Igo berdiri di depan sebuah rumah sederhana di kawasan pemukiman Gubeng. Bu Lisa, kliennya, merogoh saku dan mengeluarkan segombyok kunci. Wanita itu membuka pintu, kemudian mempersilakan Igo masuk. Setelah menerima undangan dari sang pemilik rumah, Igo mengikutinya. Cowok itu mengawasi ke segala arah, mengamati seluruh isi rumah.
"Boleh saya masuk ke kamar putri Anda?" tanyanya.
"Si-silakan," jawab Bu Lisa terbata.
Jujur, sebenarnya dia tidak terlalu percaya pada Igo. Apalagi kalau melihat penampilan pemuda itu yang seperti berandalan. Namun Bu Lisa merasa sudah tidak ada pilihan lain lagi. Dia sudah melaporkan putrinya hilang ke kantor polisi, juga sudah berusaha mencari sendiri selama tiga minggu terakhir, tetapi sama sekali tidak mendapatkan hasil.
Bu Lisa berharap bocah berandalan ini bisa membantunya. Lagi pula Igo telah direkomendasikan oleh sahabat baiknya yang dapat terpercaya dan tidak mungkin menipunya. Wanita itu mempersilakan Igo masuk ke sebuah kamar bernuansa girly. Semua benda-benda di kamar itu bernuansa pink. Ada satu ranjang, satu buah lemari, dan meja belajar yang menghadap ke jendela. Igo masuk ke ruangan itu dan memandang sekelilingnya, tampak menilai.
Kamar itu sangat rapi, tak seperti kamar yang telah lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Mungkin sang ibu masing seribg merapikannya. Di atas tempat tidur ada tiga buah boneka beruang. Di atas meja belajar ada sebingkai foto seorang gadis berusia lima belas tahun yang cukup cantik bersama Bu Lisa. Ada beberapa tumpuk buku dan juga sebuah cermin.
"Apa yang biasa putri Anda lakukan sebelum berangkat sekolah?" tanya Igo.
"Eh? Em ... mandi dan sarapan, ya seperti gadis pada umumnya." Bu Lisa menjawab pertanyaan Igo itu dengan agak bingung.
"Apa dia sering merias dirinya dengan menggunakan cermin ini?"
"Ya, kurasa begitu."
Igo menarik napas, lalu menyentuhkan tangan kanannya pada cermin itu. Seketika Igo merasakan sengatan listrik voltase rendah dan melihat gambaran-gambaran aneh. Tubuh Igo bergetar saat merasakannya. Inilah rahasia yang dimiliki pemuda berambut merah ini. Dia seperti memiliki tombol rewind dalam tubuhnya. Ketika menyentuh suatu obyek, dia bisa melihat kenangan yang tertinggal dalam benda itu seperti film yang diputar mundur. Bu Lisa memperhatikan Igo dengan bingung. Apa yang dilakukan anak ini?
"Anda punya pena dan kertas?" tanya Igo.
Bu Lisa mengeluarkan dua benda yang diinginkan Igo dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja. Igo menggambar dengan menggunakan dua alat itu. Bu Lisa memandangnya dengan bingung. "Anda pernah melihat tempat ini?"
Igo menyodorkan gambar yang jelek seperti gambar anak TK, tapi cukup dimengerti. Dalam gambar itu ada taman di tepi sebuah sungai. Ada ayunan tradisional dari kayu yang diikat pada pohon. Bu Lisa mengenali tempat itu.
"Sepertinya ... ini taman di dekat rumah kami waktu masih di Porong, dulu aku dan ayahnya sering mengajaknya bermain ke sana sewaktu dia masih kecil."
"Kalau begitu kita ke sana."
***
Stasiun Gubeng adalah salah satu stasiun yang menjadi pemberhentian Komuter Line di Surabaya. Suasana stasiun sangat ramai, karena pada jam-jam seperti ini banyak pegawai kantor yang pulang dengan memanfaatkan fasilitas transportasi umum ini. Di depan stasiun itu berdirilah Wulan dan Shita. Shita diam dan menatap stasiun kereta yang berdiri gagah di depannya dengan bingung.
"Untuk apa kita ke sini?" tanya Shita.
Wulan kembali mengeluarkan notes-nya kemudian menuliskan kalimat di sana dan menunjukkannya pada Shita.
Tunggu dulu, sebentar lagi kita akan bertemu dengannya.
Mata Shita melotot saat membaca tulisan tangan Wulan itu. "Siapa?"
Wulan tak menjawab, dia malah memasuki stasiun dan berdiri di depan papan pengumuman yang mencatat jadwal keberangkatan kereta api. Shita terpaksa mengikutinya. Tak lama ada seorang cowok berseragam SMA bersama wanita setengah baya menghampiri mereka. Keduanya juga sedang mengamati jadwal kereta api.
"Buat apa kita ke Porong?" tanya si wanita pada si pemuda.
Shita menengok pada wanita itu dan tertegun karena mengenalinya. "Tante Lisa!" Shita berseru.
"Shita!" Dua wanita itu bersalaman dan bercipika-cipiki.
"Aduh, Tante, lama tidak ketemu. Tante jadi kurusan, deh."
"Kamu juga, tambah cantik saja," kata wanita bernama Lisa itu.
Karena suara nostalgia heboh di belakangnya, sang pemuda berseragam SMA yang sedang asyik melihat jadwal kereta pun menoleh karena merasa mengenali suara cempreng Shita. Ternyata pemuda itu adalah Igo.
"Lho, Igo!" seru Shita, tambah kaget karena kemunculan teman sejak kecilnya itu. Wulan yang berdiri di samping Igo menoleh dan tampak terkesiap karena menyadari keberadaan cowok itu.
"Shita? Sedang apa kamu di sini?" tegur Igo.
"Hm ... aku...." Shita melirik Wulan yang mengangguk pelan, "aku mau ke naik kereta, kami?"
"Aku ... yah." Igo melirik ke arah Bu Lisa yang berdiri di sebelah Shita.
"Tante mau pergi dengan cecunguk ini?" Shita melongo.
"Putrinya menghilang sejak tiga minggu lalu, lalu dia meminta bantuanku untuk mencarinya," jelas Igo.
"Nisa? Nisa hilang, Tante?" tanya Shita terperanjat.
Lisa melenggut lirih. "Sudah tiga minggu dia tidak pulang. Tante sudah putus asa, Tante tidak tahu di mana lagi harus mencarinya."
Igo memandang kedua wanita itu. "Bagaimana kalian bisa saling mengenal?" tanya Igo.
"Tante Lisa ini teman baik ayahku," jawab Shita.
Igo melotot dan mendengus. Sekarang dia mengerti semuanya. Ternyata ini memang bukan sebuah kebetulan. "Bu Lisa, apa orang yang merekomendasikan saya pada Anda itu Kombespol Adam?" tanya Igo.
"Ya." Bu Lisa mengangguk. Igo berdecak-decak kesal. Dia sudah bisa menduga siapa lagi dalang dibalik semua ini, kalau bukan polisi berambut perak itu.
"Jadi, Tante sekarang mau ke mana sama cecunguk ini?" tanya Shita.
"Ke Porong, dia bilang mungkin bisa menemukan putriku di sana."
"Oh, berarti tujuan kita sama!"
Dahi Igo mengerut. Dia selalu tahu Shita tak pernah punya urusan ke Porong. Cewek itu pasti hanya mengarang-ngarang alasan saja.
***