"Hah? Udah ada yang mau beli? Nggak boleh!"
Aku terperanjat mendengar seruan Ilalang yang tengah menelepon seseorang. Sambil bermain ponsel, kudengar sekalian pembicaraannya. Sesekali, aku melihatnya. Ia tampak serius dan panik. Bolak-balik ia mondar-mandir seperti setrika seraya memijit pangkal hidung dan mengacak-acak rambut.
"Haduh, bantuin gue, kek. Entah diapain, pokoknya rumah gue jangan sampai kebeli!" Cowok itu memutus sambungan. Ia mengumpat kesal.
"Rumah lo udah laku, ya?" tanyaku.
Ia menoleh dan mengangkat pundak. Mendadak, wajahnya murung. Aku bangkit dari rebahan dan meletakkan ponsel ke samping.
"Bokap lo jahat amat. Kok tega, sih?"
"Dia pengen gue tinggal di rumahnya. Mana mau gue serumah sama bini barunya yang sukanya ngedumel aja tiap hari. Bisa depresi gue ketemu dia tiap pagi. Ngelihat lo tiap bangun tidur aja udah bikin gue stres."
Sudut bibirku terangkat kesal. Untuk saat ini, aku tidak akan menanggapi olokannya. Aku beranjak menghampiri Ilalang yang duduk di depan meja makan. Kulipat tangan di depan d**a, menekan pinggang ke pinggiran meja.
"Cari cara deh biar rumah lo nggak laku-laku." Aku menekan bibir dengan telunjuk, membantunya berpikir.
"Ck. Percuma." Ilalang terlihat pasrah.
"Haesh. Jangan menyerah sebelum genderang perang ditabuh." Aku menjentikkan jari dan mengangakan mulut semringah. "Ah! Gue punya ide!"
*
Kantor dalam keadaan lengang. Karena pekerjaanku sudah kuselesaikan sejak beberapa jam lalu, aku punya waktu istirahat. Kuregangkan otot-otot dengan mengulat, lalu membuang napas. Teman-temanku tampak sangat fokus dengan pekerjaan. Untunglah, hari ini aku tidak mendapatkan tugas lapangan yang berat.
Aku membuka web w******p dan mengirim pesan ke Ilalang.
Filosofia: Gimana? Rencana dijalankan kapan nih?
Kami menyepakati rencanaku membantunya mempertahankan rumah yang sudah menemukan penjual. Meskipun awalnya ia menolak dan mengatai aku gila, pada akhirnya ia setuju karena tidak punya pilihan lain.
Ilalang: Bentar, orang suruhan gue belum ngabarin kapan pembeli datang buat cek lokasi.
Filosofia: Wkwk.
Ilalang: Kerja woi. Jangan streaming Jungkook mulu.
Aku mengerucutkan bibir.
Filosofia: Kerjaan gue hari ini udah kelar. Udah setor ke editor.
Filosofia: Gue nggak streaming, ogeb.
Filosofia: BTW kok lo tahu sih gue suka streaming Jungkook?
Ilalang: Gue tahu history YouTube lo. Parah. Baru tahu gue ternyata lo p*****t mampus.
Aku membulatkan mata dan memeriksa history YouTube yang lupa belum kuhapus. Aku membenturkan dahi ke meja melihat history YouTube yang dipenuhi video-video p*****t Jungkook BTS.
Filosofia: Lain kali nggak usah lancang liat-liat history gue!
Ilalang: Lah, salah sendiri hape nggak dikunci password. Itu baru history YouTube. Gue belum lihat history browser lo. Pasti isinya link bokep.
Filosofia: KAGA BGST
Ilalang: Nggak apa nggak usah malu. Ntar bagi gue ya linknya.
Filosofia: Oke :)
Ilalang: :)
Ilalang: Lagian lo kadang tengah malem suka ketawa sendiri. Ngeri tahu.
Filosofia: Ya nggak usah digubris. Pura-pura nggak denger dan urus sendiri urusan lo sana. Biarin gue bahagia kek ngeliatin cowok-cowok ganteng.
Ilalang: Udah gede masih aja alay.
Filosofia: SIAPA YANG ALAY?!
Ilalang: Elo lah. Dulu waktu SMP lo juga hobi koleksi poster-poster Justin Bieber yang lo beli di mamang-mamang depan gedung latihan. Terus suka nyanyi keras, Baby Baby sampe gangguin orang latihan.
Bibirku mencebik kesal. Ia bahkan masih mengingat kebiasaanku sewaktu SMP. Alih-alih tersinggung, aku malah tersenyum.
Filosofia: Namanya juga cewek. Maklumlah ngepens cowok ganteng. Lagian fangirling kan termasuk katarsis. Hiburan di saat sumpek, tahu.
Ilalang: Makanya cari pacar, jangan lama-lama jomlo.
Filosofia: t*i ya kamu :)
Ilalang: Bukan. Aku Iota Rho.
Filosofia: Hai, Iota. Aku Filosofia :)
Ilalang: Hai, salam kenal :)
Apa sih anjir. Malah nggak jelas. Setidaknya, Ilalang membuatku tertawa setelah dihantam pekerjaan yang bikin sakit kepala. Aku tak berhenti cengar-cengir berbalas-balas pesan dengannya.
Filosofia: Lo di mana?
Ilalang: Ciye kepo.
Ilalang: Gue di kampus. Ngurus film pendek.
"Ciye Filo, kayaknya di-chat pacar ya sampe nggak berhenti nyengir dari tadi." Mendadak Brenda muncul di belakang dan melongok isi chat-ku. Buru-buru aku menutupi layar dengan kedua telapak tangan. Namun, tampaknya Brenda sudah membaca beberapa. "Hah? Iota Rho? LO PACARAN SAMA DIA?!"
Teriakan Brenda sontak mengundang seluruh perhatian redaktur. Aku gelagapan dan menggoyangkan tangan.
"Bu-bukan!"
"CIYE FILO PACARNYA IOTA." Soffy berteriak tak kalah lantang.
"Eh busyet, perasaan baru beberapa minggu lalu wawancara udah main gebet aja." Mas Tama berdecak.
"Lo kenal sama dia udah lama?" Joni ikutan kepo.
"Pantesan Iota sering ke sini," sahut Mega.
Dan semua orang menggodaku bergantian.
Aku menggigit bibir bawah dan berbalik badan, menyembunyikan wajah sambil menyusupkan jemari ke rambut, tak punya kuasa membantah karena telanjur disoraki satu kantor.
"Ada apa rame-rame?" Suara Mas Danu menyurutkan keramaian. Ia memandangku sambil melemparkan senyum simpul yang Maha Ganteng.
"Ah, nggak apa, Mas. Anak-anak iseng," balasku cepat.
"Mas Danu nggak tahu ya? Filo ternyata pacarnya Iota Rho, loh." Mega terkikik.
Mas Danu menaikkan kedua alis, agak terkejut. "Penulis terkenal yang sering masuk koran kita?"
"Iya!" seru Dina.
"Eh, enggak. Sumpah!"
Mas Danu tersenyum lagi. Heran gue ini cowok hobi banget senyum. Sadar pesona apa ya kalau senyumnya bikin klepek-klepek hati Adek.
"Wah, bagus. Kalau ada wawancara sama dia biar Filo aja yang nangani." Ia menepuk-nepuk puncak kepalaku.
Ya elah, bikin baper saja cowok satu ini. Aku tersenyum canggung. Padahal, kukira ia menanggapi dengan ekspresi atau wajah kecewa. Ternyata ia tampak baik-baik saja. Duh, lagi pula untuk apa aku mengharap ia mencemburui Ilalang.
"Udah, balik kerja. Nanti kalau Meri balik ke sini kalian kena semburan." Mas Danu bertepuk tangan. Sebelum masuk ke ruangannya, ia memandangku dan mengepalkan tangan, memberi gestur menyemangati.
Aku mengembuskan napas.
Berat memang suka cowok yang nggak punya perasaan sama.
*
Aku membaca kumpulan berita tentang perkembangan kasus pembunuhan yang baru-baru ini santer. Pintu apartemen dibuka, membuatku mengalihkan perhatian dari laptop menuju Ilalang yang langsung melempar ransel ke arahku.
"Woi!" Aku berseru kesal.
Ia mengernyitkan hidung sembari tersenyum. Aku membuang ranselnya ke bawah dan lanjut membaca.
"Gue udah dapat kabar dari orang kepercayaan gue," katanya. "Dua hari lagi dia bakal nengok rumahnya."
Aku mengacungkan ibu jari. "Bagus. Kita jalankan misi." Aku mengusap-usap telapak tangan seraya menampilkan ekspresi serius hiperbolis.
Ilalang menyeringai. "Heran, kenapa gue mau aja ngikutin rencana g****k dan absurd lo. Dasar alien."
Tadinya aku ingin marah dikatai alien. Tapi mengingat aku pernah memperkenalkan diri pada Sheila sebagai alien dari planet BT, maka aku diam saja.
"Kalau gue alien, lo predator."
Bola mata Ilalang berputar ke atas seperti berpikir. "Hm. Bisa dimaklumi."
"Lo udah pernah nonton filmnya?" Lah, kenapa aku malah melemparkan pertanyaan macam itu, coba?
"Udah dong. Gue kan movie enthusiasts." Ia memasuki kamar mandi. Sebelum menutup pintu, ia melongok keluar. "Mau ikut masuk, nggak?" Ia mengedipkan sebelah mata.
"Apaan, sih." Aku melemparkan bantal berbentuk hati, kena dinding, membuat Ilalang cengengesan dan menutup pintu.
Selama mendengar suara gemercik air dari shower, aku membaca artikel berita. Pikiranku mendadak terdistraksi. Aku tercenung cukup lama. Pandanganku masih terpaku pada layar, tapi pikiranku tak ada di sana. Aku memandang ke samping seraya menumpu pundak ke atas lutut dan memeluk kaki.
Ingatan di tempat parkir waktu itu datang lagi. Tubuhku rasanya menghangat hanya karena mengingat saat-saat ia menarik dan memelukku, menghindarkan aku dari bahaya. Ia tampak biasa saja. Setelah itu pun ia mendorongku seakan tak terjadi apa-apa, sedangkan aku sudah dibuat berdebar.
Aku menyentuh d**a. Lagi-lagi jantungku berdebar. Hanya karena memikirkan kejadian itu! Keberadaannya benar-benar tidak baik bagi kesehatan jantungku. Ia harus segera pergi dari sini.
Debaran itu makin menjadi-jadi saat, secara berengsek, bayangan dirinya di bawah shower merangsek di pikiran.
"APA-APAAN!" Aku memekik luar biasa.
Seperti orang gila, aku mengacak rambut dan membenturkan dahi ke kasur, menekan bantal ke belakang kepala.
Haaa, berengsek, kenapa imajinasiku seliar ini. g****k.
"Ngapain lo nungging?" Suara Ilalang terdengar, membuat jantungku makin berdebar.
Syit, syit, syit. Iman gue harus kuat. Lo kuat. Lo kuat menanggung godaan Incubus k*****t itu! Tegarkan hati, Filosofia.
"Gue olahraga," kataku, masih mempertahankan posisi menungging dan menunduk sambil menutupi kepala dengan bantal.
Kudengar ia terkekeh. "Lo lagi mikirin gue, ya?"
"NGGAK!"
"Nggak usah ngegas, kali. Bilang aja, nggak apa."
Aku membuang bantal dan mengangkat kepala. Ia berdiri tak jauh dari ranjang dengan rambut acak-acakan dan basah. Ia mengusap-usap rambut dengan handuk sebelum melemparnya ke keranjang. Air menetes dari pucuk-pucuk rambutnya. Sebelah alisnya terangkat.
Ya Allah, sumpah, seksi banget.
"Ngapain lo ngelihatin gue kayak gitu?" tanyanya.
Jantung gue makin berdebar. Tolong Filosofia, Gusti. Aku membuang muka.
"Lo speechless lihat gue?" tanyanya, selalu tanpa disaring. Aku memelotot ke arahnya.
"Nggak."
"Itu, muka lo merah banget. Gue masih pake baju aja lo udah turn on. Gimana kalau shirtless?"
Rasanya seperti ada yang meninju ulu hatiku. "Astaga, enggak!"
"Masa?" Ia memiringkan kepala sedikit, memandangku dengan mata tajam dan senyum simpul.
"Jangan lihatin gue kayak gitu dong. Ah, pergi sana!" Aku membuang muka.
"Lo sendiri yang manggil gue predator," katanya seraya mendekat.
Aku menoleh, melihatnya sudah ada di sebelahku dengan kedua tangan menekan kasur. Jarak di antara kami hanya beberapa senti. Aku menelan ludah.
"Menjauh sana!" seruku.
"Lo coba yang menjauh. Gue nggak bisa nih," bisiknya dengan tatapan seduktif. Duh, sialan.
Alih-alih menjauh, tubuhku rasanya kaku dan tak bisa bergerak. Matanya turun ke bawah. Memandang tepat di bibirku. Sepertinya, ia sengaja melakukannya untuk mengerjaiku.
"Seratus juta!" kataku. "Dendanya."
Ia menyeringai. "Duit segitu kecil buat gue. Nanti, gue kasih."
APA PULA SI BERENGSEK INI. KENAPA KELIHATAN SERIUS.
Ketika ia naik ke ranjang, aku spontan mundur.
"Lo, mau ngapain?"
"Menurut lo?" tanyanya, makin mendekat.
Wah, lo nantangin gue ya. Sok sok jadi superior ya? Gue nggak selemah itu, Bung!
"Lo nantangin gue?" tanyaku.
Sebelah alisnya terangkat. Sebelum membalas lagi, aku mendorongnya hingga telentang.
Lalu, mencium tepat di bibirnya.
*****
Ilalang telah menemukan lawan yang seimbang, Bung. Mari kita lihat bagaimana perkembangan dua makhluk absurd ini.
Aqu