Kardus

1444 Kata
Mataku berkedip beberapa kali setelah mendapatkan ciuman di pipi. Dan pelaku yang seenak jidat mencium pipiku malah cengar-cengir. "Uuuh. Pipinya langsung merah." Ia menunjuk mukaku. "Jadi, lo beneran masih suka sama gue?" Mataku menyipit dengan bibir mengerucut kesal. Aku mengusap-usap pipiku yang bersinggungan dengan bibirnya. Berengsek, kenapa rasanya masih panas? "Rese!" Aku berlari meninggalkan ia yang masih tertawa seakan-akan menciumku baru saja adalah lelucon. Dasar berengsek. Awas saja, akan kubalas ia nanti. Begitu memasuki kamar, aku berbaring di ranjang dan mencoba memejamkan mata. Pipiku masih seperti dijilat api. Mataku memejam sangat rapat. Jantungku berdebar tak karuan. Bel apartemenku berbunyi. "Sop! Kok password-nya diganti??" "Biar tidur di luar sana." Aku menaikkan selimut sampai menutupi kepala, tak mengacuhkan ketukan dan seruan Ilalang di luar. "Gue tidur di mana nih??" "Tidur di depan pintu!" teriakku. "Jahat banget sih lo. Kayak istri yang lagi marah sama suami." Aku menggeram makin kesal. Seharusnya tak kutampung ia di sini kalau sikapnya masih tak berubah sejak dulu. "Sop, elah." Ia masih mengetuk pintu. "Maaf...." Nadanya melunak manja. Langsung menggoyahkan iman. Aku menendang-nendang selimut. Jantungku berdebar makin hebat. Aku tak tahu mengapa, rasanya seperti genderang yang ditabuh. "Oh iya, gue kena denda gara-gara khilaf, ya? Gue bayar dua kali lipat deh." Aku mengacak rambut. "Berisik, ogeb!" "Makanya bukain pintu biar gue bisa bobo di dalem. Nanti hati lo merasa kesepian lagi gara-gara nggak berdekatan sama hati gue." Heleh. t*i. Bangkit dari ranjang, aku memutuskan membukakan pintu. Bukan karena kasihan, melainkan tak tahan kalau harus mendengar kalimat rayuan berengseknya. Pantas saja ia memiliki banyak fans dari kaum perempuan. Mulutnya memang manis. Membuka pintu, kulihat Ilalang yang menampilkan wajah memelas dengan bibir turun ke bawah. Macam anak kecil yang dihukum ibunya. Bola mataku berputar. Kukedik kepala, menyuruhnya masuk ke dalam. Ia tersenyum macam iblis j*****m. Aku menjentikkan jari, baru ingat belum membeli kelambu untuk ranjang. Selama ia menumpang di apartemenku, aku jadi defensif. Meskipun dulu kami sangat akrab (sampai-sampai membuatku nekat mengatakan suka padanya), tetap saja kami adalah manusia yang mengalami pertumbuhan. "Buat sementara, gue mau kasih ini biar lo nggak bisa ngintip-ngintip gue tidur." Aku mendorong kardus-kardus dan menumpuknya di tepi ranjang. Ilalang menarik sudut bibir. "Ngapain sih." "Gue belum beli kelambu. Udah, diem." Aku menumpuk kardus terakhir dan menepuk-nepuknya. "Gue mau tidur." Aku melompat ke ranjang, mengabaikan decak dan gerutuan Ilalang. Kuputar badan, menghadap dinding, lalu merosot ke balik selimut. "Lo udah tidur?" Masih terjaga. Kenapa pake tanya? Aku membisu. Terdengar helaan napas Ilalang yang berat. "Sabar ya ngadepin tingkah absurd gue selama di sini. Sebentar lagi gue bakal pergi dan nggak ngerepotin lo." Kalau ada lomba orang tersabar di dunia, gue bakal dapat juara satu, coeg. "Gue udah lama nggak ngisengin anak orang, sih. Jadi pas tahu lo balik lagi ke Jakarta, gue lebih dari seneng. Gue merasa...." Lo kenapa? Kenapa, buruan kasih tahu. Gue kepo. Hening. Masih hening. Kok tidak ada tanda-tanda kehidupan darinya? Saking penasarannya, aku bangkit sekadar mencari tahu apakah ia sudah tidur. Saat menoleh ke samping, aku dikejutkan dengan keberadaannya yang sudah bertumpu dagu di atas kardus, memandangku. Tubuhku sontak berhenti memberikan reaksi selain balik menatapnya. Ia tersenyum simpul. Senyumnya sungguh tidak baik bagi kesehatan jantung. Aku lagi-lagi berdebar. "Gue," katanya lagi. Dengan nada rendah yang memikat, "sakit perut. Aduh. Maag nih. Atau usus buntu ya?" Ia mengerang hiperbolis. Aku mendesis kesal. Kudorong dahinya dengan telunjuk, kencang, sampai membuat ia terjengkang ke belakang. * Pagi-pagi aku sudah mencium aroma mecin yang nikmat. Ketika membuka mata, aku melihat Ilalang duduk di balik pantri dapur dengan rambut berantakan. Saat menoleh ke arahku, ia menjilat sendok. Sial. Seksi banget. Aku buru-buru bangkit dari ranjang. Kakiku tersandung kardus-kardus berjatuhkan. "Duh, kenapa kardus-kardusnya di sini? Lo ya yang nurunin?" Aku baru tersadar beberapa kardus sudah ada di karpet. Ilalang memutar bola mata. "Makanya kalau tidur jangan banyak tingkah. Ia lantas menceritakan aksiku sepanjang malam yang menendang-nendangi kardus sampai kena wajahnya. Aku membayangkan diriku seperti itu. Lalu, kedua tanganku terkatup di pipi. "Masa gue kayak gitu?" tanyaku. Sudut bibir Ilalang terangkat. "Jadi kasihan gue sama laki lo nanti." Ia melanjutkan makan. Aku menyengir. Membayangkan Mas Danu yang menjadi suamiku kelak. Sudah pasti, ia akan sabar menghadapiku dan hanya melemparkan senyum manis sambil berkata: "Nggak apa. Yang penting kamu bahagia." Membayangkan itu, aku tersenyum seperti orang sinting dan mencolek-colek bahu Ilalang sambil menggigit telunjuk. Cowok itu sontak menatapku sambil mengernyit jijik. "Lo kenapa, anjing?" Aku melenyapkan senyum, tersadar dari imajinasi liarku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku berbalik dan melangkah menuju kamar mandi. Pintu kubuka lagi. "Heh, kemarin pembalut gue lo taruh mana?" Ia menoleh ke arah bufet dan menunjuknya. "Tuh, gue kirain makanan. Untung nggak gue makan." Ia menyengir bak iblis. Sudut bibirku terangkat. "Lo aja yang b**o. Masa pembalut nggak tahu." "Gue nggak pernah jadi cewek, jadi nggak pernah beli," Ia membela diri. Ya iya, sih. "Emang lo nggak pernah ngelihat cewek lo beli begituan di supermarket?" Ia mengernyit. "Harus banget ya ngelihatin mereka beli pembalut di supermarket?" Wah, padahal aku saja sering minta tolong mantan pacarku membelikannya. Hehe. "Makanya, rapi dikit kek jadi cewek. Kalau barang-barang lo kececeran gue yang kena timpuk," katanya. Aku mengambil pembalut yang masih terbungkus dan masuk ke kamar mandi lagi. * Mataku terasa panas karena kelamaan di depan komputer. Aku memijat pangkal hidung. Mendadak, ada seseorang di belakangku dan mengungkung tubuhku. Kedua tangannya menempel di meja. "Udah selesai?" Mendengar suara Mas Danu yang lebih syahdu daripada dangdut Melayu, aku menelan ludah. Kulihat pantulan bayangannya dari layar komputer. "Udah." "Oh ya, besok di Kedutaan Besar Belanda ada kegiatan Nuffic. Lo liput, ya." Ia menepuk pundakku. Aku menengadah, mendapat senyuman darinya. Tangan Mas Danu disingkirkan dari pundakku saat Meri lewat dan menatap kami dengan mata membulat seperti nenek sihir. Mas Danu mengusap leher. "Tangan lo nggak apa, Mas?" "Nggak apa