Beha

1648 Kata
Aku mengerjap-ngerjap mata. Lalu, tertawa mencemooh. "Males banget." Tanpa memedulikan raut wajah memelasnya, aku membuka pintu apartemen. Sebelum kututup, ia masih berdiri di depan pintu memeluk ranselnya. Aku mengerutkan hidung, menutup pintu agak keras. Ah, paling-paling ia hanya iseng dan segera pergi. Mana mungkin cowok mapan macam dirinya jadi gelandangan. Aku akan kahyang di depan Jeon Jungkook kalau Ilalang benar-benar jadi gelandangan. Karena Tante Nana sedang ke rumah saudaranya, aku memasak seadanya. Aku mengambil mie instan dari bufet dan membuatnya. Padahal, membuatnya saja butuh waktu lama, tapi makannya bisa dalam sekejap mata. Aku memandang piring yang sudah kosong. Perutku masih keroncongan. Kutepuk-tepuk perutku dan mendeceh. Sepertinya aku akan memesan makanan online. Sebelum memesan, perhatianku tertuju ke arah pintu. Apa Ilalang sudah pergi? Pintu kubuka. Bocah sialan itu malah duduk di samping pintu sambil memelum ranselnya. Seperti anak kecil yang tersesat dan lelah mencari sang ibu. Sudut bibirku terangkat. "Oy," sapaku. Ia menengadah. "Lo beneran nggak mau pergi?" "Gue nggak tahu mau ke mana nih." Bola mataku berputar. "Masa teman lo nggak mau nampung?" Ia sontak berdiri. "Temen-temen gue ini tipe orang yang datang pas lagi butuh doang dan pergi pas gue butuh." "Terus, kenapa lo nyamperin gue?" "Karena lo nggak sama kayak mereka." Aku melipat tangan di depan d**a sambil menyandarkan bahu ke kosen. "Maksudnya, gue baik gitu?" Ia menjilat bibir. "Karena lo pernah bilang suka sama gue." Aku merasakan tinju di perut sampai membuatku memelotot. " Oy, itu masa lalu!" Aku mengerang kesal. Kalau ia bertingkah menyebalkan seperti ini, mana sudi aku membantunya! Sebelum pintu kututup lagi, ia menahannya. "Bercanda!" Ia memberi gestur V dari jarinya. "Please... bantu gue sekali ini aja." "Buku-buku lo kan best seller, duitnya di kemanain?? Buat mabok di club?" Ia mengerjap-ngerjap mata. "Wah, lo kayak pacar yang perhatian banget." Bibirku mencebik. Ia menoleh ke samping dan mengangkat tangan, tampak sedang menyapa seseorang. "Hoi! Nyari Sopi, ya? Nih, anaknya." Aku sontak keluar sekadar melihat siapa yang ia ajak bicara. Di saat bersamaan, Ilalang berlari masuk ke dalam, membuatku mendelik "Woy!" Aku meremas telapak tangan gemas. Mau tak mau, kubiarkan ia masuk dan menutup pintu. "Gila, lebih berantakan daripada sebelumnya. Lo cowok apa cewek sih, jorok amat." "Ck, bacot. Udah bagus gue persilakan masuk--dengan paksa." Ia menyengir dan mendekati ranjangku. Ranselnya diletakken di dekat kaki ranjang. Sebelum duduk, ia mengambil seauatu dari atas selimut. Kemudian menggoyang-goyang sambil mengamatinya. Aku sontak melesat mendekat dan merebut behaku yang dengan kurang ajarnya ia ambil. Kupukul lengannya berulang kali, membuatnya memekik. "Ihhh, keluar sana!" Aku menjejalkan beha ke lemari sambil menyembunyikan mukaku yang memerah. "Maaf, maaf. Abis kamar lo berantakan banget." Ia mendesis dan mengusap-usap lengannya. Aku memutar badan ke arahnya dan mengerucutkan bibir ke depan seraya bertolak pinggang. "Seharusnya lo punya alasan bagus masih belum gue tendang keluar." Ia tersenyum hiperbolis sampai membuat matanya menyipit. "Gue nunggu royalti turun buat sewa apartemen." "Iya lo udah ngomong bolak-balik. Yang gue tanyain, duit yang lo simpen itu ke mana larinya, hah?" Ia membuang napas panjang. "Gue simpen." "Lah, terus kenapa nggak lo pakai?" Wajahnya berubah agak sendu. "Buat beli rumah yang dijual bokap gue." Aku menggigit bibir bawah, agak menyesal karena tidak punya simpati. Aku baru ingat rumah peninggalan ibunya hendak dijual ayahnya. Hatiku jadi melunak mengasihaninya. "Gue janji deh bakal segera pergi kalau duit gue turun. Terserah lo mau nyuruh gue tidur di gudang atau di bawah ranjang. Di kamar mandi juga nggak apa." "Issh, tetep aja lo itu cowok, gue cewek! Mana mungkin gue nampung lo. Belum lagi kalau tante gue tahu ada cowok di sini. Bisa dijadiin rendang gue!" Ia memberikan wajah memelas lagi. Aku pun tak punya cukup uang untuk meminjamkannya agar bisa menyewa tempat. Aku tak bisa berpikir lantaran lapar. Perutku keroncongan lagi. Aku menekan perut dan menekan bibir rapat. "Lo belum makan? Sama. Makan bareng yuk." "Gue udah makan, tapi masih lapar." Aku menyingkirkan poni kesal. Ia memandang bekas panci dan piring di tempat pencucian. "Lo bisa masak?" "Masak air doang." Ia tergelak. "Gue dulu nggak bisa masak dan jadi manja banget. Kalau nggak dimasakin pembantu, pasti beli. Kalau nggak gitu dimasakin seseorang." Ia berhenti sebentar. Pasti seseorang yang ia maksud cewek bernama Nuansa. "Akhirnya gue belajar masak sendiri. Soalnya pembantu gue nggak bisa kerja lagi, anaknya butuh dia." Dan cewek yang masakin lo mau nikah. Nyesek amat nasib lo. Ah, nggak sih. Itu karma buat lo karena nolak gue secara tak beradab. Dalam hati aku tertawa. "Kenapa lo malah senyum?" Aku baru sadar dan menutup bibir dengan telapak tangan. Perutku keroncongan lagi. Aku memindahkan tangan ke perut. "Lo punya bahan-bahan masakan nggak?" Ia bangkit menuju pantri dapur dan membuka pintu bufet satu per satu. "Enggak. Gue kan dimasakin tante." Ia menatapku dengan mata menyipit dan bibir terkatup. "Gue bisa pesen makan." Ilalang mengangkat tangan rendah. "Mending gue masakin. Yok ke supermarket." * Dan aku tak percaya aku menuruti ia ke supermarket untuk belanja seadanya. Ia mendorong keranjang dan memilih sesuka hatinya. Aku hanya mengamatinya sejak masuk ke supermarket. "Mau coba anggurnya nggak, Kak? Enak nih. Manis." Ilalang berhenti di depan keranjang buah. "Boleh?" "Boleh, silakan ambil." "Emang mau beli?" bisikku. Ia mendekatkan telunjuk ke bibir dan mencabut sebutir anggur. Kemudian, ia mencobanya. Hidungnya mengernyit. "Eww. Manis apaan, Mbak? Asem, nih!" "Ah, masa sih, Mas? Manis kok." "Nih ya, gue coba lagi." Ia mencomot lebih banyak anggur berbeda (ungu, merah, dan hijau) dan masih menampilkan ekspresi serupa. "Ck. Nggak manis. Udah lewati aja." Tanganku diseret diminta menjauh, sedangkan cewek penunggu keranjang buah tadi menggaruk kepala dan mencoba satu per satu anggurnya. "Enaknya kalau punya muka ganteng kayak gini. Dimaklumi," katanya. "Malu-maluin banget sih lo!" "Lumayan bisa nyicip gratisan. Mubazir kalau nggak dicicipin. Itu termasuk jatah kita sebagai pelanggan." Aku memutar bola mata, tak habis pikir. Dan makin heran mengapa dulu aku pernah naksir cowok seperti ini. Setelah berbelanja (yang pastinya pakai uangku) dari supermarket di samping gedung apartemen, kami kembali. "Tenang aja, kalau gue udah...." "...dapat royalti bakal dibalikin," aku memotong. "Iya, iya!" Ia terkekeh dan membawa semua plastik belanja ke dalam. Selama menunggunya memasak, aku menghidupkan televisi dan duduk di ranjang. Aku ingin mengatakan kalau aku baru membeli novelnya, tapi khawatir ia besar kepala. Jadi, pembahasan soal novel kucoret. "Kenapa bokap lo jual rumah itu? Kan itu peninggalan nyokap lo buat lo?" "Tapi diatasnamain bokap gue. Jadinya gue nggak bisa apa-apa. Gue yakin yang nyuruh jual rumah itu si Mak Lampir." "Siapa?" "Bini bokap gue. Janda bule itu. Joanne." Aku memeluk lutut. Alih-alih memerhatikan televisi, aku memandanginya. Kasihan juga sih. Aku ingat, dulu ia sering pulang sendirian sepulang dari latihan. Ibuku pernah menawarkan diri mengantarnya, tapi ia menolak dan memilih jalan kaki. Ia