Aku mengatur napas yang memburu setelah menyeret Ilalang dan mendorongnya sampai tidur di ranjangku. Gila, ngerepotin banget sih? Kuhela napas panjang seraya bertolak pinggang. Aku mendekatinya, berjongkok sekadar mengamati lebam biru dan darah mengering di wajahnya, seperti baru dipukul berkali-kali. Aku berdecak. Seharusnya ia tahu kalau aku paling benci dengan darah. Kalau sedang dihajar, setidaknya jangan ke apartemenku, dasar t***l! Aku mengangkat tinju gemas. Padahal, ia tahu aku punya hemophobia. Untung saja ia tidak datang dalam keadaan berdarah-darah seperti di film-film. Bisa kulempar ia ke luar dan membiarkannya pingsan di lorong.
Kuambil air di baskom dan handuk kecil. Sambil mengalihkan pandangan ke tempat lain, aku mengusap wajahnya.
Jantungku berdebar ketika tanganku digenggam. Mataku mendelik. Tubuhku kaku.
"Jangan... pergi...." Ia mengigau pelan.
Aku memandangnya. Matanya masih memejam. Kulirik tanganku yang masih berada di genggamannya.
"... Nu, Nuansa."
Sontak, aku berdiri dan melepas tanganku. Ia tampak terlelap. Bibirku mengatup rapat. Aku mendesah kasar dan tak mengacuhkannya lagi. Kubuka lemari dan mengambil kaus polos. Sebelum membuka baju, aku menoleh ke arahnya. Cepat-cepat kuganti bajuku dengan kaus tidur.
Aku duduk di karpet, menyandarkan punggung ke bufet sambil memeluk bantal, masih memandangnya. Perlahan, mataku terkatup dan sebuh ggelombang menyedotku ke alam mimpi.
Sekitar beberapa waktu aku berkelanam. Mimpi adalah alam bawah sadar yang membawa kejujuran tertunda. Meskipun hatiku berusaha keras membelot dan memerintahkan otakku untuk berhenti memikirkan sesuatu, otakku berkhianat di dimensi mimpi dengan mengirimkan gambaran-gambaran yang berusaha keras kubuang.
Saat duduk di bangku kelas 8 SMP.
"Gue suka sama lo."
"Kenapa bisa suka sama gue?" Ilalang yang masih mengenakan seragam karate menatapku remeh.
"Emang kalau suka harus ada alasannya, ya?" tanyaku. Antara polos dan g****k. Atau terlalu berani.
Ia tertawa mengejek. "Jangan suka sama gue. Gue nggak suka sama lo." Kemudian mencolek hidungnya dengan ibu jari, tanda mencemooh.
"Kenapa?" tanyaku, seperti pertanyaannya tadi.
"Karena lo jelek."
Lantas, aku pulang, menangis dan mengadu pada Mama bahwa orang yang kusuka mengejekku jelek. Mama tertawa, memelukku, mengatakan bahwa mungkin orang itu hanya bercanda. Aku masih saja menangis seperti anak kecil yang kehilangan permen.
"Dia jahat banget! Aku benci!" kataku berkali-kali.
Sampai kecelakaan nahas itu terjadi.
Aku dilarang datang ke pemakaman dan diminta untuk beristirahat di rumah sakit. Selain itu, karena aku belum sanggup berjalan, masih lemah. Yang kulakukan hanya menangis berhari-hari. Kejadian itu membuatku syok. Cita-citaku sebagai wartawan terkubur bersama tubuh Mama dan Papa.
"Oi, jelek." Dan ia datang, melempar boneka kepadaku. Aku melempar balik benda itu dengan muka masam.
Alih-alih tersinggung, ia hanya berdecak dan mengambil boneka itu. Lalu meletakkannya di nakas sebelah bangkarku. Aku berbaring membelakanginya. Ia masih duduk di samping bangkarku dan berkata:
"Buruan sembuh. Gue pengen banting lo di matras."
Aku bergeming.
"Pak Yanto tanya tuh lo kapan latihan lagi."
Hening.
"Nanti kalau udah sebesar mbak-mbak karyawan minimarket yang bahenol, lo boleh suka sama gue. Kali aja lo udah cakep."
Aku menoleh ke arahnya. "Pergi sana!"
"Oke." Ia berdiri, lantas menyentil dahiku, membuatku mengaduh kesakitan. "Nanti kalau udah gede dan gue jadi penulis terkenal, lo datang ke bedah buku gue dan liput acaranya ya."
"Gue nggak mau jadi wartawan!"
Ia berdecak. "Harus. Kalau lo nggak mau, kita nggak bakal ketemu lagi. Karena kesempatan kita untuk bertemu lagi hanyalah saat gue jadi penulis terkenal dan lo wartawan yang bakal wawancarai gue. Catet itu." Kemudian, ia berlalu pergi. Meninggalkan boneka berbentuk manusia kentang yang digeletakkan di meja.
Ia mengatakan hal demikian karena tahu bahwa Kakek dan Nenek akan membawaku pergi dari Jakarta.
Aku tersenyum dalam tidur. Ucapan yang serupa sumpah itu terpenuhi.
*
Alarm ponselku berdering keras, membuatku sontak mengangkat badan. Aku menggaruk kepala. Mataku setengah menyipit. Baru kusadari bahwa aku sudah berpindah ke ranjangku. Ketika melayangkan pandangan ke seantero tempat, aku tak menemukan Ilalang. Kapan ia pergi?
Kumatikan alarm ponsel. Aku bergegas menuju kamar mandi.
Sejam kemudian, aku sudah rapi di depan cermin. Kuraih ponsel, membuka riwayat terakhir. Dahiku berkerut melihat opsi kamera--padahal kemarin aku tidak membuka kamera sama sekali. Aku membuka galeri dan melihat satu video. Bibirku mengerucut ke depan melihat Ilalang yang sudah berpose di depan kamera dan berdeham.
"Oi, kebo. Makasih, ya. Sori ngerepotin. Gue semalem mabok, nggak sadar kalau nyamperin lo di sini. Kalau lagi sadar mana mau gue datang."
Sudut bibirku terangkat kesal.
Ia menyentuh lebam di sudut bibirnya, mendesis dan menatap kamera lagi. "Makasih." Ia tersenyum, membuatku ikut-ikutan tersenyum. "Ciye ciye langsung senyum. Udah ketebak banget reaksi lo bakal kayak gimana." Aku sontak menghapus senyum dan menggeram. "Nggak usah marah." Ia tertawa. Benar-benar menebak dengan tepat. Terakhir, ia merekam aku yang sedang tidur dengan kaki mengapit guling dan badan melengkung tak karuan. Aku memejamkan mata, malu setengah mati. "Astaga, gue baru tahu lo tidur kayak sipanse." Tawanya meledak.
Video berakhir. Aku menggenggam telapak tangan gemas, berharap bisa menghajarnya bila bertemu nanti.
*
"Pagi, Filo!" seru Mas Tama ketika aku datang dan duduk di kursi.
"Pagi, Mas." Aku tersenyum. Keadaan kantor sudah padat dan sibuk. Aku membuang napas, mengeluarkan ponsel dan meletakkannya ke atas meja.
Sebelah alisku terangkat melihat kaleng coca cola diletakkan di dekat komputerku. Aku meraih dan memutar-mutarnya. Ada secarik pesan yang ditempel dengan kertas post it.
Selamat pagi! :)
- Danuraga
Bibirku mengembangkan senyum semringah. Aku menggenggam kaleng soda itu. Sayang sekali kalau kuminum. Maka, kumasukkan ke dalam tas untuk kubawa pulang dan kusimpan.
"Filo."
Aku menoleh ke belakang, mendapati Meri yang menatapku. Entah ia tak suka denganku atau memang wajahnya memang begitu.
"Ya, Mbak?"
"Kamu ngadu ke Danu kalau gue kasih tugas?"
Aku menelan ludah susah payah. "Ah,anu, Mas Danu cuma tanya. Terus gue jawab aja ada tugas dari lo."
Meri menyingkirkan poni dan membuang napas panjang. Aku sadar, semua teman-teman redaksi mengarahkan perhatian ke arahku.
"Maksud lo apa, sih? Gue sampai dimarahi dia gara-gara lo, dasar tukang ngadu. Anak baru udah berani, ya."
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Kupandang Mas Tama yang memberiku kode melalui gestur kepalanya. Tampaknya, ia memintaku segera minta maaf.
Tapi, aku kan tidak salah....
Aku menggenggam telapak tangan. Kusunggingkan senyum simpul.
"Maaf, Mbak." Kutelan ucapan itu ke kerongkongan. Karena masih baru, aku tak berani membela diri, takut akan menimbulkan keributan. Sebab bila kulihat, Meri bukan tipe orang yang mau mengalah dan lebih senang memancing keributan.
Sesudah mendengar permintaan maafku, Meri melenggang gusar kembali ke mejanya.
Mas Tama menepuk pundakku. "Sabar. Kalau lo udah lama di sini, pasti biasa ngadepin sikap dia. Jangan kapok ya. Pressing di sini emang ketat. Kudu punya bekal mental yang kuat."
Aku menanggapi dengan senyum kecut.
*
Jalanan Jakarta saat siang membakar ubun-ubun. Aku membuang napas, tetap sabar di samping Mas Sardi yang bertugas sebagai fotografer. Kami diminta meliput acara demo mahasiswa.
Aku menghampiri salah satu dari mereka.
"Eh, Dek. Bisa dijelaskan nggak demo ini dalam rangka apa?" Aku menghidupkan rekaman di ponsel.
