Menghindari jahilan Ilalang, aku bangun lebih pagi darinya. Ia masih tidur tertelungkup di karpet, membelakangiku. Aku memerhatikannya sebentar sebelum membenahi selimutnya.
"Ckck. Siapa yang kebo sekarang, hm?" Aku tersenyum.
Bergegas, aku memasuki kamar mandi, berganti di dalam, dan merapikan rambut. Aku tidak terbiasa pergi dengan dandanan berlebihan. Cukup bedak bayi, maskara, dan lipstik nude. Kupandang diriku di depan cermin dan tersenyum puas. Sebelum beranjak pergi, aku teringat belum menyemprot parfum. Kuendus udara, tersenyum lagi.
"Waktunya ketemu Mas Danu," bisikku, cengar-cengir.
Ketika berbalik badan, aku terperanjat melihat Ilalang sudah berdiri seraya meregangkan badan. Rambutnya acak-acakan. Matanya masih menyipit.
Syit, lemah banget iman gue ngelihat dia begini aja udah berdebar. Aku merapatkan bibir.
"Oy, mau ke mana?" tanyanya.
Aku mengerjap beberapa kali. "Kerja, lah."
Ia mengucek mata dan memerhatikan penampilanku dari puncak kepala sampai kaki. Ibu jarinya teracung.
"Bagus. Jangan dandan terlalu cakep."
"Emang kenapa?"
"Nanti banyak cowok suka."
Hah? Aku tak berkedip, mencerna kalimatnya baru saja. Sebelum menelan omong kosong lebih besar, ia menyengir.
"Jelek aja kayak gini. Nanti kalau lo punya pacar, gue nggak bisa nebeng tidur di sini dong?"
Sudut bibirku terangkat. Tak memedulikan tawa mengejeknya, aku berlalu pergi. Kututup pintu agak kasar.
Padahal aku sudah baper. t*i.
*
Mejaku kosong. Kupikir, Mas Danu akan memberikan sesuatu seperti beberapa hari lalu. Aku membuang napas berat seraya meletakkan ransel. Menghidupkan komputer, aku melongok dari balik papan meja, melihat ke arah ruangan Mas Danu. Sepertinya, ia belum datang.
"Eh, Fil. Nanti malan lo ada waktu luang, nggak? Mau ikut temen-temen makan bareng?" Mega datang sambil menggenggam teh kotak.
Aku menatap teh kotak itu dan melihat ada tempelan kertas di sana. Telunjukku praktis menunjuk kotak itu.
"Itu...."
Mega menatap kotaknya. "Kenapa? Mas Danu yang ngasih."
"Mas Danu?" ulangku lirih.
"Hm. Dia mah suka banget kasih minuman ke karyawan-karyawan sini setiap pagi dan acak. Emang baik banget tuh orang." Ia menyengir. Sedangkan aku merasakan sesuatu yang aneh di d**a.
Kekecewaan.
"Eh, jadi ikut, nggak?"
Lamunanku buyar. Aku memaksakan senyum dan mengangguk. Mega menepuk pundakku dan kembali ke mejanya.
Bibirku mencebik. Ternyata ia memang baik pada semua karyawan. Aku mengetuk kepala berkali-kali, menyadari ketololanku. Aku memang terbiasa mencintai tanpa logika. Makanya sering berujung kecewa dan sakit hati.
Tak berselang lama, ponselku berbunyi tanda pesan masuk. Kedua alisku terangkat melihat w******p dari Ilalang. Ia mengirim sebuah gambar dengan tulisan:
Ilalang: Ini apaan? Tadi nemu di depan kamar mandi.
Aku praktis berteriak, membuat teman-teman redaksi menoleh ke arahku. Tanpa memedulikan pandangan mereka, segera kubalas pesannya.
Filosofia: TARUH DI MEJA DAN JANGAN MUNGUTIN BARANG-BARANG GUE TANPA IZIN!
Ilalang: Emang tadi apaan?
Aku membenturkan dahi di atas meja, lalu membalas lagi
Filosofia: Pembalut, g****k.
*
Malam ini, aku mengikuti teman-temanku untuk makan malam di restoran Jepang. Dari semua orang, hanya aku yang diam dan cengengesan saja, tak paham topik pembicaraan. Aku tidak berani memandang Mas Danu yang duduk paling pojok. Sekali saja menatapnya, ia membalas pandanganku dan tersenyum. Jantungku mendadak berdebar, membuatku melengos dan meneguk minuman.
"Ah, panas!" pekikku. Sial, saking saltingnya sampai salah minum kuah udon.
"Muka lo merah amat, Fil. Lo pesen sake?" tanya Mas Tama.
Aku menggeleng. "Masa, sih?" Kusentuh kedua pipiku.
"Kayak kepiting rebus," sahut Sophie sambil terkekeh.
Mas Danu melongok dan menceletuk, "Ah, tetep cantik."
Mataku membukat. Wajahku terasa panas membara.
"Nah, nah. Makin merah tuh." Mega menunjuk mukaku.
"Gue ke toilet dulu!" Aku sontak berdiri. Namun saking cerobohnya, lututku membentur meja cukup keras dan menyenggol gelas ocha sampai jatuh ke lantai. Suara beling pecah tak terhindar, membuat pengunjung lain dan seluruh pelayan melayangkan tatapan ke arahku.
Mataku memelotot dengan mulut ternganga. Aku memejamkan mata rapat.
"Maaf, maaf, maaf!" kataku pada seorang pelayan yang menghampiri. Aku mengatupkan telapak tangan dan spontan berjongkok membantu merapikan beling-beling itu.
Tanganku ditahan seseorang, membuatku mengangkat kepala. Mas Danu tersenyum dan memintaku menghindar.
"Biar gue aja."
"Oh...."
"Nggak apa, Mas. Saya aja," si pelayan tersenyum ramah.
"Mbak ambil kain pel saja, biar saya yang mengumpulkan belingnya."
Pelayan itu menurut. Aku menggigit jari melihat Mas Danu memungut beling-beling itu. Ketika jarinya tergores pecahan gelas yang lancip dan mengeluarkan setitik darah, aku sontak membuang muka. Kupandang orang-orang yang berlalu lalang di depan restoran.
"Wah, berdarah, bro?" Suara Mas Tama terdengar. Aku tak berani menoleh.
"Nggak apa. Dikit kok."
"Woi, Fil. Bantuin Mas Danu noh bersihin lukanya."
Aku masih bergeming.
"Lebay. Gue nggak apa."
Mataku memejam. "Aku ke toilet dulu, ya." Dan berlari mencari toilet tanpa berani memandang ke arah Mas Danu.
*
Seharusnya aku tidak bertingkah seperti itu. Alih-alih mengobati lukanya, aku malah melarikan diri. Membuatku frustrasi saja. Ketakutanku melihat darah orang lain bisa menjadi bumerang. Cita-citaku menjadi wartawan kriminal hanyut bersama kenangan tragis itu. Aku masih ingin mimpi itu terwujud. Aku tak mau hanya melaporkan berita-berita soal korupsi, demonstrasi, politik, sentimen agama, dan sebangsanya. Tujuanku masuk kantor surat kabar ialah agar bisa terjun ke TKP kasus-kasus pembunuhan. Itu jauh lebih menantang. Alasanku ikut kelas karate pun untuk membekali diri, demi membantu mimpiku itu.
Aku berhenti di depan pintu apartemen. Kusandarkan punggung, menatap langit-langit dan membuang napas berat.
Pintu mendadak dibuka dari belakang, membuatku sontak terjengkang ke belakang. Untung tidak sampai jatuh.
Ilalang memandangku. "Kenapa muka lo?"
"Diem." Aku menepis pundaknya dan melempar ransel ke atas ranjang. Tanpa melepas sepatu, aku melompat dan berbaring miring memeluk guling.
"Gue buang sampah dulu."
Aku menoleh ke belakang, melihat Ilalang menggotong dua plastik sampah. Sebelum keluar, ia memandangku.
"Sampah terakhir nggak sekalian dibuang?"
"Apaan?"
"Elo."
Aku mendesis dan melemparnya dengan boneka. Ia tertawa, menghindari lemparan dengan menutup pintu.
Mumpung ia membuang sampah, aku mandi saja. Aku baru sadar, studio apartemen ini terlihat lebih rapi dan bersih. Ada gunanya juga ia di sini.
Setelah mandi, aku belum melihatnya kembali. Mungkin ia pergi merokok sebentar. Ya sudahlah. Lenyap saja sekalian. Tidak, jangan dulu, ia kan belum bayar sewa. Lenyap saja kalau sudah bayar sewa.
Aku menghidupkan laptop, menulis artikel untuk diunggah di web. Namun, pikiranku tidak bersama diksi-diksi yang kususun. Aku bingung hendak menulis apa. Aku berhenti dulu dan memijat pangkal hidung. Tanpa melepas kacamata, aku meregangkan badan dan beranjak keluar.
Tumben sekali, langit cerah tanpa mendung. Aku memandang bintang gemintang dari bubungan atap gedung apartemen. Mendekati birai, mataku bertemu pemandangan kota metropolitan malam hari yang menjemukan. Hidungku yang tajam mencium bau tembakau. Aku menoleh ke samping kiri, mendapati Ilalang yang berbaring di atas bale-bale pendek, berbantal tangan.
"Di sini rupanya," ujarku.
Mendengar suaraku, ia mengangkat badan. Praktis, rokok di tangannya dibuang dan dilumat dengan sepatu.
"Ngapain lo? Nyusulin gue? Kangen? Buang sampah aja dikangenin."
Sudut bibirku terangkat. "Suka-suka gue lah." Aku membuang pandangan kembali ke barisan gedung pencakar langit.
Ia tertawa. "Gue seneng lo balik ke sini." Kalimatnya terdengar tulus. Ia melangkah menghampiriku. Dipandangnya aku dari samping, membuatku menoleh.
"Apa?" tanyaku rikuh.
Jarinya membentuk gestur persegi. Sebelah matanya tertutup. Ia seperti sedang memotret dengan jemarinya.
"Hm, sekarang Sopi udah gede." Ia bertepuk tangan sekali. "Tapi sayang nggak kayak mbak-mbak minimarket yang bahenol."
"Apa maksudnya tuh." Mataku menyipit.
Ia memandang ke suatu arah. Kuikuti arah pandangannya. Sontak, aku menutup d**a dengan kedua tangan.
"Lihatin apaan lo?"
"Perasaan dari dulu ukurannya segitu." Ia mengusap-usap dagu dan mengerutkan hidung.
Aku melayangkan tamparan, membuatnya memekik kaget.
"Buset, gue digampar." Ia mengusap-usap pipi. "Lo udah gue anggap kayak cowok."
Ekspresiku berubah. "Cowok?"
"Hm. Tingkah lo sama sekali nggak mencerminkan cewek normal." Ia menyeringai, seakan ucapannya tak berarti apa-apa.
Aku memandangnya cukup lama. "Jadi, lo dulu nganggep gue cowok?"
Ia mengangguk. "Hm. Kan lo sendiri yang bilang nggak suka diperlakukan kayak cewek. Lo nggak mau dianggap cengeng, kan?"
Aku tertawa tak bersuara. Tanpa basa-basi, aku melayangkan tinju lengannya. Sangat keras. Berkali-kali. Sampai-sampai ia meraung.
"Aaa, sakit, Sop!"
"Kalau gue mukul, harusnya lo balas mukul. Kata lo gue bukan cewek," kataku.
Ia diam saja saat kupukul. Makin membuatku kesal. Alih-alih kesakitan, ia hanya tersenyum. Bocah t***l. Cewek mana pun, di usiaku sekarang, mana ada yang mau diperlakukan seperti anak laki-laki.
"Hesh, gue nggak mungkin mukul lo." Ia menahan pukulanku dan menyentak badanku ke depan hingga nyaris tak berjarak. "Lo nggak mau gue anggep kayak cowok?"
Aku menatap matanya tak berkedip.
Tanpa permisi, ia mencium pipiku.
*****
I bless your valday with diz kapel.
Siapakah Mas Danu?
Mari kita lihat kartu karakter berikut ini. Bagaimanakah tampang Mas Danu seandainya ini adalah Drama Korea?
Diperankan oleh Kang Soo Lee
KAGA DENG
Inilah muka Mas Danu yang sebenarnya:
Mas Sukanganggur
Memang saingan yang agak berat bagi Kang Joon