Ilalang, Ilalang

1534 Kata
"Oy, Io!" Perempuan bernama Nuansa itu menghampiri kami. Ia tersenyum semringah, membagi perhatian antara Ilalang dan aku. "Hai." Ilalang menyelipkan senyum. "Nggak nyangka kita ketemu lagi." "Apaan, lo susah dihubungi. Sok sibuk ngurus bedah buku di beberapa kota?" Ia meninju pelan lengan Ilalang Aku memerhatikan Nuansa dari puncak kepala sampai ujung kaki. Dandanannya fashionable dan sangat menarik. Wajahnya juga cantik dengan mata bulat dan bibir kecil. Aku memandang diriku sendiri. Sangat jauh. Pantas saja Ilalang suka dengannya. Aku menyurukkan kedua tangan ke jaket denim. "Gue," Ilalang membuka suara, agak berat, "udah terima undangan nikah lo. Selamat." Ia tersenyum. Bibir Nuansa mencebik. Ia mengulurkan tangan, mengacak-acak rambut Ilalang gemas. "Makasih, penulis gue yang suka ngerepotin. Eh, ini siapa." Nuansa memandangku. Badanku dirangkul Ilalang dengan sigap sampai merapat di lengannya. Aku melihat tangannya mencengkeram bahuku. "Pacar gue." Aku menoleh sambil memelotot. Seolah tak membiarkanku meralat ucapan ngelanturnya, Ilalang tersenyum hiperbolis dan menutup wajahku dengan tangannya, membuatku meronta berusaha melepaskannya. "Hm, gue seneng kalau lo punya pacar. Ingat? Trouvaille." Aku berhasil melepas tangan Ilalang dan mengatur napas. Kuulurkan tangan. "Filosofia." Tanganku disambut dengan jabatan ramah. "Namanya cakep. Ikut datang, ya. Semoga kita bisa ketemu lagi dan hang out." Sebelum berpisah, Nuansa menatap Ilalang dan melambai. Perempuan itu melenggang menuju mobil Honda Jazz yang diparkir di lapangan depan ATM Center, lantas melajukannya. Kudengar suara tawa Ilalang, membuatku memandangnya. "Harusnya lo sedih cewek yang lo suka mau nikah. Kok ketawa?" Ia membalas tatapanku. "Lucu aja." "Apanya yang lucu?" Ia mengabaikan pertanyaanku dan meraih ranselnya, melenggang menuju motor sport yang gagal ia jual. Aku mengekorinya. "Eh, lo ngapain ngaku-ngaku pacar gue!" seruku. Aku tersandung sampai menubruk badannya. Aku bertolak pinggang. Ia menatapku. Matanya menyipit. Tiba-tiba ia meniup poniku, membuatku mengedip cepat. "Minggir." Aku menahan setir motornya, membuat ia mendesah. "Anterin gue balik ke kantor." "Males." Ia mendorong motornya menjauh. Aku mencengkeram bahunya. "Udah minjem duit, gue tampung, nyebut gue pacar lo di depan cewek yang lo suka yang mau nikah biar nggak kelihatan menyedihkan amat, sekarang lo nggak mau tebengin gue?" "Gue ada perlu di kampus, Sopi." Bola matanya berputar. "Naik busway sana." "Macet. Gue disuruh buruan balik, nih." "Naik gojek." "Nggak ada duit receh." Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan uang lima puluh ribu "Nih." "Katanya lo nggak punya duit?" "Ya ini jatah bensin gue, pe'ak." Aku naik ke jok motornya dan melipat tangan di depan d**a. Sejujurnya, aku sengaja minta ia mengantarku sehingga aku bisa mencuri-curi cerita tentang cewek bernama Nuansa tadi. "Nebeng." Kedua tangaku menangkup kedua pipi. Aku mengedipkan mata berkali-kali sambil mencebikkan bibir. Aku merengek seperti anak kecil. "Kakak, tebengin adek." Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seringai jijik. "Nggak usah pasang muka gitu. Jijik." "Emang lo nggak bikin gue eneg kemaren pasang muka gini juga?" Aku mencebikkan bibir dan mengedipkan mata lagi, merengek, "Adek mau pulang. Mmm!" Ia mengetuk kepalaku, membuatku mengaduh. Pada akhirnya, ia menyerahkan satu helm yang digantung di bagian belakang motornya kepadaku. Aku tersenyum semringah dan segera memakai helm. Suara bising klakson kendaraan di sekitarku membuatku merapat padanya agar bisa mengeraskan suara. "Emang lo ketemu dia di mana?" "Ngapain tanya-tanya?" tanyanya, ikut berteriak. "Ih, gue penasaran. Jangan bikin gue penasaran, makanya. Lo kan tahu gue paling nggak suka dibikin penasaran sejak dulu." "Dia editor gue." "Terus lo baper karena sering ketemu dia, gitu?" "Gue lihat dia di acara award sastra di Jogja. Terus sengaja minta ke pihak penerbit buat kirimin dia jadi editor gue." Aku mengatupkan bibir rapat seraya menyipitkan mata. Tipikal Ilalang Rimba. Seenak jidat dan penuh perencanaan licik. Kecepatan motornya bertambah, membuatku mencengkeram pinggiran jok lebih erat. "Ilalang, Ilalang. Menghalangi pandangaaaan. Ilalang, Ilalang, jadi saksiii cerita malaaam," aku berteriak menyanyikan lagu Machica Mochtar. Ilalang sontak menatapku dari kaca spion. "Ngapain lo?" "Nyanyi buat hibur hati lo yang lagi pedih." Aku memamerkan deretan gigi. "Ilalang, Ilalaaang. Lihat langkahku goyaaang." "Lo ngeledek, ya?" "Ilalang, Ilalaaang." "Stop. Nggak berhenti nyanyi gue turunin lo di pinggir jalan." Aku tergelak melihat wajah masamnya. * Aku memandang kaleng soda yang kubawa pulang dari kantor. Selama di kantor, Mas Danu bersikap seperti biasa. Ia lebih banyak di ruang kerjanya dan jarang kelihatan seharian. Kurebahkan badan sambil menggenggam kaleng itu. Aku tak akan meminumnya. Kuraih ponsel, mengecek apakah ada pesan masuk. Hatiku berbisik, berharap ada pesan dari Mas Danu. Namun, tak ada apa-apa, membuatku mengerucutkan bibir. Aku membuka i********: untuk memposting swafoto dengan filter telinga kelinci di Instastory dan memanyunkan bibir. Saat membuka informasi penonton Instastory, aku mengerjapkan mata mendapati nama Nuansa Swara Respati. Tak berselang lama, ia membalas kiriman Instastory-ku. nuansa: U're so cute ugh :( nuansa: Semoga masih ingat gue /. Cute apaan kalau Ilalang saja jijik melihatku ber-aegyo ala orang Korea. filosofia: Kak Nuansa ya? Editornya Ilalang dulu. nuansa: Widih, dia marah nggak lo manggil nama asli dia? Lol. filosofia: Kadang :/ Kami terlibat obrolan panjang sampai saling mengikuti. Aku membuka foto-fotonya. Kebanyakan foto dirinya saat liburan ke beberapa tempat. Ada foto liburan ke Eropa. Ada juga foto bersama seorang gadis berkucir kuda yang memeletkan lidah. "Pantes aja tuh cowok berengsek suka sama dia. Cakep begini. Kelihatan asyik juga." Aku menatap langit-langit, membandingkan diri dengannya. "Lah, gue aja sama orang baru lama banget biar bisa akrab." Loh, kenapa aku malah minder? Ya sudah, biarkan saja kalau Ilalang menyukainya. Bodo amat. Aku menatap kaleng soda dari Mas Danu lagi. Kuperhatikan kaleng itu sambil menelungkupkan badan. Aku tertidur dengan tangan masih menggenggam kaleng soda itu. * "Duh, siapa yang kemarin nerbitin artikel Filo tanpa suntingan?" Kedatanganku di kantor disambut dengan suara keras Meri yang berseru seraya mengayun-ayunkan tablet. Aku menatap tim redaksi bergantian, termasuk Meri yang yang masih berdiri seperti kucing yang bulunya tegak hendak bertengkar. Meri memandangku. "Filosofia, kenapa lo nggak ngecek dulu sih sebelum ngeluncurin artikel!!" Aku masih menampilkan wajah bloon. k****a judul berita yang ditunjukkan Meri. Itu salah satu artikel yang kutulis kemarin, tentang kasus suap yang dilakukan seorang pejabat. "Emang kenapa, Mbak? Kan gue ikutin materi kayak kantor berita lainnya?" Meri menepuk jidat. "Bukan masalah materi, tapi namanya salah!" Ia memberantakkan rambut frustrasi. "Lo salah ketik nama dan ini sangat fatal! Kita dituntut pihak keluarga, dituduh pencemaran nama baik!" Aku membuka mulut. "Ya ampun, maaf, maaf. Biar gue perbaiki." "Nggak usah, udah telanjur rame! Lain kali sebelum ngirim ke copy editor, periksa yang bener! Siapa copy editor artikel ini?!" "Mas Husen, Mer. Nggak masuk kayaknya, anaknya sakit." "Mas Husen lagi. Mas Husen kalau dijejerin sama Filo, cocok emang! Sama-sama nggak becus! Dasar bego." Aku terenyak. Kalimat terakhirnya menohok. Aku mengatupkan bibir rapat. Meri melenggang gusar kembali ke mejanya. Aku memandang tim redaksi yang memberikan ekspresi berbeda-beda. Ada yang mengasihani, ada yang ikutan kesal. Aku melenggang keluar. Ketika berpapasan dengan Mas Danu, ia menatapku dan menahan bahuku. "Kenapa, Fil?" tanyanya. "Nggak apa, Mas." Aku menunduk dan melanjutkan langkah tergesa-gesa menuju toilet cewek. Begitu sampai di toilet, aku memandang cermin wastafel. Bibirku bergetar diikuti air mata meluncur. Aku terisak-isak dan mengusap mataku yang basah. Kutarik napas panjang dan mengembuskan pelan. Aku mencuci muka, meskipun hidungku merah dan mataku kelihatan sembab. Sebelum keluar, kuusap pipiku dan membasuh tangan. Begitu pintu toilet kubuka, aku mendapati Mas Danu yang sudah bersandar di dinding. Ia menyodorkan sekaleng soda dan tersenyum. Aku menerimanya dan menggumankan kata terima kasih. "Nggak usah dimasukin hati," katanya. "Nanti gue beresin soal tuntutan itu. Udah biasa yang beginian." "Tapi baru kali ini gue dikatain b**o di depan umum." Bibirku terkatup. "Meri emang gitu. Galak dan asal nyablak. Tapi, sebenernya dia melakukan itu buat kebaikan kantor berita ini. Sabar ya. Nanti gue kasih tahu dia biar nggak nyebut lo bego." Ia menepuk pundakku lembut. Sekali lagi, bibirnya menerbitkan senyum cerah, membuatku lebih tenang. * Sepulang kerja, aku mampir sebentar ke mal yang berjarak lumayan dekat dengan kantor. Aku memutari toko buku mencari-cari novel yang sudah sejak tiga bulan lalu ingin kubeli. Alih-alih menemukannya, mataku malah tertuju pada etalase best seller. Gadis Bertudung Merah dan Serigala yang Bertanya pada Tuhan Mengapa Ia Seekor Karnivora oleh Iotha Rho. "Hmm." Aku mengusap dagu. Pada akhirnya malah novel tak berguna itu yang kubeli. Aku membaca buku itu sambil menikmati secangkir kopi di kafe lantai teratas mal. Wah, sejenis kisah yang agak pilu. Dekonstruksi kisah Red Riding Hood. Dari sinopsisnya sih bercerita tentang Si Tudung Merah yang pergi ke rumah Nenek di hutan. Sama seperti dongeng aslinya. Bedanya, serigala yang seharusnya memangsa Si Tudung Merah justru jatuh cinta padanya. Meski mengambil tema Red Riding Hood, rupanya latar tempat dan waktunya tidak sama seperti versi dongeng asli. Ponselku bergetar. Aku membuka pesan yang dikirim Ilalang. Kubuang napas panjang, lantas mengemas barang-barang. * Seperti isi pesannya, ia benar-benar menungguku di depan pintu apartemenku. Ia membawa ransel camping. "Mau camping ke mana lo?" Ia meletakkan ranselnya ke lantai dan membuang napas berat. "Gue dilarang tidur di sekretariat atau masjid kampus, gue nggak punya temen deket yang bisa ditumpangi, gue belum punya cukup duit buat cari tempat tinggal sementara." Ia menatapku memelas. "Gue boleh nggak numpang di apartemen lo?" ***** Boleh sini main ke kos acu, gratis, malah ada layanan ples ples :) LAUNDRY MAKSUDNYA BTW, yang pada tanya siapa Seo Kang Joon, dia pemain di Cheese in The Trap wkwkwk. Nih mukanya:          BTW MAKASIH GAEZ. Banyak yang komen lagunya Machica yang Ilalang. Gue jadi punya bahan ejekan buat Iota boakakakakak *ketawa di bawah shower*
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN