“Aku dihina karena mama dan aku juga ingin mama merasakan hal yang sama. Dihina karena aku!”
Farfalla masuk ke kamarnya, membuka lemari dan mencari pakaian terseksi yang ia punya. Malam ini Farfalla ingin menjadi kupu-kupu, kupu-kupu yang cantik seperti Arinee, mamanya.
Ia tersenyum di depan kaca, penampilannya saat ini jauh lebih tua dari usianya. Bagaimana tidak, wajahnya sudah ia poles dengan bedak kepunyaan Arinee, bibirnya juga sudah ia lapisi dengan lisptik warna merah muda dan sedikit lebih berminyak. Gaun yang ia kenakan tampak lebih ketat di tubuhnya, gaun itu dibelikan Arinee beberapa bulan yang lalu ketika usianya genap tujuh belas tahun. Sekarang berat badan Farfalla sudah naik dua kilo, beberapa bagian tubuhnya terlihat sedikit membesar dari sebelumnya.
Farfalla yang biasanya tampil tertutup dan mengurung diri serta minder dengan keadaan keluarganya kini tengah bersiap untuk menampilkan diri ke tengah publik dengan wajah yang baru. Ia akan menyusul Arinee, ia akan menajadi seperti mamanya karena ia gerah dengan sebutan serta sindiran orang kepada dirinya. Mamanya juga harus merasakan bagaimana di sindir dan di hina, jika sudah begitu baru namanya impas.
“Perfect!” Mulut Farfalla bergumam.
Tapi, ia menghentikan langkah kakinya sebelum tangannya menyentuh gagang pintu.
“Kemana tujuanku? Aku sama sekali tidak pernah keluar di malam hari.”
Ada keraguan yang Farfalla rasakan ketika ia berniat keluar dari rumah dengan penampilan seperti ini, bukan ragu karena ingin terjun ke dunia malam melainkan ragu karena Farfalla sendiri tidak tahu tempat yang akan ia tuju.
Lalu Farfalla kembali ke kamarnya, ia mengganti gaun yang ia pakai dengan celana jeans warna biru tua, baju kaus putih dan jaket kulit yang senada dengan celana. Dengan mantap, Farfalla melangkahkan kaki keluar rumah.
Angin malam menerpa wajah Farfalla, rambutnya yang panjang bergerak-gerak mengikuti arah angin. Farfalla menarik jaketnya lebih kuat lagi untuk melindungi tubuhnya dari terpaan angin.
Cukup jauh ia berjalan, hingga ia sampai di sebuah persimpangan jalan. Tempat itu cukup ramai, banyak anak muda yang duduk di trotoar sambil bernyanyi dan bermain gitar. Beberapa cemilan dan minuman kaleng berserakan di samping mereka. Tampak jelas mereka menikmati malam mereka dengan hati dan perasaan yang bahagia. Senyum dan tawa mereka telah membuktikan jika hidup mereka tidak sama dengan Farfalla. Mereka terlihat bebas tanpa beban pikiran, sedangkan Farfalla merasa tertekan.
Farfalla mengambil tempat tidak jauh dari kumpulan tersebut. Ia duduk di pinggir trotoar untuk menghilangkan penat di kaki. Matanya tertuju pada penjual gerobak di seberang sana, lalu Farfalla merogoh saku jaketnya, kosong ... tiada apapun di dalam sana. Ia tidak memiliki uang sama sekali. Farfalla menelan ludah menyaksikan makanan dan minuman yang tidak bisa ia beli.
“Ini ....” Seseorang mengulurkan sebuah minuman kaleng.
Farfalla mendongak, melihat pada seseorang yang membungkuk disampingnya. Ia tersenyum dan mengambil tempat di samping Farfalla.
“Ambillah,” katanya lagi.
Farfalla tersenyum kecil dan mengambil minuman yang wanita itu tawarkan, karena memang keadaannya ia butuh minuman tersebut untuk menghilangkan rasa hausnya. Ia menarik pengait di atas minuman kaleng tersebut hingga membentuk celah dan meloloskan beberapa teguk cairan bersoda itu ke tenggorokannya.
“Kamu sepertinya bukan anak sini,” tanya wanita itu ramah.
Farfalla menggeleng, “Aku tadi berjalan jauh hingga sampai ke sini,”
“Kamu kabur dari rumah?”
“Tidak! Aku hanya suntuk berada di rumah.”
“Ho-oh.” Ia mengangguk, dan sepertinya tidak tertarik lagi untuk menanyakan lebih lanjut keadaan Farfalla.
“Aku Carla.” Ia menyodorkan tangan kanannya dan memperkenalkan diri.
“Aku Farfalla.” Farfalla menyambut uluran tangan Carla dan tersenyum ketika tangan mereka berjabatan dengan erat.
“Aku tinggal gak jauh dari sini, ngekost. Kamu kuliah dimana?” tanyanya dengan akrab.
“Heeh, aku masih sekolah, kelas sebelas,” ungkap Farfalla jujur.
“Oh ya? Aku pikir sudah kuliah.” Carla menunjuk dan membuat lingkaran di sekitar wajahnya.
Farfalla tersenyum lebar, ia baru sadar jika ia belum menghapus make up yang ia pakai tadi.
“Aku lupa menghapusnya,” jawab Farfalla sambil tertawa.
Carla menganggukkan kepala. Lalu....
“Mau gabung di sana?” Carla menunjuk sekumpulan anak muda yang tadi menjadi perhatian Farfalla. Dengan cepat gadis itu mengangguk, ia tidak ingin melewatkan kesempatan bercerita dan tertawa dengan seseorang. Farfalla sudah merindukan itu, merindukan kebersamaan dengan teman seusianya.
Carla bangkit dan membawa Farfalla ke tempat yang ia tunjuk tadi.
“Guys, kenalkan ini Farfalla. Malam ini akan gabung bersama kita,” ujar Carla memperkenalkan.
“Haiii, aku Shinta.”
“Aku Alharzea panggil aja zea.”
“Aku Bagas.” Pria yang memegang gitar bersuara.
Farfalla tersenyum, ia bahagia melihat respon dari semua orang yang ada di sana. Tidak pernah ia diperlakukan ramah dan di terima seperti ini. Mata Farfalla sampai berkaca-kaca karena bahagia.
“Ayo duduk.” Zea beringsut, dan memberikan ruang pada Farfalla untuk duduk.
Tanpa menunggu lama, Farfalla langsung mendudukkan pantatnya di sampin Zea.
Mereka kemudian bernyanyi bersama, tertawa bersama. Farfalla sudah tidak ingat lagi dengan waktu, entah berapa jam telah mereka lalui bersama. Malam ini, Farfalla merasa bebas se bebas-bebasnya. Ia tidak merasa memiliki beban lagi, hidup seperti inilah yang Farfalla inginkan dimana tidak seorangpun yang menghina latar belakang keluarganya.
*
Farfalla terbangun saat cahaya matahari menyentuh kulitnya. Panas! Ia terlonjak, Farfalla tidak tidur di kamarnya, ia bahkan tidak pergi ke sekolah hari ini.
“Kak.” Farfalla memanggil Carla. Ia teringat jika tadi malam ia di ajak Carla menginap. Mereka bubar hampir jam tiga pagi dan Farfalla tidak berani pulang ke rumah.
Farfalla melirik jam beker yang terletak di atas meja, jarum jamnya menunjuk ke angka 10. Astagaaa, ia bahkan tidak merasa jika ia sudah terlelap selama itu. Apa karena ia begadang atau terlalu bahagia hingga rasa itu mempengaruhi jiwanya dan tidur dengan lelap.
“Kak,” panggil Farfalla lagi.
Kos-kosan Carla terbilang kecil. Hanya ada satu ruang yang merangkap untuk meletakkan semuanya, paling ujung ada kompor yang sepertinya jarang terpakai. Disampingnya ada rak plastik tiga tingkat berisi piring dan gelas serta peralatan makan lainnya. Lalu ada satu kasur tanpa ranjang yang di pakai Farfalla untuk tidur, lemari pakaian ukuran kecil dan meja kecil yang berisi tumpukan buku.
Ah, ya .... di dekat kompor ada satu pintu. Farfalla kemudian mendekat dan membuka pintu tersebut. Dan ternyata ... itu pintu kamar mandi, ukurannya juga sangat kecil. Farfalla masuk ke sana dan mencuci mukanya dengan air yang ada di dalam ember penampungan.
“La, kamu sudah bangun?”
Terdengar suara Carla dari luar sana.
“Sudah, Kak,” jawab Farfalla, gegas ia keluar kamar mandi dan melihat Carla sudah duduk di pinggir kasur dengan kotak makanan yang sudah ia tata di lantai.
“Ayo makan,” ajak Carla.
Farfalla mengambil tempat di depan Carla, malu-malu ia mengambil makanan di depannya. Sementara Carla sudah menikmati makanannya, ia makan dengan lahap.
“Kak, kakak sudah lama ngekos di sini?” tanya Farfalla di sela-sela makannya.
“Sudah 3 tahun,” jawab Carla.
“Kakak kerja?” tanya Farfalla ragu.
Carla mengangguk, “Hari ini masuk siang.”
“Kerja di mana, Kak? Apa aku juga bisa kerja di sana?” tanya Farfalla penuh harap.
Carla mengernyit.
“Kenapa? Bukannya kamu masih sekolah?”
Farfalla menghentikan suapannya, ia menatap Carla lama memikirkan kata apa yang akan ia ucapkan.
“Aku mau berhenti sekolah saja!” ucapnya dengan yakin.
"Hah?! berhenti sekolah?" Lagi, Carla menautkan kedua alis matanya.
"Ya! berhenti sekolah!" Farfalla mengucapkan kata itu lagi untuk meyakini Carla.