Cewek berkemeja kotak-kotak itu menggaruk kepala. "Nggak tahu, Kak. Cuma ikut-ikutan temen."
Bola mataku terputar. Aku tersenyum sumbang dan membiarkannya pergi. Mas Sardi tertawa.
"Kenapa ketawa, Mas?" tanyaku.
"Nggak apa. Lucu aja." Ia mengambil gambar-gambar lain.
Usai liputan lapangan, Mas Sardi pamitan untuk pergi lebih dulu untuk menjemput anaknya sekolah. Aku mengangguk dan melambaikan tangan saat ia melangkah menuju tempat parkir motor. Ia membawa serta helm yang tadi kubawa. Aku berniat pulang menggunakan busway. Perlu jalan agak jauh untuk mendapatkan halte.
Sepanjang jalan, aku mendengar lagu yang diputar secara acak dari ponsel. Kakiku berhenti saat melihat Ilalang yang sedang terlibat perdebatan dengan seseorang. Aku menghampirinya.
"Ah elah. Gue beli nih motor mahal, tahu. Masa mau dibeli murah. Itu udah keterlaluan!"
Mataku mendelik melihatnya menendang motor di sebelahnya. Setelah lama terlibat perdebatan, akhirnya urusan di antara mereka berdua selesai. Cowok yang diajak berdebat melenggang pergi meninggalkan Ilalang dan motornya.
Menyadari keberadaanku beberapa meter di depannya, ia melambai. Aku melepas earphone dan memasukkannya ke tas.
*
"Lo jual?!" Aku berteriak kaget, membuat beberapa pengunjung kantin pujasera menatapku.
Seakan ucapannya baru saja tak berarti, Ilalang tetap sibuk dengan buku yang ia buka.
"Biasa aja kali, Sop."
"Kok sampai jual motor? Penulis terkenal kayak lo jual motor?" Aku berdecak dan menggeleng-geleng.
Ia menatapku dan mendesis. "Gue butuh duit, kali. Royalti belum turun."
"Emang buat apaan?"
"Buat hidup, lah."
Aku mengentak kaki. Kurebut buku yang ia baca agar tatapannya bisa fokus padaku
"Lo kan bisa minta penerbit buat nurunin royalti cepet. Nama lo besar, tahu. Pasti dikasih."
"Gue bukan orang yang kayak gitu. Gue selalu ngikut jadwal. Sebesar apa pun nama gue, nggak etis ngerengek minta duit diturunin duluan." Ia merebut bukunya lagi dan memasukkannya ke ransel.
"Kemarin lo kenapa?" Aku menunjuk lebam di wajahnya. "Tuh, muka lo sampai gitu."
"Gue berantem sama orang di club."
"Kok bisa?"
"Cowok lagi mabok kalau nggak berantem nggak jantan namanya."
Aku menoyor kepalanya, membuat ia memekik.
"Lain kali kalau mabok dan abis berantem jangan nyasar ke apartemen gue!" Aku tak akan mengungkit-ungkin bagian ia memanggil nama seseorang bernama 'Nuansa'.
Ilalanh menatap motornya yang gagal ia jual. Ia berdecak. "Gue males keluar duit buat ke bengkel lagi. Makanya sekalian gue jual."
Aku menggigit bibir. "Terus, bokap lo nggak ngasih duit?"
Ia menyipitkan mata, kelihatan tak senang membawa ayahnya ke percakapan. "Justru gara-gara dia gue tambah sengsara. Mobil gue disita. ATM khusus buat nerima duit dia diblokir. Rumah udah dilelang, tinggal nemu pembeli. Tapi gue udah disuruh pergi duluan. Untung aja kemarin lo tampung."
Oh, jadi kemarin ia diusir dari rumah? Aku menyatukan alis.
Ia menggerutu lagi. "Padahal itu rumah warisan nyokap buat gue. Berengsek emang."
Aku mengedipkan mata kaget saat Ilalang mendadak berdiri, membuatku ikut berdiri. Ia memandang ke sebuah arah di mana terdapat seseorang tengah keluar dari ATM Center. Seseorang yang ia tatap menoleh dan melambai ragu. Aku memerhatikan rahang Ilalang yang mengeras. Tangannya mengepal.
Perempuan itu melangkah riang mendekati kami.
"Lo kenal?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Hm."
"Siapa?"
"Cewek yang gue suka dan udah jadi milik orang lain. Nuansa."
*****
Uthuk uthuk, katian dedek Io :( hidup memang perih.
Tapi acu lebih suka interaksi camu sama Sopi
Sopi
Entah kenapa tiap ngebayangin Iota, muka yang nongol selalu muka Seo Kang Joon alias Baek In Ho di CITT, I DUNNO WHY
Terserah kalian mau bayangin siapa, kayak semua karakter-karakter lainnya. Tapi tak bisa kupungkiri aku terbayang mukanya Kang Joon sampe bikin gelisah :( *lebay njir*