menyiapkan dua mangkuk di meja makan. Lalu, bertepuk tangan. Jemarinya bergerak memintaku segera mendekat dan makan. Aku mengendus-endus aroma di udara. "Enak banget," bisikku sembari melihat dua mangkuk sup makaroni. Ketika aku sudah memasukkan suapan pertama, ia menceletuk. "Bayaran gue masakin lo tidur di sini, ya." Aku spontan tersedak dan segera menuangkan air minum dari teko. "Tahu gini gue nggak bakal nerima tawaran lo. Harusnya juga gue hapal banget tingkah berengsek lo." Ia menyengir. "Ayolah. Kalau lo ngebolehin gue tinggal di sini, gue bakal masakin lo deh. Sama apa? Bersih-bersih?" Mataku menyipit. Aku mengetuk dagu dengan telunjuk. Aku membayangkan ia jadi pembantu gratisan yang kujahili. Aku akan membuang remah-remah snack saat ia membersihkan lantai. Atau mengacak-acak selimut setelah ia rapikan. Atau menjejakkan bekas sepatu saat ia mengepel. Lalu, tertawa berderai-derai saat ia berlutut meminta belas kasih dan maaf karena sudah menolakku beberapa tahun lalu. Membayangkan wajahnya yang merengek-rengek sungguh hiburan. "Ngelihat ekspresi lo kayak gini gue jadi pengen narik ucapan," katanya, membuyarkan imajinasiku. Tersadar sedang tersenyum licik, aku mengubah ekspresi dan berdeham. "Hm. Setelah gue pertimbangin, gue bakal nampung lo dengan berbagai syarat!" Ia berdecak. "Iya, makan dulu sana keburu dingin." Aku tersenyum hiperbolis dan menyantap makananku dengan riang. * Aku menempelkan sejumlah peraturan yang harus ia patuhi selama menumpang di apartemenku. Ia membaca dengan saksama dan mengetuk-ngetukkan jari ke pintu kulkas. "Lo mau bantu gue apa malah nyiksa, sih?" tanyanya frustrasi. "Ini nih, masa gue nggak boleh ngerokok?" "Gue alergi asap rokok! Penciuman gue juga tajam. Pokoknya kalau deket gue, dilarang ngerokok." Sudut-sudut bibirnya terangkat kesal. "Nggak boleh naik ke ranjang gue, apalagi buka lemari," aku membaca ulang peraturan yang kubuat. "Besok, gue bakal beli kelambu buat nutupin wilayah tidur gue." Aku menggerakkan tangan menunjuk ranjang. "Nggak boleh berisik kalau gue tidur." Ia mengetuk pintu kulkas lagi. "Nggak boleh khilaf, maksudnya apaan?" "Kali aja lo mau grepe-grepe gue?" Ia menarik sudut-sudut bibir. "Ngapain gue grepe-grepe lo?" "Pokoknya kalau salah satu peraturan dilanggar, lo harus bayar denda." Ia berdecak. "Nanti kalau duit gue turun, gue bakal bayar duit sewa buat lo." Bola mataku berputar ke atas, memandang langit-langit. Sudah mau memasak dan membersihkan apartemen, dibayar pula. Okelah. "Ya udah." Aku melempar bantal dan selimut untuknya. Ia kusuruh tidur di karpet sebelah ranjangku. "Jangan ganggu gue kalau lagi tidur. Apalagi foto-foto. Awas!!!" Ia tertawa tak bersuara. Ketika aku merapikan seprai dan bantal, tiba-tiba Ilalang menceletuk sambil melempar sesuatu ke mukaku. "Nih, beha lo jatuh di karpet." ***** Gampar ya Iota, ntar kebiasaan. BTW, seperti yang gue kasih tahu di work GINCU 1, banyak yang pengen baca buku Iota yang Si Tudung Merah. Nanti, gue bakal cetak tapi secara indie. Gue bakal kasih buat 10 orang pertama yang ikutan PO khusus. Nah, kalau ada yang bener-bener tertarik, gue bakal jual nih buku secara online (karena indie, jadi novel Iota yang Si Tudung Merah dan Serigala ga ada di gramedia, tapi beli khusus) Semisal kalian tertarik buat beli Si Tudung Merah sebelum ada PO GINCU 1 gimana? Ada ga? :D akan ada bonus lain yang bakal gue sertain di bukunya Iota buat yang tertarik beli. Gue modal sendiri buat Si Tudung Merah soalnya coi :') Jadi jangan tanya kenapa yang gratis cuma 10 :') :') :') Harga Si Tudung Merah bakal di bawah 50rb (belum ongkir) :) ITU KALAU KALIAN TERTARIK YA...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN