CHAPTER 4

1390 Kata
Isabelle melangkah ragu menatap bangunan tinggi yang menjulang di hadapannya. Untuk perusahan besar seperti yang dikatakan ayahnya, daerah ini cukup terpencil. 'Apakah benar ini tempatnya?' batinnya dengan perasaan tidak yakin. 'Tapi alamatnya memang benar. Kenapa mereka mendirikan perusahaan di tempat tersembunyi seperti ini?' Isabelle bergidik membayangkan pekerjaan-pekerjaan mengerikan yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang berada di dalam gedung itu. 'Bagaimanapun juga kan mereka bergerak di bidang keamanan,' pikirnya gelisah. 'Ya ampun. Kegilaan macam apa yang akan kutemukan di sini?' pekik Isabelle dalam hati. Isabelle hampir berteriak kaget ketika seseorang berdehem dari belakangnya. "Apa yang anda lakukan di sini, Miss? Tidakkah kau berniat untuk masuk?" ucap seorang pria yang tadi mengizinkannya masuk gerbang sebelum memarkir mobilnya. Dari name-tag nya, Isabelle tahu bahwa pria itu bernama Ferdinand Hayes. Perawakannya gagah, sesuai untuk pekerjaannya sebagai penjaga gedung besar di depannya itu. "Oh, tidak-tidak, eh.. maksudku iya. Aku hanya tidak yakin ini benar-benar gedung yang kumaksud," jawabnya dengan senyum sedikit terpaksa. Pria itu hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Bukankan namamu Isabelle Collins? Kalau memang iya, berarti kau tidak salah tempat, Miss. Kalau namamu tidak ada dalam daftar pengunjung hari ini, kupastikan kau tidak akan bisa melewati gerbang tadi." "Ah, begitu." Isabelle menelan ludahnya dengan gugup. "Baiklah, kalau begitu aku akan masuk ke dalam," tambahnya dengan sedikit terburu-buru sebelum bergegas memasuki gedung di hadapannya. Isabelle disambut oleh resepsionis wanita yang mungkin seumuran dengan ibunya, tapi bedanya wanita itu memiliki senyum yang tulus, berbeda jauh dengan ibu Isabelle. "Apakah kau adalah Miss Isabelle Collins? Senang sekali bertemu dengan seorang rekan kerja wanita di sini," ucapnya dengan raut wajah berseri-seri, membuat Isabelle merasa diterima namun juga kebingungan. "Benar, emm.. namaku Isabelle. Apa maksudmu dengan perkataan tadi? Memangnya tidak ada staf wanita di sini?" tanyanya dengan dahi berkerut. Perasaannya semakin tidak menentu. Wanita itu tersenyum. "Setahuku selain diriku dan beberapa wanita yang sering membantu membersihkan tempat ini, tidak ada lagi yang lain. Lagipula para perempuan itu hanya berada di sini kalau sedang dibutuhkan saja," ungkapnya membuat Isabelle melongo. 'Hanya ada dua perempuan di gedung ini termasuk diriku?' pekik Isabelle dalam hati. "Aku tidak akan menahanmu di sini lebih lama lagi, karena kau telah ditunggu. Di lantai teratas, Sayang. Semoga beruntung," katanya sambil mengedipkan matanya pada Isabelle dan melambaikan tangannya dengan gerakan mengusir. Isabelle yang masih kebingungan, setengah sadar melangkahkan kakinya ke lift yang berada di sudut belakang lobi dan menekan tombol untuk naik ke lantai teratas. Ia merasa bodoh sekali ketika menyadari bahwa tadi ia lupa bertanya ruangannya di sebelah mana. "Ah sudahlah, lagipula sudah terlanjur. Semoga ada orang yang bisa ditanyai," harapnya. Sesampainya di lantai 15, yang merupakan lantai tertinggi gedung itu, Isabelle tidak perlu waktu lama untuk menemukan ruangan yang dicarinya, karena ternyata di sana hanya ada satu ruangan. 'Syukurlah. Aku tidak perlu kebingungan mencari ruangannya,' batinnya dengan perasaan lega. Isabelle melihat pegawai pria di depan ruangan itu. 'Mungkin sekretaris atasan di sini,' ucapnya pada diri sendiri. "Selamat siang. Apakah anda adalah Ms. Isabelle Collins?" tanya pria itu dengan raut wajah yang terlihat terlalu gembira. "Ya, itu benar," ucap Isabelle dengan nada ragu. Ia merasa orang-orang yang ditemuinya di gedung ini kelewat ramah, kecuali pria penjaga gerbang depan tadi tentunya. "Sebaiknya langsung masuk saja sekarang. Kau sudah ditunggu, Miss. Bos sudah ada di dalam." Isabelle melangkah mendekati pintu dan melihat tulisan CEO di sana. Lalu ia mengernyit bingung. 'Kenapa aku langsung bertemu dengan CEO nya? Bukankah harusnya diwawancarai oleh bagian HRD?' Isabelle berbalik menatap pria tadi, tanpa kata mencoba memastikan bahwa ia tidak salah ruangan. Namun pria tadi hanya mengangguk dan tersenyum lebar. Ia kembali menatap pintu itu, menghirup napas dalam untuk mempersiapkan diri. "Baiklah, apapun yang terjadi kuharap semuanya akan baik-baik saja," gumamnya pelan, penuh harap. Ia mengatakan itu seolah mengucapkan sebuah mantra yang bisa menyelamatkannya dari hal buruk yang mungkin saja terjadi. Isabelle mengetuk pintu dan membukanya setelah mendengar perintah untuk masuk. Ia memandang ke sekeliling ruangan setelah melihat kursi kosong tanpa pemiliknya. Tanpa terelakkan, matanya terpaku pada sosok pria yang berdiri membelakanginya, menghadap ke arah luar melalui dinding kaca yang menunjukkan lebatnya pohon-pohon hijau. "Selamat siang, Sir," ucap Isabelle dengan sedikit gugup, walaupun ia sudah berusaha untuk membuat dirinya lebih tenang. Tanpa berbalik pria itu berkata, "Silahkan duduk," titahnya dengan suara bariton yang tegas. Isabelle berusaha berjalan sepelan mungkin agar tidak mengganggu ketenangan di ruangan itu. Beberapa menit kemudian tidak terjadi apa-apa, yang tentunya membuat Isabelle kesal tapi juga semakin gugup. 'Apa sih maksud orang ini? Dasar manusia sombong!! Tidak tahu apa aku seperti orang bodoh di sini?' makinya dalam hati. Kalau saja tatapan bisa membunuh, pasti laki-laki angkuh di depannya itu sudah tidak bernyawa lagi. Isabelle mengetukkan sepatunya pada lantai dengan tidak sabar, berharap penantiannya segera berakhir. 'Ayolah, tolong kasihani aku,' batinnya dengan penuh harap. "Kau tahu kenapa kau ada di sini sekarang?" Suara pria itu mengejutkannya. Namun sebelum ia berhasil menemukan jawaban yang tepat, pria itu membalikkan tubuh dan menunjukkan wajah yang ternyata tampak luar biasa tampan. Isabelle membuka dan menutup mulutnya berkali-kali karena terlalu gugup untuk mengeluarkan kata-kata. Ia terpesona dengan wajah laki-laki yang baru dilihatnya selama beberapa detik itu. "Oh, aku.. maksud saya iya. Ayah saya sudah mengatakannya," jawabnya dengan bibir gemetar. Mata biru gelap pria itu menatapnya dengan sangat tajam membuat Isabelle tidak mampu menatapnya terlalu lama. Jantungnya bertalu-talu dengan kecepatan yang agak mengkhawatirkan. "Seberapa jauh pengetahuanmu tentang perusahaan ini? Dan apakah kau mengetahui siapa aku?" tanya pria itu. "Emm," Isabelle menggigit bibir bawahnya sambil berpikir. "Sebenarnya tidak banyak yang saya ketahui, Sir. Maaf, tapi saya hanya tahu kalau perusahaan ini bergerak di bidang keamanan," jawab Isabelle dengan mata menatap lurus ke arah dasi yang dikenakan pria di hadapannya