“Apa yang terjadi?” tanya Alamanda.
“Bukan tamu, hanya seseorang yang ingin bertemu.” Arinee menjawab sambil mendudukkan bokongnya di sebelah Manda.
Alamanda mengernyit, siapa yang ingin bertemu? Tidak pernah mereka kedatangan orang yang hanya ‘say hello’ sebentar lalu pulang. Setiap yang datang, kalau pulangnya selalu membawa seseorang.
“Lupakan saja,” ujar Arinee dengan senyum di paksa.
Stella datang dan menghampiri mereka lagi, kali ini ia bukan memanggil Arinee atau Alamanda. Tapi memanggil teman mereka yang lain. Hingga jam sudah menunjukkan jam 11 malam, dan tidak akan memungkinkan lagi bagi mereka untuk menunggu.
“Aku mau pulang saja.” Alamanda bangkit dari duduknya, ia melihat ke Arinee dan berharap Arinee juga akan ikut dengannya.
Arinee berdiri, karena akan sia-sia juga berharap akan kedatangan pelanggan yang akan membawanya di hampir tengah malam begini.
“Kita makan dulu, yuk,” ajak Arinee.
Alamanda menggeleng, “Aku makan di rumah saja, masih ada lauk sisa tadi sore. Sayang jika tidak di makan.”
Usai mengganti pakaian dengan yang lebih sopan, mereka lalu menemui Stella dan mengatakan jika mereka akan pulang. Kemudian Alamanda dan Arinee keluar dari rumah Mami Aster tanpa hasil apa-apa.
***
“Hanya segini?” Farfalla memandang uang yang di letakkan Arinee di meja makan.
“Besok mama carikan lagi kekurangannya,” ujar Arinee pelan.
“Ck.”
Farfalla mendecak, rasa kesal tidak bisa ia sembunyikan dari wajahnya. Namun uang pemberian Arinee yang terletak di meja ia ambil juga, uang tersebut ia simpan baik-baik di dalam saku baju seragam untuk ia bayarkan nanti sewaktu ia sampai di sekolah.
Farfalla meletakkan tasnya di laci meja, di kelasnya masih belum terlalu banyak siswa yang datang karena Farfalla memang biasa datang lebih awal dari yang lain untuk menghindari tatapan sinis warga sekolah, meskipun tidak bisa di hindari, jika ia sudah berada di area sekolah ia juga akan tetap mendapat respon yang sama.
Farfalla memutuskan untuk menemui Pak Yunus pagi ini sebelum pembelajaran di mulai, ketika ia hampir sampai di ruang guru ia berpapasan dengan Alex yang sedang berjalan menuju kelasnya.
Farfalla tersenyum, berusaha meraih simpati Alex dengan sikap ramah yang ia tampilkan. Namun pria itu hanya menoleh sekilas lalu berlalu dari hadapan Farfalla tanpa membalas senyum gadis itu.
“Farfalla,” Yunus menyapa. Sapaan itu membuat Farfalla mengalihkan pandang dari punggung Alex ke Yunus.
“Permisi, Pak,” balas Farfalla. “Saya mau membayar SPP.”
Yunus membuka buku besar yang terletak di atas meja setelah Farfalla duduk di hadapannya. Kening pria itu berkerut ketika Farfalla hanya menyerahkan tujuh lembar uang seratusan ribu.
“Dua bulan dulu, Pak,” ujar Farfalla yang membuat Yunus terkesiap.
“Ooh, iyaa. Yang dua bulan lagi, besok di bawa ya!” jawabnya sembari menulis di buku dan kartu SPP milik Farfalla.
Karena urusan sudah selesai, Farfalla kembali ke kelas meninggalkan Yunus dengan tanda tanya dan rasa penasaran yang menyelimuti isi kepala pria itu.
“Darimana, La?” Windy, satu-satunya teman yang dimiliki Farfalla bertanya. Windy adalah teman sebangku Farfalla dan hanya ia yang bisa menerima latar belakang gadis itu.
“Dari tempat Pak Yunus,” jawab Farfalla sambil duduk di samping Windy.
“Tadi ada yang nyariin kamu,” bisiknya.
“Siapa?” tanya Farfalla heran, karena selama tidak pernah ada orang yang mencarinya.
“Shifa anak kelas XI IPA 1.”
“Shifa?” Farfalla membeo, kedua alis matanya bertaut mengingat anak yang bernama Shifa.
“Katanya nanti jam istirahat akan ke sini lagi.”
Farfalla mengangguk dan di saat yang sama guru mata pelajaran Sosiologi mereka masuk ke dalam kelas.
***
Halte yang berada di depan sekolah menengah itu sudah mulai sepi. Farfalla sengaja menunggu tempat itu sepi dulu baru ia berani melangkah ke sana. Ia memang sudah kebal dengan tatapan sinis orang-orang tentang latar belakangnya tapi ia juga punya perasaan yang terkadang tidak ingin di sisihkan.
Sembari menunggu angkutan untuk pulang ke rumah, seseorang datang dan berdiri di samping Farfalla. Gadis itu mendongak karena memang tinggi pria itu jauh di atasnya.
“Alex.” Farfalla hanya bisa menyebut nama pria itu di dalam hatinya. Ingin sekali ia tersenyum menyapa seperti yang ia lakukan pagi tadi tapi hatinya melarang karena ia yakin respon Alex akan sama.
Alex mengangkat tangan kirinya, ia melihat jam tangan yang melingkar di sana dengan wajah yang gelisah. Sesekali ia melap keringat yang menetes di pelipis mata. Semua itu tak luput dari pandangan Farfalla yang berdiri di samping Alex. Gadis itu memperhatikan Alex dengan sudut matanya.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil mewah bewarna hitam datang menghampiri. Alex menunduk ketika kaca jendela mobil tersebut di turunkan.
“Papa lama sekali?” ucapnya dengan nada yang di buat kesal.
“Papa baru pulang meeting.” Haidar, Lelaki yang berada di belakang kemudi itu menjawab.
Segera Alex membuka pintu mobil dan duduk di samping papanya, pintu mobil itupun tertutup kembali. Farfalla menelan ludahnya ketika melihat interaksi antara ayah dan anak itu, lalu ia melempar pandang ke arah lain sebelum hatinya semakin nyeri.
Tiiin ....
Kaca mobil yang berada dekat dengan Alex terbuka kembali, suara klakson reflek membuat kepala Farfalla menoleh.
“Kamu mau pulang?”
Alex menoleh, kedua matanya menyipit mendengar perkataan Haidar.
Farfalla melongo, ia melihat ke samping kiri dan kanan untuk memastikan sama siapa pria itu bertanya.
“Iya, kamu? Kamu temannya Alex ‘kan? Kalau mau pulang, ayo naik. Biar om antar,” ucap Haidar.
“Pa!” protes Alex.
“Ayo naik!” perintah Haidar lagi tanpa memedulikan protes anaknya.
“Ti-tidak. Terima kasih, Om! Aku biasa pulang naik bis,” tolak Farfalla dan ia bisa melihat kelegaan di wajah Alex ketika ia mengucapkan kata tersebut.
“Tidak apa, biar om antar. Ini suda hampir sore, kasian Mama kamu di rumah nanti menunggu lama.”
Farfalla tersenyum kecil, dalam hati ia tertawa mendengar ucapan Papa Alex. Arinee tidak perlu di kasihani, yang harus di kasihani itu adalah dirinya. Kenapa ia mesti lahir ke dunia jika isi dunia ini menyisihkannya.
“Ayo cepat!” Haidar berkata dengan tegas, dan Farfalla mendengar itu seperti perintah yang tidak bisa di tolak. Ia kemudian melangkah menuju mobil dan membuka pelan pintu belakang. Farfalla tidak peduli dengan tatapan tidak suka yang di tampilkan Alex ketika ia duduk di belakang pria itu.
Haidar kemudian menginjak pedal gas dan meninggalkan halte tersebut.
“Siapa namamu?” tanya Haidar.
“Farfalla, Om.”
“Farfalla ... nama yang bagus, kupu-kupu yang cantik,” gumam Haidar.
Farfalla tersenyum mendengar pujian itu. Hampir tujuh belas tahun ia hidup di dunia ini dan itu adalah pujian kedua yang ia dengar dari orang. Pujian pertama Farfalla dengar dari mulut Mamanya ketika ia berusia lima tahun.