kok." "Maaf ya soal kemarin." "Tenang aja. Nggak usah merasa bersalah." Meri datang lagi. Kali ini, ia memelotot ke arah Mas Danu. Aku jadi merinding dipelototi seperti itu. "Semangat, Filo." Mas Danu menepuk pundakku lagi sebelum melenggang pergi. Aku mengusap pundakku dan tersenyum. Ponselku bergetar tanda pesan masuk. Ilalang: Gue di kantor lo. Makan siang bareng di luar yuk. * Karena kafetaria GMI ramai, aku mau saja menerima ajakan Ilalang makan di luar. Ia membawaku ke gedung perkantoran di mana Penerbit Aksara bermarkas. Ini pertama kalinya aku menjejakkan kaki di sana. Tempatnya terlihat lebih nyaman dan luas. "Lo suka makan di sini?" tanyaku. "Dulu." "Dulu?" Aku lantas teringat Nuansa, editornya yang pernah ia suka. Bibirku terkatup rapat. Kami mengambil tempat duduk di dekat dinding kaca setelah memesan menu. Ia mengutak-atik ponsel, tampak serius daripada biasanya. Aku bersendang dagu mengamatinya. "Serius amat." "Gue lagi ngejar TA nih," katanya. "Huidih, mimpi apaan lo?" Ia meletakkan ponsel. "Udah sumpek, bosen kuliah. Pengen buruan lulus. Makanya, lagi bahas materi film pendek sama temen-temen." "Temen-temen lo yang cuma datang pas lagi butuh?" Ia tertawa. Minuman kami datang lebih dulu. "Fobia lo gimana?" Aku berhenti menyedot. "Lo...." "Hm. Gue masih inget kok lo punya hemofobia. Belum sembuh? Bukannya lo pengen ngeliput kasus pembunuhan dan terjun ke TKP?" Aku mendesah frustrasi dan mengedikkan bahu. "Gue belum berani ambil liputan kasus pembunuhan." "Tanpa ke TKP kan bisa. Tinggal hubungi narasumber, beres." "Yeee. Wartawan dituntut lebih peka dan mengulas detail, tahu." "Lo udah ngomong ke orang GMI?" Aku menggeleng. "Gue nggak suka diperlakukan khusus. Pasti ada orang yang iri. Gue nggak mau jadi bahan dengki orang lain." Makanan kami datang. Aku mengiris-iris steak menjadi dadu. Ah, aku ingat kalau Tante Nana pulang besok. Ia akan mengirimiku makan malam seperti biasa. Sepertinya, aku harus mencari alasan agar ia berhenti mengirim makanan sementara waktu. "Gue punya kenalan psikiater." Potongan dadu dagingku terhenti di depan bibir. "Kali aja lo bisa minta tolong sama dia buat atasi fobia," lanjut Ilalang tanpa memandang ke arahku. "Oh ya?" Aku tersenyum senang. "Nanti gue kenalin." Ia balas tersenyun, lebih tulus daripada biasanya. "Tuh, ada yang manggil lo." Ia menunjuk ke suatu arah di belakangku. Aku spontan menoleh. Tak ada seorang pun yang menanggilkum ketika memutar kepala, daging di garpuku sudah lenyap. Aku menampilkan ekspresi kesal melihat Ilalang tertawa. Begitu menyelesaikan makan siang, kami bergegas pergi. Aku menunggunya membayar dengan berdiri di tepi kasir sambil menengok jam tangan. Ketika kulihat Ilalang kembali, ia melepas jaket, membuat sebelah alisku terangkat. Aku mengerjap makin heran saat jaketnya dililitkan di pinggangku. Kemudian, ia berbisik di telingaku. "Tembus, tuh." ***** Siyal, kenapa malah gue yang berdebar woi. k*****t sekali. Temen gue pernah tembus mens begitu dan kena jok motor temen cowok gue (sebut saja, gebetan gue dulu), terus dia dikasih jaketnya. Baek kan, makanya bikin syukak, tapi bukan gue yang digituin sih wkwk :)))) BTW, banyak juga ya yang suka Nam Joo Hyuk. Kayaknya cuma gue yang ga woakakakakak.          Gue          MERI
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN