danin tampaknya enggan diganggu. “Oh gitu ya? Mau olahraga apa? lari atau tenis?” tanya Danin berusaha menanggapi Kayla. “Lari marathon, Kak. Kayla ganggu ya?” tanya gadis itu sedikit ragu. “Oh lari maraton. Ya udah semangat, Dek. Kakak ada kegiatan nih. Mau renmil di kolam Jasdam,” jelas Danin agak cepat. “Oh, mau renang ya? ya udah deh, Kakak juga semangat,” pungkas Kayla pelan.             Telepon dimatikan oleh gadis cantik bermata bulat itu. hatinya terasa tersengat lebah. Terasa ngilu dan sedikit perih. Dia tahu Danin sedikit menghindar semenjak kemarin. Apa karena menerima telepon Isya? Apa ini sudah saatnya mereka untuk berpisah? Apakah ini tragedi mereka? Apa Isyana adalah orang yang memisahkan mereka? Pertanyaan semacam itu meracuni benak Kayla. Tak biasanya Danin bersikap secuek itu padanya. Apa Danin marah karena Kayla sering meremehkan cintanya? “Kayla, berangkat sekarang yuk? Bus sekolahnya udah datang tuh!” ajak Ola sambil mencolek Kayla. “Eh, iya Ola. Yuk!” ujar Kayla berusaha memasang senyum ceria. Dirinya sudah biasa bertopeng cerah kendati hatinya penuh badai.             Perjalanan dari SMA Negeri 4 Malang menuju lapangan Rampal tidak terlalu jauh. Hanya memakan waktu 5 sampai 8 menit menggunakan sepeda motor atau mobil. Di pagi yang tak cerah karena musim hujan ini Kayla harus mengikuti kegiatan di luar sekolah. Biasanya pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling dia sukai, kali ini tidak. Hatinya terasa hambar, kosong, dan tanpa semangat hidup. Dirinya bukan seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Dia hanya memasang senyum hampa tanpa saripati ketika teman-teman yang sayang padanya mengajak bercanda atau bicara.             Waktu berjalan cepat hingga dia sampai di parkiran lapangan legendaris kota Malang itu. sesekali dia melirik ke arah gerbang kesatuan Yonif 512/Marabunta yang tak jauh dari Rampal. Kedua bangunan itu hanya dipisah oleh sebuah jalan raya. Kayla berharap Danin ada di depan kesatuan dan menyapa dirinya. Paling tidak Danin menjadi semangatnya pagi ini. Tapi tampaknya hanya jejeran pohon trembesi besar yang menjatuhkan dedaunan kecil rapuh itu yang menyambut langkah kecilnya. Bukan Danin, orang yang paling dia cintai saat ini. “Kay, lari yuk?” ajak Hilda, salah satu teman yang iba padanya. Kayla hanya tersenyum datar dan menyusul Hilda.             Tetapi, pandangan mata indah Kayla menangkap hal yang berbeda dari pintu gerbang markas militer di depannya. Sosok Danin sedang berjalan pelan lantas masuk ke sebuah mobil Honda Brio warna merah. Hati Kayla berdebar. Bukannya Danin bilang akan mengikuti kegiatan renang militer? Lantas mengapa dia malah masuk ke mobil itu? Apakah Danin sedang berbohong? Siapa orang yang sedang dihampirinya? pertanyaan itu kembali memusingkan Kayla. Menambah suntuk dalam pikirannya. “Kayla kamu mau kemana?” tanya Pak Irawan, guru olahraga Kayla. Gadis itu tak menyahut. Dia lebih memilih untuk berjalan pelan menyusul mobil yang berjalan lambat sebab rasa penasaran telah membuncah dalam benaknya. Sejenak kemudian, mobil itu berhenti agak jauh dari gerbang kesatuan. Langkah Kayla sedikit ragu seperti napasnya. Dia ragu untuk menyusul Danin ke tempat mobil berhenti. Dia ragu untuk menemui kekasihnya. Apa benar tindakannya ini? “Haruskah aku tahu apa yang sedang Kak Danin lakukan? Siapa yang dia temui sampai dia berbohong padaku?” gumam Kayla penuh penasaran, “aku harus menemuinya,” putusnya kemudian. “Kayla! Mau kemana kamu?” teriak Pak Irawan emosi. Kayla menoleh dan mendapati guru olahraganya itu sedang berkacak pinggang. “Ya Tuhan, apa yang kulakukan?” gumamnya lagi. dia lantas membuyarkan tekad gilanya. Dia tak boleh mengacaukan jam pelajarannya. Sebab beasiswa sekolah yang diberikan padanya itu menuntut Kayla harus selalu masuk dan mengikuti pelajaran. “Lupakan tentang Kak Danin! Mungkin dia sedang menemui sahabat atau keluarganya,” putus Kayla berusaha mengalihkan gundah hatinya. --- “Ngapain sih Dan kamu mandangin ponsel terus? Aku lagi pengen bicara sama kamu, bukannya nemenin kamu mainan ponsel,” ucap Isya sambil bersandar di kursi mobil Brio merah. Tangan putih kurusnya tertumpu di setir mobil. Sesekali wanita berambut indah itu melirik Danin yang sedang berbaju loreng. Ya, mereka memang sedang bertemu di dalam mobil. “Lalu kamu ngapain jauh-jauh dari Jakarta cuma buat nemuin aku?” sindir Danin balik. “Aku butuh semangatmu, Dan!” ucap Isyana memelas. Danin menatap lurus sahabatnya sejak SMA itu. “Sya, kalau kamu cuma butuh semangat ada sambungan telepon kan? Kamu gak usah repot-repot datang ke depan kesatuanku. Menyuruh aku izin ke abang galakku. Kamu tahu kan sekarang aku itu sedang dalam masa pembinaan. Aku masih perwira remaja!” ungkap Danin emosi. “Gimana aku bisa telepon kamu, kalau nada sambungnya selalu sibuk! Kamu gak punya waktu buat aku lagi, Dan. Waktumu cuma habis buat dia! Anak SMA itu. Kamu sangat baik sama Kayla, tapi tidak denganku,” ucap Isya sambil menurunkan bulir bening mata indahnya. “Kamu harus ngerti Sya, kalau aku itu sudah punya pacar. Aku sayang banget sama dia, Sya. Maaf kalau aku gak bisa jadi sahabatmu yang baik lagi,” ujar Danin berusaha memangkas kesedihan Isyana. “Kamu tahu, aku butuh kamu Dan. Aku butuh dukunganmu lebih dari sekedar sahabat. Seleksi itu ketat, Dan. Aku harus bersaing memeras otak dan tenagaku. Kamu tahu, sainganku dari Jakarta sangat menakutkan. Beban yang kubawa sangat berat!” Isyana mengeluarkan segala kegundahan hatinya. Beban di pundaknya teramat berat. Orang hanya memandang dirinya sebagai bintang yang bersinar. Tetapi, mereka tidak tahu cahaya gelap di balik bintang itu. Isya harus menghadapi teguran keras dari kampus sebab absensi kuliahnya tak pernah penuh. Isya tahu itu resikonya sebagai seorang bintang yang bersinar. Sebenarnya, dia sangat suka dunia modeling dan tarik suara yang membesarkan namanya. Namun, kedua orang tua Isya yang otoriter memaksanya masuk ke sebuah sekolah kedokteran. Belum lagi sahabat tercinta, Danindra, yang memilih wanita lain daripada dirinya. Padahal menurut Isya, Kayla bukan saingan berat sama sekali. Sebab Kayla tak punya apapun yang membanggakan dibanding dirinya. Entah kenapa Danin lebih memilih Kayla daripada Isyana. “Aku tahu kamu sedang banyak pikiran, Sya. Aku tahu kamu butuh banyak dorongan dan semangat. Maaf kalau aku gak bisa perhatian ke kamu seperti dulu. Aku sedang jatuh cinta, Sya,” ucap Danin yang menghujam hati Isyana penuh-penuh. Isya tak tahu bagaimana caranya agar Danin tahu perasaannya. “Danin, kamu sadar gak sih, kamu sakitin aku sekarang! Di atas kertas, kita itu dijodohkan. Tapi, kenapa kamu tegas-tegas memilih dia? Sebenarnya apa sih yang kamu suka dari dia? Sebenarnya apa sih yang gak kamu suka dariku? Bukannya kamu kenal aku sejak lama? Bukannya kita bersahabat? Tidak bisakah kamu mengubah rasa di hatimu buatku?” berondong Isya dengan suara parau. Air mata memenuhi rongga hidung dan matanya. Danin menyentuh pundak Isya yang terguncang. “Sya, perasaan tidak bisa dipaksakan. Perasaanku tak bisa semudah itu ditulis di atas kertas. Aku cuma anggap kamu tak lebih dari sahabat. Aku tahu kamu sempurna. Kamu punya segalanya yang gak dipunya Kayla. Tapi, aku sangat mencintai Kayla,” ucap Danin ingin meyakinkan Isya. Tapi bagi gadis itu, pernyataan Danin barusan tak lebih dari ganasnya racun mematikan. “Kenapa sih kamu gak bisa mencintaiku, Dan? Aku cinta sama kamu. Aku pasti bisa buat kamu bangga sama aku,” ucap Isya sambil memberi penekanan pada setiap kata-katanya. Dia merebahkan kepala mungilnya di setir mobil sambil mengalirkan air mata ke mana-mana.             Danin hanya menatap sahabat di depannya itu dengan pandangan kacau. Ditariknya tisu dari dashboard dan diserahkan pada Isya yang terisak. Ironis, Isya hanya membuang tisu itu ke lantai mobil. Dia menghela napasnya yang sesak dan berat lantas menyiapkan kalimat sendu berikutnya. “Aku gak butuh tisu, Dan. Aku butuh tanganmu untuk menghapus air mataku. Tisu hanya menghapus air mata nyataku. Tapi air mata di hatiku hanya kamu yang bisa mengeringkannya. Aku butuh kamu untuk jadi semangatku. Persaingan ini sangat berat, Dan. Aku kabur dari karantina demi menemuimu. Kupikir kamu bisa mencintaiku karena aku membawa nama harum provinsi ini. Nyatanya, kamu tetap saja,” ungkap Isyana lirih. “Besok malam, nasibku akan dipertaruhkan. Aku gak tahu bakalan sanggup atau gak. Apalagi aku tak punya semangat apapun sekarang,” ucap Isya lagi yang menambah sakit di hati Danin.                 Tentu saja lelaki itu merasa sakit. Di suatu sisi dia sayang pada Isyana sebagai sahabat baiknya. di sisi lain, dia sedang menjaga hati Kayla. Danin hanya setia pada satu nama yakni Mikayla Adara. Isyana Hanandayu hanya tertulis sebagai sahabat di hatinya. Namun, hatinya sekarang tersayat perih sebab menatap gadis itu tak henti menangis. Hanya karena dirinya, Isyana menangis separah itu. Bagaimana juga Isya adalah sahabat terbaik yang pernah dimiliki Danin. Selama Danin putus asa di Lembah Tidar, hanya Isya yang mampu menguatkannya. Bagaimana juga Danin masih menghormati kedua orang tua Isya yang selalu baik padanya meski sudah tahu kalau Danin menolak perjodohan. “Kamu pasti bisa, Sya! Aku yakin itu. Isyana Hanandayu yang kukenal adalah sosok yang hebat, kuat, dan cerdas. Kamu bisa kalahkan sainganmu. Kamu pasti bisa bawa nama baik provinsi kita. Aku percaya itu, Sya!” ucap Danin yang hanya bisa memberi semangat. “Jadi kamu benar-benar tak bisa memberi hatimu? Hanya semangatmu saja?” tanya Isya parau yang dibalas anggukan kecil Danin. “Kamu sangat mencintai anak itu ya?” Danin kembali mengangguk pelan. Jawaban Danin takkan berubah. “Apa kamu bisa menerimanya?” tegas Danin. Isya tak menjawab dan hanya menyedot air di hidungnya. “Bolehkah aku meminta sesuatu?” tanya Isyana pelan. “Asal bukan cintaku,” jawab Danin pendek. “Sebuah pelukan dari sahabat boleh, kan?” pinta Isya pelan yang membuat Danin bingung. Dia sedang menjaga hati. “Tak bisakah hanya sebuah tepukan?” Isya menggeleng tegas. “Kumohon, sebuah pelukan terakhir. Karena aku takkan pernah mengganggumu lagi. Aku tak ingin jadi perusak hubungan orang,” ucap Isya pelan. Danin terenyuh. Kata demi kata Isya seperti sebuah elegi yang berisi nyanyian kematian cintanya. Dirinya merasa tak berguna sebagai lelaki. Akhirnya, dengan gontai dia melebarkan kedua tangan tegapnya. Isyana melepas seat belt dan hambur ke pelukan Danin bagai magnet yang saling tarik menarik. Dia sangat merindukan Danin seperti dulu. Isya ingin Danin kembali lajang seperti dulu karena selalu punya banyak waktu untuknya. Isya merasa bahagia bersahabat dengan Danin tanpa ada hati yang harus dijaga. “Kenapa sih jalanku tak berarah kepadamu?” tanya Isya lirih masih dalam pelukan hangat Danin. “Itu takdir kita, Sya,” jawab Danin. Isya tahu hati Danin sudah terpagari kokoh oleh cinta Kayla.             Sebuah ketukan mengagetkan keduanya. Danin langsung terkesiap dan melihat sosok yang sedang menatap mereka dari balik kaca di samping tubuh Isya. Mata bulat milik Kayla sudah membasah karena menatap adegan tak semestinya itu. adegan penuh salah paham itu terekam oleh mata Kayla sedari tadi. Gadis manis kekasih Danin itu pada akhirnya mengintip ke sisi dalam mobil setelah menyelinap diam-diam dari perhatian guru olahraganya. Ternyata ini hasil kucing-kucingannya dengan sang guru. Kayla mendapati sebuah kenyataan pahit. “Kayla…!” desah Danin sambil melepas tangan Isyana. Isyana juga ikut panik dan menghapus air matanya. Dia mengondisikan hatinya sebelum menyusul langkah Danin yang kini sedang menahan Kayla. “Kayla, tunggu Kakak, Dek! jangan pergi dulu!” tahan Danin kalut. Kayla melepas tangan Danin keras. “Jadi kolam renangnya sudah pindah ke dalam mobil?” sindir Kayla penuh kesedihan. Dia tak berani menatap wajah Danin yang kalut. “Kayla kamu salah paham, Dek. aku bisa jelaskan semuanya...,” ucap Danin yang langsung dipotong Kayla. “Jelasin apa? kebohongan Kak Danin ya? Pertama, kenapa Kak Danin bohongin aku? Katanya mau renang ternyata bertemu dengan Kak Isyana. Kedua, kenapa Kak Danin peluk wanita lain? Aku tahu dia sahabatmu. Tapi, kamu pacar Kayla. Seharusnya Kakak jaga perasaan Kayla!” ucap Kayla penuh emosi. Air bening kembali jatuh dari kedua bola matanya. “Mikayla, aku tahu kamu cemburu. Kakak memang salah. Kakak akan jawab itu semua asal kamu mau kasih waktu. Asal kamu mau dengerin Kakak,” jelas Danin berusaha sabar. Sementara itu, Isya yang mendengarkan pertengkaran itu mendadak merasa bersalah. Dia menyadari kesalahan terbesarnya. “Tidak, Kayla gak butuh jawaban atau penjelasan apapun. Itu sangat menyakitkan. Kayla tahu seharusnya tak ada di antara kalian. Kayla tahu kesalahan terbesarku adalah menghalangi hati kalian. Kayla pergi, Kak.”             Langkah gadis kecil itu gontai meninggalkan Danin melongo bodoh. Sementara itu, pertengkaran di tepi jalan tersebut mulai menarik perhatian guru dan murid lainnya. Bagaimana bisa Kayla bertengkar dengan seorang tentara muda? Itu sangat mengherankan siapapun termasuk beberapa tentara dari batalyon. Mereka heran dengan perilaku perwira remaja itu. Haruskah adegan seperti di sinetron terjadi di dunia nyata? “Kayla, jangan seperti inilah!” ujar Danin tergesa untuk memburu langkah Kayla. Anak 17 tahun itu seolah tuli dengan semua penjelasan Danindra.             Sampai pada akhirnya, Danin mampu menangkap tangan mungil Kayla. Dia tersentak dan terhenti mendadak. Rambut panjangnya hingga tersibak mengikuti gerak tubuhnya. Lelaki itu menghadapkan Kayla yang tingginya hanya sedada ke pelukannya. Danin memeluk Kayla sekuat tenaga. Sekuat tenaga pula Kayla melepas Danin. Kayla merasa tak ingin semakin menyakiti hatinya dan hati perempuan lain yakni Isyana. Padahal Danin berusaha memburu wajah cantik Kayla dan menatap kedua bola matanya. Dia tak mau Kayla larut dalam salah paham yang menjemukan. Tetapi, gadis itu enggan menatapnya. Sampai sebuah panggilan masuk ke ponsel Danin. Danin menatap lurus benda kotak itu lantas berbicara. “Halo?” sapa Danin datar. “Halo halo! Berani kamu ya kabur dari korve! Bawa wajahmu ke hadapan saya sekarang! g****k kamu!” cerca suara di seberang yang ternyata milik Letda Oki, senior kejam Danin. “Siap!” jawab Danin sambil menegakkan badannya. Dia lupa sedang dalam masa pembinaan yang tak jauh mengerikan dari ospeknya ketika jadi taruna. “Kayla, aku harus pergi. Aku akan jelaskan semuanya nanti. Aku berani bersumpah bahwa tak ada sedikitpun penghianatan yang kulakukan,” ucap Danin sambil berusaha menatap wajah sembab Kayla yang tertunduk. Kedua tangan Danin memegang kedua pundak Kayla dengan kuat. Tapi, amarah Kayla lebih kuat hingga melepas kedua tangan Danin. “Kayla pergi!” ucap Kayla pendek lantas meninggalkan Danin sendiri.             Danin tak berkutik lagi. Dia tak mampu menahan langkah kemarahan Kayla. Dia juga tak bisa kembali menemui Isya yang hanya bisa menatap dari kejauhan. Danin hanya bisa menendang angin dengan kakinya yang bersepatu boot PDL. Hatinya kacau tak karuan. Kenapa Oki harus memanggil Danin di suasana penuh salah paham itu? Rasanya Danin terjebak dalam ruang sempit yang tak bisa membuatnya bergerak. Mengejar Kayla tak bisa. Menjelaskan kepada Isyana apalagi. Dia hanya bisa pasrah mendatangi abang asuh sekaligus abang letting di kesatuan itu. Mendatangi Oki yang menjadi pembina kejamnya di satuan militer itu. Bersiap untuk mendapatkan caci maki demi menemui dua wanita yang sama-sama ada di hatinya. ---             Pohon trembesi besar di depan bangunan SMAN 4 Malang bergoyang kecil karena tertiup angin. Angin itupula yang membuat mendung di langit mulai tertata rapi. Mendung saling merapatkan barisan untuk mulai menggelontorkan hujan gerimis. Hujan gerimis yang menghiasi langit Malang memang sendu. Sesendu hati Kayla yang tak kunjung membaik sedari tadi. Pikirannya acak. Kusut seperti kertas yang habis diremas. Matanya yang sembab hanya asyik menatap guguran daun-daun trembesi dari balik kaca jendela kelas. Dedaunan itu berserakan seperti hatinya.             Dia patah hati? Pasti. Siapa yang takkan sakit hati melihat kekasihnya berbohong? Siapa yang tak cemburu melihat sang kekasih memeluk sahabat perempuannya? Kata Danin hanya Kayla yang ada dalam hatinya. Nyatanya apa? Semu. Mungkin ini adalah saatnya Kayla jatuh ke jurang yang menganga itu. Jurang yang memisahkan dirinya dengan Danin selama ini. Benar kan? Pasti ada salah satu yang terjatuh ke dalamnya suatu saat nanti. Entah itu dirinya atau Danin. Dan itu adalah dirinya.             Tes, air mata Kayla mendarat satu di pipi. Hatinya teramat sedih. Sejak awal dia pernah ragu menerima cinta Danin. Dia tahu posisinya tak lebih hanya mendompleng sinar terang Danin. Dia tak lebih dari batu kerikil di pinggir jalan. Dia tak lebih dari rerumputan tanpa guna. Namun, lisan Danin lebih pandai dari siapapun. Dengan mudah, Kayla menjatuhkan hati sepenuhnya pada Danin. Dia jatuh cinta tanpa ragu pada Danin, tanpa tahu kalau sebenarnya mereka berjalan di tepi jurang. Hanya karena Danin berkata bahwa Kayla cinta terdalamnya. Tapi…semua semu.             Bel pulang sekolah sudah berdering 10 menit yang lalu. Namun langkah Kayla belum beranjak dari bangku sekolahnya. Dia masih saja merasa lesu tanpa tenaga. Dia tak ingin melangkah pulang ke rumah, rumah? Panti asuhan alias rumah bersama mungkin. Semenjak bayi, Kayla tak pernah merasakan arti rumah sebenarnya. Lagipula di panti nanti, Kayla tetap saja merasa sedih. Sebab tak ada satupun mulut yang bisa diajaknya bicara. Tak ada satupun telinga yang mau mendengar keluh kesahnya. Sejatinya, Kayla sendirian saja di dunia ini. “Kayla, cepat keluar dari sekolah ya? Kakak tunggu di depan. Kakak akan jelaskan apapun yang kamu tanyakan. Aku gak mau kita terlarut apalagi sampai terpisah hanya karena kesalahpahaman. Aku tunggu ya, Kayla.”             Begitulah tulis Danindra di pesan yang mampir ke ponsel Kayla. Kayla meletakkan ponsel kembali ke meja. Bahkan, barang yang dia pegang sekarang itu bukan miliknya. Dia menumpahkan wajah cantiknya ke tumpukan kedua tangan. dia menghela napas sambil kembali meneteskan dua air bening dari mata indahnya. Sejenak dia meresapi keinginan hati terdalamnya untuk mendengar penjelasan Danin. Kayla pikir bukan ini penyelesaian yang baik. Kayla pikir, dia perlu mendengarkan Danin dan penjelasannya. Siapa tahu masih ada celah. Siapa tahu masih ada tali yang bisa dia pegang untuk berjalan di tepi ‘jurang’. “Aku harus mendengarkanmu,” gumam Kayla sambil mengangkat tubuhnya dari posisi duduk.             Akhirnya, dia melangkah lesu menuju lantai 1 sekolah yang mulai sepi. Dia mulai menata hatinya yang berserakan untuk bertemu dengan Danin yang kabarnya sudah menunggu di depan sekolah. Benar saja, ketika langkah Kayla sampai di dekat pos satpam, bagian samping mobil Toyota Rush warna putih terlihat berhenti di depan sekolah. Ya, itu mobil Danin. Kayla mulai menghela napasnya. Jantungnya berdebar kencang seperti hentakan kuda. Senyuman ceria Kayla sirna sebab tak ada alasan baginya untuk tersenyum. Pun ketika akhirnya dia melihat Danin yang masih memakai celana doreng dan kaos oblong warna putih. Wajah Danin terlihat kacau. “Hai Kayla. Ini buatmu. Semoga kamu suka,” buka Danin sambil menyerahkan sebuket bunga mawar merah muda pada tangan Kayla. “Makasih,” ucap Kayla pendek sambil menerima bunga itu. “Kuharap kamu tak marah dan meninggalkanku lagi. Sekarang naiklah ke mobil karena hujan mulai deras,” ucap dan ajak Danin. Kayla tak banyak bicara selain hanya menurut. Dia tak mau jadi pusat perhatian siswa yang lain dengan bertengkar di depan sekolah. Sekilas, dia melihat langkah Danin agak pincang. Muncul rasa iba dalam hati Kayla. Sejenak dia bertanya dalam hati, apa yang terjadi dengan kekasihnya? Apa Danin baru saja dihajar oleh senior kejamnya itu? Atau dihukum yang lain. Pertanyaan itu menyeruak kendati kemarahan masih menguasai hati Kayla. Kayla tetaplah manusia berhati lembut dan penyayang sekalipun dia sedang sakit hati. “Sebelumnya, makasi ya Kayla udah mau nerima kebaikan Kakak,” ucap Danin sambil memakai seat belt kemudian menyalakan mesin mobil. “Jalan saja! Sebentar lagi senja. Aku mau lihat Bukit Bintang,” ujar Kayla tajam tanpa menanggapi Danin. “Baiklah, ini juga lagi mau ke sana. Aku kan harus tepati janjiku,” ucap Danin pelan. Dia tak berani bicara aneh-aneh. Baginya kediaman seorang gadis ceria seperti Kayla itu menakutkan. “Janji? Apa itu masih bisa dipegang oleh seorang Kak Danin?” sindir Kayla pelan. Danin menoleh dan menatap Kayla yang hanya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. “Kayla, aku masih memegang janjiku padamu tentang kesetiaan. Aku tak melakukan apapun dengan Isyana,” ucap Danin sedikit keras. Dia ingin meyakinkan Kayla. “Ha? Kesetiaan? Berpelukan dengan wanita lain itu setia? Apapun alasannya, Kak Danin tetap saja tidak menjaga janji,” ucap Kayla emosi. “Terserah kamu Kayla. Aku berpikir seribu alasan yang tepat untuk menjawabmu, meyakinkanmu. Coba kamu mau dengarkan aku,” ujar Danin hampir putus asa. Sesekali dia mengacak rambut dan jambul tipisnya. “Oke, Kayla akan dengarkan semua penjelasan Kakak,” putus Kayla menyerah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN