Ikuti saja mereka, percayalah padaku.
Shita memandang Wulan dengan bingung, tapi entah kenapa Shita mau saja mengikuti teman sebangku yang baru saja dia kenal itu. Shita merasa bahwa Wulan tak mungkin berbohong.
"Kenapa kalian ngapain?" tegur Bu Lisa. Shita dan Wulan hanya menyengir. "Kamu belum menjawab pertanyaan Tante lho, lupa ya? Kalian turun di stasiun mana?"
"Eh, Tante sendiri mau ke mana?"
"Tante mau ke Porong."
"Oh! Sama kalau gitu."
"Wah, kebetulan ya." Bu Lisa tertawa kecil. Shita dan Wulan ikut tertawa, memaksakan diri. Bu Lisa kemudian bertanya pada Shita dengan was-was.
"Eh, Shita, ngomong-ngomong apa benar anak yang dikenalkan ayahmu itu bisa membantu? Penampilannya kok seperti berandalan," ucap Bu Lisa cemas sambil menunjuk Igo yang sedang berdiri di pinggir pintu kereta dengan terkantuk-kantuk.
Shita tersenyum. "Iya, dia memang mirip berandalan, tapi dia bisa diandalkan kok. Tante tenang saja! Nisa pasti bisa segera ditemukan," jawab Shita sambil tersenyum.
Wulan termenung. Dia menatap Shita dengan bingung dan penasaran. Dia lalu menuliskan kalimat pertanyaan lagi di buku sakunya lalu menunjukkannya pada Shita.
Apa maksudnya bisa diandalkan?
Shita memandang Wulan, tampak menimbang-nimbang harus menjawab pertanyaan itu atau tidak, karena ini berhubungan dengan privasi Igo. Shita merasa tak enak kalau harus membocorkan rahasia Igo. Akhirnya Shita menuliskan jawaban di bawah tulisan Shita.
Dia selalu tahu apa yang dicarinya dan di mana dia bisa menemukannya.
Wulan mengerutkan dahinya tampak bingung, lalu menuliskan kalimat pertanyaan lagi.
Apa maksudnya? Kok bisa?
Shita merasa pembicaraan ini jadi makin melebar dan dia benar-benar tak ingin membongkar privasi Igo. Akhirnya setelah berpikir keras Shita menulis jawaban di bawahnya.
Jangan tanya lagi, itu privasi Igo.
Setelah membaca tulisan Shita, Wulan tak berani bertanya lagi. Wulan melirik ke pintu gerbong di mana Igo berdiri sambil terkantuk-kantuk. Wulan menatap Igo dengan penasaran. Selalu tahu apa yang dicari dan di mana bisa menemukannya? Apa maksudnya itu?
Di pintu gerbong, Igo terbangun gara-gara kepalanya kejedot pintu. Cowok itu melirik Shita yang sedang mengobrol bersama Wulan dengan kesal. Jika dua cewek itu nggak ada dia pasti bisa duduk di gerbong dengan santai. Ah, cewek memang mengesalkan dan bikin repot.
Dulu, Igo punya cukup banyak pacar. Jangan tanya berapa, Igo tidak pernah menghitungnya. Bahkan dia bisa pacaran dengan lima orang di saat bersamaan. Dulu, cowok itu sangat menikmati keahliannya merayu para gadis, dan mengolok-olok temannya yang jomblo. Namun kini dia sudah lelah dan memilih istirahat saja.
Cewek hanya manis pada awal masa pacaran saja. Setelah sebulan sifat asli mulai keluar. Posesif, manja, minta ditraktir ini itu. Lebih jauh dari itu mereka akan sadar bahwa kamu bukanlah pacar sempurna seperti yang mereka bayangkan selama ini. Mereka mulai banyak menuntut dan memaksamu berubah seperti pangeran idaman. Igo sangat terganggu dengan cewek-cewek itu. Kalau sudah begitu dia pilih selingkuh saja, kalau ketahuan pasti si cewek minta putus. Jangan salah, Igo nggak pernah mutusin cewek. Dia selalu membuat dirinya diputuskan. Sekarang Igo sudah bosan pacaran. Igo senang deket dengan banyak cewek, tapi nggak buat pacaran. Pacar adalah sebuah status yang membuat cewek merasa bisa melakukan segalanya. Igo nggak mau terikat sama hubungan seperti itu lagi. Lebih asyik jadi cowok PHP. Cewek kalau sudah baper, apa juga dikasih. Hehe...
Igo melirik Shita lagi. Cewek itu kini terkantuk-kantuk. Dari semua cewek yang dikenal Igo, Shitalah yang paling berbeda. Mungkin karena mereka sudah saling kenal sejak masih pakai popok. Cewek itu emang cerewet dan banyak mengatur, tapi dia juga pengertian, perhatian dan pemaaf. Jika mereka bertengkar hari ini, esoknya Shita akan menyapanya seperti biasa seolah tak pernah terjadi apa-apa. Shita mungkin adalah orang yang memahami Igo, lebih dari dirinya sendiri. Lalu kenapa mereka tidak pacaran saja? Tidak. Igo tidak pernah berniat menjadikan cewek itu sebagai pacar. Shita lebih berharga dari itu. Shita adalah saudara baginya.
***
Setelah satu setengah jam perjalanan, akhirnya kereta yang mereka naiki sampai di stasiun Porong, Sidoarjo. Mereka turun dari kereta, lalu keluar dari stasiun bersama.
"Kita berpisah di sini ya, kalian mau ke mana?" tanya Bu Lisa pada Shita dan Wulan. Dua cewek itu cengar-cengir.
"Ng ... boleh nggak kami ikut Tante? Sudah lama aku nggak ketemu Nisa, aku kangen." Shita melancarkan jurus dustanya.
Bu Lisa dan Igo tampak kaget. Tapi Bu Lisa kembali bersikap ramah dan welcome sementara Igo mendegus.
"Oh, boleh-boleh. Ayo, kalian ikut saja kalau begitu," kata Bu Lisa senang. Bu Lisa dan Wulan mendahului sementara Shita dan Igo di belakang mereka.
"Hei, Shita, kamu nggak bermaksud membututiku, kan?" tuduh Igo. Pemuda itu memecingkan mata menatap sahabatnya sejak kecil itu dengan kesal. Dia tidak terlalu suka dengan sifat Shita yang suka ikut campur urusan orang lain.
"Ya, aku memang mengikutimu, kupastikan kamu melakukan pekerjaanmu dengan benar," jawab Shita sengit.
Igo mencibir. "Dasar stalker!" cemooh Igo sambil mendahului Shita. Shita hendak menjitak kepala Igo tapi dia segera mengurungkan niatnya saat Bu Lisa dan Wulan menoleh.
"Itu tamannya, Nak Igo."
Bu Lisa menunjuk sebuah taman kecil di tepi sungai Porong. Tempat itu sama persis dengan yang 'dilihat' Igo. Ada ayunan dari kayu yang diikat di bawah pohon. Igo menghampiri itu, Shita, Wulan, dan Bu Lisa mengikutinya di belakang.
Aroma yang sangat tidak sedap tercium dari tempat itu karena tumpukan sampah yang mengapung di bibir sungai. Shita dan Bu Lisa pun berusaha menutupi hidung mereka. Igo dan Wulan tampaknya tidak terlalu terganggu dengan bau busuk itu. Mereka diam saja sambil memandangi sekeliling taman itu.
"Di sini baunya busuk sekali ya, Tante," keluh Shita.
"Ya, seperti bau bangkai, apa gara-gara Lapindo ya?" Bu Lisa sependapat.
Igo menghampiri ayunan kayu itu dan menyentuh bangkunya. Tiba-tiba Igo merasakan aliran listrik di seluruh tubuhnya dengan voltase yang lebih tinggi dari biasanya sehingga membuatnya terkejut. 'Gambaran-gambaran' aneh mulai berputar di kepalanya.
Saat 'gambaran' itu menghilang, Igo jatuh terduduk, wajahnya pucat pasi, napasnya terengah-engah, jantungnya berdebar-debar. Ketiga wanita yang turut bersamanya menjadi kebingungan.
"Ada apa, Igo?" tanya Shita sambil menghampiri Igo dengan cemas.
Igo tak kuat berkata-kata. Dia hanya menunjuk ke tepi sungai dan berkata dengan suara lirih. "Itu...."
Shita menghampiri tempat yang ditunjuk Igo. Di tepi sungai seonggok mayat manusia berbaur dengan sampah-sampah mengambang di atas air. Mayat itu sudah membusuk dan mengeluarkan bau yang sangat tidak sedap. Shita menutup hidung dan mulutnya melihat pemandangan itu. Bu Lisa dan Wulan yang penasaran menghampiri Shita.
"Ada apa sih, Shita?" Bu Lisa terbelalak saat menatap mayat itu. Mayat itu sudah membusuk hingga tak mungkin dikenali lagi, namun mayat itu mengenakan kalung hadiah ulang tahun yang kelima belas milik Nisa yang sangat dikenalinya.
Bu Lisa tak percaya dan tak kuasa dengan apa yang dilihatnya. Wanita itu jatuh pingsan, untungnya Wulan dan Shita dengan sigap menangkapnya sebelum tubuh wanita itu terjerembab.
***