Isabelle bangun beberapa jam kemudian dengan perasaan kaget. Ia sama sekali tidak berniat untuk tidur dan sekarang ia menemukan dirinya berbaring di sofa empuk yang terletak di dekat dinding kaca. Isabelle mendudukkan tubuhnya dan mengamati sekelilingnya dengan was-was.
'Ya ampun. Dia masih ada di sana?' pekiknya dalam hati ketika melihat Rafael Knight masih di tempatnya semula. 'Apakah dia yang memindahkanku ke sini?' batinnya ragu.
Ia melangkahkan kaki ke arah pria itu dan bertanya, "Apakah kau yang memindahkanku ke sana?" tanyanya dengan nada tidak yakin.
Rafael hanya menggumam tidak jelas menjawab pertanyaan Isabelle, sedangkan tangannya masih bergerak dengan lincah di atas keyboard laptopnya.
Isabelle menggaruk kepalanya karena kebingungan. "Boleh aku duduk di sini?" tunjukknya pada kursi yang tadi didudukinya.
"Hmm," jawab Rafael singkat tanpa menatap Isabelle.
"Apakah tidak ada sesuatu yang bisa kulakukan? Bukankah aku harusnya bekerja sebagai asisten pribadi?" tanya Isabelle penasaran.
Rafael akhirnya mendongakkan kepalanya, dan menatap Isabelle dengan pandangan yang sulit diartikan. "Saat ini aku belum membutuhkanmu. Kau hanya perlu berada di sini saja," jawabnya tegas sebelum kembali melihat layar laptopnya.
"Aku tidak boleh keluar?" Isabelle kembali bertanya yang hanya dijawab dengan gelengan pria di depannya itu. Bahu Isabelle terkulai kecewa.
"Huh, tapi ini sangat membosankan," gumamnya pelan pada diri sendiri.
Rafael kembali mengangkat kepala, lalu menaikkan alisnya menatap Isabelle. "Kalau bosan, kau bisa berkeliling di ruangan ini. Menurutku ruangan ini cukup luas," ucapnya dengan nada ketus yang sangat menjengkelkan bagi Isabelle.
Isabelle membulatkan matanya, betanya-tanya apakah tadi ia mengatakan itu dengan keras. 'Sepertinya tidak sekeras itu sampai terdengar orang lain,' batinnya gugup. Kemudian ia menggelengkan kepala mencoba untuk mengenyahkan pikirannya yang melantur.
"Apakah kau yakin tidak ada yang bisa kulakukan di sini?" tanya Isabelle dengan selipan nada memohon.
Rafael mengerutkan dahinya memandang Isabelle seakan sedang berpikir dengan sangat keras. "Mungkin kau bisa membantuku memeriksa dokumen ini," ucapnya sambil menunjuk kertas-kertas yang masih berserakan di depannya.
Isabelle memperlihatkan semangatnya setelah itu. Bertanya ini itu kepada Rafael mengenai hal-hal yang harus dilakukan. Ia sendiri sadar atasannya sering menatapnya ketika Isabelle fokus mengerjakan tugasnya. Namun ia tidak terlalu menghiraukannya, berpikir bahwa itu adalah cara Rafael memantau pekerjaannya.
"Kau sudah mengerti?" tanya Rafael ketika tidak ada pertanyaan yang dilontarkan oleh Isabelle padanya setelah berpuluh-puluh menit berlalu.
"Hmm,' Isabelle bergumam, sambil menganggukkan kepalanya tanpa menatap Rafael. Ia sedang sangat fokus dengan berkas yang sedang dibacanya, takut jika ia melewatkan kata-kata penting.
Rafael yang tidak mau diacuhkan begitu saja, kemudian berdehem untuk mengalihkan perhatian Isabelle kepadanya.
Perempuan itu memandang Rafael dengan raut bingung dan alis terangkat, tanpa kata menanyakan apa yang salah. "Kau harus menatap orang yang mengajakmu bicara, Belle."
Isabelle sedikit takjub mendengar atasannya mengucapkan nama panggilannya, 'Rupanya dia sama sekali tidak bercanda ketika memintaku memanggilnya dengan panggilan santai. Lihat betapa fasihnya dia menyebutkan namaku,' pikirnya agak sarkastis.
"Ah, baiklah. Aku mengerti," ucap Isabelle mencoba menenangkan ego atasannya yang terluka.
Rafael mengangguk. "Dan sebelum aku lupa, ada beberapa dokumen yang harus kau tanda tangani. Isinya semacam kontrak kerja. Kau bisa mengambilnya di sekretarisku nanti. Tapi tidak perlu terburu-buru. Selesaikan saja pekerjaanmu saat ini."
Isabelle mengangkat bahunya, dan melanjutkan pekerjaannya hingga waktu makan siang telah tiba.
"Ayo kita keluar untuk makan siang," ucap Rafael padanya. Isabelle menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, tidak sadar waktu berlalu secepat itu.
'Pekerjaan ini tidak semenakutkan yang kukira ternyata,' pikirnya saat menata kembali berkas-berkas yang berserakan di depannya. 'Atau jangan-jangan karena atasanku yang luar biasa tampan bisa membuatku betah?' Isabelle mencoba mengenyahkan pikiran itu sebelum meracuni otaknya yang terkadang agak kacau.
Isabelle memandangi sosok pria di depannya itu ketika berkasnya sudah rapi. Atasannya masih menatap layar komputernya, kemungkinan untuk menyimpan dokumen-dokumen yang tadi sudah diperiksa.
Saat Rafael sudah selesai, Isabelle segera mengalihkan pandangannya supaya tidak tertangkap basah ketika menatap atasannya itu.
Rafael melangkah ke arahnya, tanpa peringatan menggandeng tangannya dan menariknya keluar dari ruangan. Isabelle memekik pelan karena kaget. Namun tidak berhasil mengatakan sesuatu setelahnya karena diseret begitu saja. Setengah sadar ia melangkahkan kaki mengikuti langkah lebar seorang Rafael Knight.
"Selamat siang," ucap sekretaris Rafael saat melihat mereka keluar ruangan. Pria itu tidak bereaksi apa-apa melihat tangan Isabelle yang berada dalam genggaman Rafael. Dia hanya menunjukkan senyum lebarnya seperti saat pertama kali bertemu dengan Isabelle pagi tadi.
Isabelle sedikit kebingungan. 'Apakah perlakuan Rafael ini sudah biasa di depan karyawannya? Apakah ia sering menggandeng perempuan-perempuan lainnya seperti ini?' batinnya gusar. Tiba-tiba ada rasa cemburu yang menyerangnya. 'Ada apa sih dengan diriku? Aku kan baru setengah hari mengenalnya. Sadarlah Belle, dia atasanmu dan kau hanya bekerja untuknya,' tegurnya pada diri sendiri sembari menghirup napas perlahan untuk menenangkan batinnya yang berkecamuk.
Selama perjalanan menuju tempat parkir, banyak mata yang memandang mereka. Rafael tidak terlalu memedulikaannya, tapi Isabelle bisa melihat dengan jelas dan merasa tidak nyaman. Penghuni gedung ini kebanyakan laki-laki bertubuh gagah dengan raut wajah sedikit menakutkan.
Tatapan penasaran diarahkan kepada Isabelle secara diam-diam, namun baginya tatapan mereka terlihat sangat kentara. "Kenapa mereka menatapku seperti itu?" bisiknya pelan.
Rafael yang mendengar bisikan itu menoleh ke arah Isabelle. "Hiraukan saja mereka. Kau harus terbiasa dengan semua ini. Mereka hanya penasaran. Tidak akan ada yang ingin berniat buruk padamu, Belle. Aku akan memastikan itu," ucap Rafael yang sekarang telah memindahkan tangannya ke pinggang Isabelle.
Awalnya Isabelle menolak karena takut disangka yang tidak-tidak oleh para karyawan lain di sana. Namun lama-kelamaan ia menyerah. Pertama karena ia tidak mampu menyingkirkan tangan besar itu, dan yang kedua karena ia merasa aman dari apapun yang mengancamnya saat berada dalam rengkuhan Rafael. 'Oh baiklah, mungkin itu hanya alasannku saja. Tapi ini terasa benar, karena semua yang ada pada Rafael terasa benar,' ucapnya sambil berusaha untuk membenarkan perbuatannya sendiri.
Sesampainya di luar bangunan itu, sudah ada mobil yang disiapkan. Di sampingnya terlihat pria penjaga gerbang pagi tadi, 'Ferdinand Hayes,' batin Isabelle setelah membaca name tag pria itu sekali lagi.
Tanpa banyak bicara, pria itu membukakan pintu belakang untuknya dan Rafael, sebelum memasuki ruang kemudi. Setelah menerima instruksi dari atasannya, pria itu menyalakan mesin mobil dan mengemudikannya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang bisa dibilang sepi itu.
Berpuluh-puluh menit kemudian akhirnya ada peradaban yang muncul. Tempat itu seperti kota di tengah-tengah hutan, namun bangunan-bangunannya terlihat modern. Isabelle mengamati sekelilingnya dengan pandangan takjub. Di sana ada restoran, toko pakaian, bahkan gedung bioskop. 'Luar biasa. Di tempat terpencil ini semuanya sudah lengkap,' pikirnya, masih dengan menatap pemandangan yang mereka lewati.
Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan restoran yang terlihat sangat elegan. Rafael kembali melingkarkan tangan ke pinggang Isabelle yang sibuk menatap pemandangan di sekitarnya.
Seketika itu pula, tatapan orang-orang dialihkan padanya. Kali ini dengan terang-terangan. Isabelle mengerang dalam hati. 'Ya ampun, ini jauh lebih parah. Apakah di sini jarang ada orang asing?'
Sedangkan Rafael tanpa mempedulikan tatapan mereka, membawa Isabelle masuk ke dalam tempat itu dengan melewati berbagai macam orang yang sedang menikmati makan siang mereka.
Isabelle mendengar bisikan-bisikan tidak jelas yang terdengar seperti 'Luna' yang membuatnya mengernyitkan dahi dengan bingung.
'Luna? Apa maksudnya? Apakah itu semacam panggilan untuk orang asing?' batinnya bertanya-tanya.
Tanpa sadar Isabelle merapatkan dirinya pada Rafael untuk menghindari tatapan-tatapan itu.
Dan tanpa diketahui oleh Isabelle, ujung-ujung mulut Rafael terangkat membentuk senyuman puas.