"Oh, berarti tujuan kita sama!"
Igo mendesis. Sejujurnya dia sangat malas berurusan dengan Shita. Pemuda itu menoleh ke samping cewek karateka itu, seorang gadis berambut bob nan cantik berdiri di sana. Kulitnya putih, bibirnya merah merekah, hidungnya mancung, matanya bulat, dan bulu matanya pun lentik. Sayangnya gadis itu agak mungil, tingginya hanya sedada Igo. Siapa cewek ini?
Gadis mengamati Igo dengan rasa ingin tahu. Sadar dirinya diperhatikan, setan rambut merah itu balas mengawasi cewek itu. Igo teringat kejadian beberapa hari yang lalu saat dia mengajari adik kelasnya di SMP, Sena, tentang teknik membuat cewek jatuh cinta dalam waktu tiga detik.
"Aku bisa membuat seorang cewek jatuh cinta padaku hanya dalam waktu tiga detik," pamer Igo pada Sena.
"Oh, ya? Kok bisa, Kak? Keren sekali! Bagaimana caranya?" tanya Sena, adik kelas Igo yang berambut klimis dan bertampang manis seperti perempuan, dengan antusias.
"Saat kamu bertemu dengannya, berdirilah di tempat yang agak jauh dari tempatnya namun masih bisa dilihat olehnya," jelas Igo.
"Saat itu tatap dia terus-menerus, suatu waktu dia pasti akan menoleh padamu dan pandangan mata kalian akan bertemu. Saat itu terus tatap dia, jangan alihkan pandangan dan jangan ubah ekspresimu." Igo menatap Sena dengan serius.
"Satu detik berlalu dan dia pasti akan membuang muka atau berpura-pura melihat sekeliling, tapi dia pasti penasaran dan akan kembali menatap matamu. Kembali pertahankan tatapan matamu dan ekspresimu selama satu detik.
Dia akan kembali membuang mukanya karena perasaan malu karena merasa diperhatikan. Jantungnya akan mulai berdegup kencang dan tubuhnya akan mulai berkeringat, namun dia akan memberanikan diri untuk kembali menatap matamu. Tetap pertahankan tatapan matamu selama satu detik lagi kemudian tersenyumlah dengan senyuman terbaikmu, aku yakin gadis itu pasti langsung jatuh cinta padamu."
Sena melongo. "Kakak Guru! Kamu memang hebat, dari mana Kakak menemukan teknik semacam ini?" ucap Sena terkagum-kagum.
Igo hanya tersenyum sambil meminum segelas kopi yang dibelikan Sena untuknya. "Cewek itu makhluk yang naif, mereka sangat percaya pada love at the first sight, itu teorinya!"
Igo kembali ke dunia nyata. Sekarang di depannya ada seorang cewek cantik yang tengah memandangnya. Tentu saja Igo tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Igo harus mempraktikkan teori cinta tiga detik yang sudah menjadi keahliannya itu. Igo balik melancarkan tatapan mautnya pada gadis itu.
Satu detik ... Gadis itu masih menatap Igo. Kenapa dia nggak buang muka? Igo agak kaget karena peristiwa ini tidak sesuai dengan teori.
Dua detik ... Gadis itu masih tetap sama memandanya. Apa-apaan cewek ini? Berani juga dia menatapku lama begini? Apa dia mau menantangku? Oke! Aku layani!
Tiga detik. Gadis itu masih tetap mengawasi Igo. Igo mulai merasakan perasaan malu dan jantungnya mulai berdebar-debar.
Sial! Kenapa ini? Nggak, Igo! Nggak! Kamu bgg boleh buang muka! Kalau kamu buang muka, kamu kalah! Igo mengumpat dalam hati.
"Oh, iya, Tante, kenalkan ini teman sekelasku, Wulan." Perkataan Shita memecah keheningan. Wulan menoleh pada Bu Lisa dan tersenyum pada wanita setengah baya itu. Igo bersorak karena merasa menang.
"Wulan, ini Tante Lisa dan ini Igo." Shita memperkenalkan Wulan dan Igo. Wulan tersenyum dan melenggut.
Bu Lisa mengulurkan tangannya, bermaksud menyalami Wulan. "Apa kabar?" Wulan membalas menjabat tangan Bu Lisa dan tersenyum.
Shita agak bingung apakah dia harus memberitahukan kekurangan Wulan itu pada Bu Lisa dan Igo, tapi syukurlah Wulan dengan sendirinya menunjuk bibirnya dan membentuk tanda silang dengan kedua tangannya.
Bu Lisa dan Igo bingung dan menoleh pada Shita minta penjelasan. Akhirnya Shita terpaksa menerangkan. "Maaf, dia ... nggak bisa bicara."
"Oh, ya, ampun. Maaf ya." Bu Lisa jadi salah tingkah dan merasa bersalah. Wulan tersenyum maklum. Wulan kembali mengawasi Igo, cowok itu juga diam dan memandangnya tanpa tersenyum.
"Kalau begitu kita berangkat bareng saja. Kalian sudah beli tiket?" Bu Lisa mengalihkan pembicaraan.
"Biar kubelikan." Shita berlari-lari kecil menuju tempat loket pembelian tiket on the spot. Sementara Wulan, Bu Lisa, dan Igo menunggunya.
"Ayo, kita duduk." Bu Lisa menawarkan pada Igo dan Wulan untuk duduk. Beliau lalu meninggalkan keduanya dan duduk di tempat duduk yang telah disediakan di ruang tunggu.
"Hei, kamu yang tadi pagi itu, kan?" tanya Igo.
Wulan yang hendak mengikuti Bu Lisa duduk di ruang tunggu tertegun dan menghentikan langkahnya. Wulan menoleh pada Igo, cowok itu memandangnya dengan penasaran. "Bagaimana kamu bisa tahu kalau gadis itu akan melompat?"
Wulan tercengang. Dua remaja itu diam dan saling pandang selama beberapa saat. Wulan akhirnya memutuskan untuk tidak menjawab. Dia malah menghampiri Bu Lisa kemudian duduk di sampingnya. Igo merasa kesal karena dirinya diabaikan.
"Ayo, kita pergi," seru Shita riang. Dia seperti anak SD yang mau pergi piknik.
Bu Lisa, Igo dan Wulan mengikutinya masuk stasiun. Mereka naik ke gerbong tiga KRL di jalur satu yang menuju ke Porong dan duduk di tempat yang kosong.
Shita, Wulan, dan Bu Lisa duduk berjajar di dekat pintu masuk. Sementara Igo yang merasa tak nyaman karena harus duduk bersama tiga wanita itu memilih berdiri di pintu gerbong .
"Kamu mau ke mana?" tanya Shita.
"Ke belakang, masa aku harus duduk bareng tante-tante, nggak asyik!" dengus Igo sebelum mengacir.
"Kalian turun di stasiun mana?" tanya Bu Lisa.
Shita menoleh ke arah Wulan, menunggu jawaban karena dia sendiri juga tidak tahu ke mana sebenarnya tujuan mereka. Wulan mengeluarkan ponsel dari saku lalu mengetikkan kalimat di sana.
Kita ikut mereka saja.
Heh? Shita jelas bingung membaca pesan Wulan itu. Dia meraih ponsel Wulan dan menggetikkan pertanyaan di bawahnya.
Bukannya tujuan kita berbeda?
Wulan mengambil alih ponselnya dari tangan Shita dan menuliskan jawabannya.
Ikuti saja mereka, percayalah padaku.