itu. "Dan kau berani menghadapku hari ini?" Isabelle semakin ketakutan sekarang. Ia bertanya-tanya apakah hari itu adalah hari pertama dan terakhirnya menginjakkan kaki di bangunan itu. Karena jujur saja Isabelle tidak yakin ia akan diterima. "Maafkan saya, Sir. Tapi ayah saya tidak mau mengatakan apa-apa tentang anda. Beliau hanya mengatakan bahwa saya hanya perlu datang ke sini dan melakukan wawancara." Isabelle menunduk ketakutan. Ia memainkan tangannya sendiri untuk mengurangi kecemasannya. "Baiklah," jawabnya singkat lalu bergerak dan berjalan ke arah kursi di depan Isabelle yang sedari tadi dibiarkan kosong. Jantung Isabelle berdegup dengan sangat kencang seiring kedekatannya dengan pria yang terlihat menakutkan itu. "Di mana file yang kuminta?" ucapnya dengan nada tajam. Secepat kilat, Isabelle mengulurkan file yang berisi riwayat hidup dan pendidikannya. Tanpa kata, pria di hadapannya itu mengambilnya dan membaca sekilas. Isabelle meremas jari-jarinya yang bertautan, menunggu keputusan. "Kau tahu apa yang akan kau lakukan di sini?" Isabelle mengangguk dan menjawabnya pelan. "Sebagai asisten pribadi," cicitnya sebelum menelan ludah yang terasa mencekik lehernya. "Benar. Untuk itu kau harus tahu bahwa perintahku harus kau lakukan tanpa terkecuali. Kalau kau keberatan katakan sekarang atau tidak sama sekali. Aku tidak akan menoleransi keteledoran dalam bentuk apapun, mengerti?" Isabelle membuka mulutnya untuk memprotes, tapi tatapan mata laki-laki itu, yang terlihat tak terbantahkan membuat Isabelle sontak mengurungkan niatnya. Ia menganggukkan kepalanya dengan lemah. "Baik, Sir." "Good. Sekarang perintah yang harus kau lakukan pertama kali yaitu jangan menggunakan bahasa formal padaku. Aku tidak setua itu." "Baik, Sir," jawabnya gugup. "Sudah kubilang jangan formal!" tegurnya agak keras, membuat Isabelle terlonjak kaget. "Eh, baik..." Isabelle memaki-maki dirinya ketika menyadari bahwa ia tidak mengetahui nama pria itu. "Namaku Rafael Knight, dan kau harus menyimpan nama itu di dalam memorimu. Jangan pernah melupakannya," ucapnya sebelum menyerahkan file Isabelle dan melanjutkan pekerjaannya di laptop yang masih terbuka. Isabelle kebingungan ketika dibiarkan begitu saja tanpa perintah apapun. Dengan kening berkerut, Isabelle memandang wajah serius pria yang sekarang sudah ia ketahui namanya. Rafael Knight, nama yang cocok untuk laki-laki setampan itu. Isabelle mengucap nama itu berkali-kali dalam hati agar mudah melekat dalam ingatannya. Hampir setengah jam kemudian, Isabelle masih di sana, di kursi yang sama, namun dengan emosi yang mengepul. 'Ya ampun. Apa sih salahku sampai harus seperti ini? Dasar pria menyebalkan. Kalau saja dia bukan atasanku, pasti sudah kukubur hidup-hidup. Apakah di dunia ini ada orang lain yang semenyebalkan dia?' batinnya dengan raut wajah bersungut-sungut menatap pria kejam itu. Isabelle menyiapkan dirinya untuk meminta izin keluar jika tidak diperlukan lagi. Namun sebelum kata-kata itu terucap, atasannya terlebih dulu mengucapkan, "Kau tetap di sini." Isabelle mengerang dalam hati dan dengan lesu menyandarkan tubuhnya di punggung kursi tempatnya duduk. 'Hmm, setidaknya kursi ini terasa nyaman. Peduli setan dengan pria itu,' pikirnya dalam hati tanpa sadar menutup matanya yang mengantarkan ia ke alam mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN