Adegan kekerasan yang ditayangkan pada layar kaca membuat Cassie berhenti mengunyah keripik kentangnya. Matanya menatap kosong ke layar kaca. Jeritan perempuan yang tengah disekap pada sebuah adegan drama itu memberikan efek mengerikan. Kejadian yang hampir sama persis dengan apa yang dia alami empat tahun yang lalu.
Meskipun semua sudah berlalu, namun masih terasa sangat segar di ingatannya. Gadis bernama lengkap Cassandra itu mengalami traumatik terhadap jalan gelap di malam hari. Tubuhnya selalu gemetar jika teringat bagaimana dia dipukuli dan dianiaya pada saat itu. Belum lagi ketika dia menyaksikan sendiri peristiwa berdarah. Pembantaian para penjahat-penjahat itu. Pengalaman mengerikan yang tak akan pernah dapat dilupakan.
Sejak kejadian tersebut, Cassie menjadi sering termenung dengan mata kosong dan pikiran yang mengawang-awang. Apalagi jika dia sedang sendirian. Terkadang orang tua dan teman-temannya tak mengerti atas perilakunya selama empat tahun terakhir. Cassie yang dulunya sangat cerewet menjadi sedikit aneh. Walau pada dasarnya dia masih tetap berusaha untuk bertingkah seceria mungkin di depan orang-orang yang disayanginya.
Hingga detik ini, Cassie tidak pernah menceritakan kejadian itu pada siapapun. Dia takut dan tak ingin membuat orang tua dan saudaranya khawatir. Gadis berperawakan mungil itu lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Dia tidak ingin membuka mulut atas peristiwa itu.
Hanya sebuah buku catatan kecil yang dipenuhi sketsa yang menjadi mediasi atas kenangan tersebut. Sketsa wajah yang nampak samar. Seorang laki-laki dengan mata nyalang setajam elang dan rambut hitam legam sepadan dengan kegelapan di malam itu. Cassandra menumpahkan semua memorinya di sana. Tak ada satu huruf pun tertulis, hanya wajah dan sosok tubuh berproporsi atletis yang terlukis.
Satu hal yang mampu membuatnya bisa tersenyum adalah kenangan akan sebuah ciuman. Ciuman pertama yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan pantas pada tempat dan situasinya. Entah setan apa yang merasuki Cassandra pada saat itu hingga dia dengan nekat menyerahkan ciuman pertamanya secara suka rela. Padahal lelaki tersebut dengan mudahnya menghabisi para penjahat. Orang itu seperti pembunuh berdarah dingin.
Cassandra tidak dapat menghapus ingatannya. Masih tergambar jelas di memorinya bagaimana ekspresi tenang dan manik mata legam itu ketika membuat semua orang terkapar. Bahkan dengan mudahnya membunuh beberapa dari mereka. Dia terlihat sangat terlatih. Seperti mesin pembunuh yang siap menghancurkan siapa saja.
Selain itu, ada pula hal yang membuatnya bingung. Mengapa tidak ada polisi yang mendatangi rumahnya? Padahal jika dipikirkan dan ditelaah kembali, di tempat itu jelas-jelas telah terjadi pembunuhan.
Lelaki yang telah menyelamatkannya tersebut tidak hanya membunuh satu orang saja. Seharusnya setelah peristiwa itu terjadi, polisi serta para penyelidik pasti mendatangi rumahnya karena setidaknya Cassie berada di tempat kejadian sebagai saksi.
Namun, hingga detik ini, Cassie tidak pernah ditemui oleh aparat keamanan kota New York ataupun menemukan berita tentang pembunuhan sadis tersebut. Tidak ada kabar mencuat ke permukaan media. Semua teredam begitu saja seolah-olah tidak terjadi apapun.
"Cassie."
Gadis itu tesadar dari lamunan. Setelah mengerjapkan matanya, dia menoleh ke belakang. Ibunya memanggil.
"Iya, Ibu?" sahutnya.
Dari dapur, Ibu berkata, "Tolong bantu Ibu sebentar."
Cassie pun dengan enggan bangkit dari tempat duduknya.
Gadis itu berjalan ke dapur, menghampiri Ibu yang masih sibuk dengan masakannya.
"Ibu baru selesai membuat salad. Dan di sini juga ada roti lapis."
"Roti lapis ini Ibu yang membuatnya?"
Nyonya Wood menggeleng. "tidak. Ini pemberian Bibi Grace. Dititipkan pada kakakmu kemarin."
Kakak? Mata Cassie membulat seketika.
"Gerald pulang?"
Ibu mengangguk. "Iya, pulang ke rumah sebentar. Katanya perlu mengambil sesuatu, Ibu juga tidak mengerti."
"Kenapa dia tidak bilang apa-apa padaku?" gumam Cassie dengan wajah murung.
Ibu tersenyum lembut. "Mungkin dia tidak mau buat kamu heboh. Dia sempat bilang kalau dia pulang tanggal enam belas nanti."
"Hmm," Cassie melirik layar ponselnya yang menunjukkan tanggal hari ini, "bulan depan ya?"
Wajah gadis itu langsung berseri. Akhirnya, dia dapat bertemu dengan kakak sulungnya yang sedang mendapat tugas ke salah satu desa di pedalaman Staten Island sebagai seorang polisi.
Sudah hampir setengah tahun, Gerald tidak pulang ke New York dan kerinduan yang dipendam oleh adiknya itu sudah tidak dapat dibendung lagi.
"Iya, bulan depan." Ibu menutup beberapa toples plastik berisi salad buatannya. "Sudahlah. Kamu mau bantu Ibu berikan salad ini ke tetangga atau tidak?"
Cassie mengangguk patuh. Mumpung suasana hatinya sedang baik.
"Yang ini untuk Bibi Fanny. Toples warna ungu untuk Nenek Brown. Nah, yang warna kuning berikan pada Wendy. Jangan lupa ini. roti lapis itu hanya untuk Wendy."
"roti lapis ini hanya untuk Wendy? Bagaimana dengan yang lain?"
Ibu mengibaskan tangannya. "tidak perlu, semua untuk Wendy saja. Dia kan tinggal sendirian. Kasihan. Ibu dengar dia sering pulang larut. Sekarang juga dia telihat lebih kurusan dari sebelumnya. Kalau kamu tidak sibuk, temani Wendy. Ajak dia makan malam bersama besok."
Cassie mengangguk setuju.
Tetangganya yang cantik dan baik hati itu sekarang sudah jarang sekali terlihat. Mungkin sekarang perempuan bersenyum semanis gula itu sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya. Mengingat dulu tetangganya itu pernah berkata bahwa dia mempunyai bos yang sangat keras.
"Baiklah."
Tanpa banyak kata, gadis itu pun mengambil empat buah toples, lalu memasukkannya ke dalam paperbag dan berjalan keluar dari unit apartemennya. Seperti biasa, dia akan menyerahkan masakan Ibu ke tetangga terdekat terlebih dahulu, ke unit Bibi Fanny dan Nenek Brown. Setelah itu, baru ke unit milik Wendy dan menghabiskan waktu lebih lama di sana.
Akan tetapi, ketika dia hendak berjalan menuju apartemen yang disewa oleh tetangga dari Kanada itu, langkah Cassie melambat saat menyaksikan pemandangan yang terpampang nyata di depan mata kepalanya.
Kakinya berhenti bergerak. Pandangannya melebar dan menajam. Niatnya untuk membagikan sebagian salad buatan Ibu ke tetangganya tersebut terpaksa diurungkan dulu. Karena perempuan cantik itu tengah berdiri bersama seorang pria berkulit putih pucat di depan pintu unitnya.
Cassie tak bergerak. Tetap di posisinya. Bersembunyi dan mengintip. Dia memerhatikan interaksi yang sedang berlangsung antara Wendy dengan pria itu dalam diam. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat suara dan mengamati interaksi mereka.
Rasanya jantung Cassie berdetak semakin kuat saat melihat pria itu merapatkan tubuhnya pada Wendy. Tak ada satu pun dari mereka yang bicara.
Seharusnya adegan yang terjadi di depan mata Cassie itu terlihat romantis. Bahkan terlihat sedikit erotis. Namun, entah mengapa ada sesuatu yang tak seimbang di sana. Tetangganya tersebut nampak takut. Hal itu membuat Cassie merasa agak cemas.
Gadis manis berperawakan mungil itu meyakinkan diri bahwasanya Wendy akan baik-baik saja. Dari cara pria tersebut menatapnya, sudah cukup membuat Cassie sedikit lebih tenang.
Lorong apartemen yang hening membuat Cassie dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh pria itu. Tanpa sadar, dia meremas kuat tali paperbag di tangannya, seolah berjaga agar siap-siap melempar salad buatan Ibu kepada lelaki itu.
"Jangan lari lagi."
Cassie ikut menahan napas saat dia menyaksikan ekspresi kaku Wendy. Perempuan cantik itu menutup matanya rapat-rapat saat pria yang menghimpit tubuhnya ke pintu tersebut mendekatkan wajahnya.
Cassie semakin gugup.
Apakah ini sebuah pelecehan? Pemerkosaan? Apakah Wendy mengenal orang itu? Mengapa dia terlihat sangat ketakutan?
Dia pikir, pria dengan rambut blonde itu akan mencium bibir Wendy dengan paksa. Ternyata tidak. Pria itu menghadiahi Wendy dengan sebuah kecupan di kening.
Hati Cassie menghangat karenanya. Hal itu merupakan perlakuan paling romantis yang pernah dia lihat seumur hidupnya. Pemandangan indah yang dia saksikan dengan kedua mata kepalanya sendiri.
Dalam hati Cassie menyesal, mengapa dia tak pernah merasakan hal manis seperti itu. Terbersit sebuah asa berbunyi;
Ah, seandainya dia dapat bertemu dengan orang itu lagi. Orang yang telah menolongnya di malam itu. Pria yang telah membuatnya ketakutan untuk keluar dari rumah di malam hari.
"Sampai bertemu besok, sayang."
Kalimat yang diucapkan oleh suara berat pria itu menyadarkan Cassie dari lamunannya. Gadis berperawakan mungil tersebut perlahan bergerak mundur seiringan dengan rengkuhan hangat yang diterima oleh Wendy. Cassie pun memilih untuk menunda niatnya.
Sepertinya Wendy perlu istirahat, pikir Cassie.
Gadis itu pun terpaksa kembali ke apartemennya. Dia juga menyimpan salad serta roti lapis untuk Wendy ke dalam kulkas. Cassie terpaksa berbohong pada Ibu kalau Wendy sangat sibuk. Bahkan hingga sekarang tetangganya tersebut belum ada di unit apartemennya.
¤¤¤¤
Pagi-pagi sekali, Cassie berkunjung ke apartemen Wendy. Pintu unit pun diketuk, namun tidak ada respon. Gadis itu memprediksi bahwa Wendy pasti sudah berangkat bekerja. Urusan salad dan roti lapis dari Ibu, mungkin bisa diserahkan nanti setelah perempuan itu pulang. Cassie berencana ingin menginap di rumah Wendy saja nanti malam. Jadi, dia memutuskan untuk meneruskan perjalanannya ke Kampus seperti biasanya.
Tak ada yang spesial. Rutinitas kampus yang monoton. Kuliah, berkumpul dengan teman-temannya, masuk kelas lagi, makan siang dengan Lily dan Janeth-dua sahabat karibnya, kemudian mengakhiri aktivitas rutin itu dengan pulang ke rumah sebelum matahari terbenam. Dia tak ingin pulang kemalaman.
Ting!
Sebuah pesan masuk dari Wendy. Pesan yang berbunyi bahwa perempuan itu tidak bekerja hari ini. Tidak sesuai dengan prediksinya. Seharian tetangganya tersebut tertidur sampai lupa mengisi perut. Wendy juga meminta tolong padanya agar membawakan makanan.
Pasti tetangganya itu sedang lapar sekali. Maka dari itu, dengan semangat membara, Cassie pun segera pulang dan membawakan berbagai makanan yang akan membuat perut Wendy kenyang.
Cassandra tak menyempatkan diri untuk pulang ke unitnya terlebih dahulu. Nanti saja. Toh, Ayah dan Ibu pasti belum pulang. Dengan sebuah kantong plastik makanan, Cassie mengetuk pintu apartemen tetangganya yang cantik itu.
"Wendy?"
Mata Cassie membulat sempurna saat melihat wajah tetangganya yang pucat pasi. Perempuan kelahiran New York yang tumbuh besar di Kanada itu tersenyum lemah padanya seraya membuka pintu lebih lebar.
"Sore, Cassie," sapanya. Suaranya serak. Matanya juga sembab.
"Wendy? Ada apa dengan suaramu? sakit?!"
Cassie langsung menempelkan telapak tangannya yang dingin ke kening Wendy. Panas. Perempuan cantik itu demam tinggi.
"Aku lapar, Cassie," sahut Wendy dengan mata sayu.
Cassie diam-diam memperhatikan Wendy. Dia baru sadar bahwa ada plester luka di dahi sebelah kanan tetangganya itu. Luka memar berwarna biru di sekitar leher, pergelangan tangan, hingga betis. Kekhawatiran semakin memenuhi hati Cassie. Pasti terjadi hal yang buruk pada Wendy.
"Wendy, bagaimana kalau kita ke rumah sakit terlebih dahulu? Kamu terlihat sangat... tidak baik-baik saja."
¤¤¤¤
Sial.
Seharusnya Jeon bisa tidur tenang sejenak. Dia hampir sekarat karena luka tembak di tubuhnya. Baru dua jam yang lalu, August dan Ryan berhasil mengeluarkan dua peluru yang bersarang pada bahu dan perutnya. Namun sekarang dia harus kembali terjaga. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya kembali datang. Efek bius lokal yang disuntikkan oleh dua temannya itu sudah mulai pudar.
"Ryan," panggil Jeon pada laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya itu. Tanpa rasa hormat. Kurang ajar.
"Apa?" sahut Ryan tanpa mengalihkan pandangan matanya dari layar laptop di pangkuannya.
"Buatkan aku janji bertemu dengan Dokter Takahashi. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi."
Suara Jeon terdengar lemah. Wajahnya juga memucat. Warna kulitnya sudah hampir seperti August aja. Melihat keadaan temannya itu, Ryan terkekeh sinis.
"Wah, hari ini kamu harus terkena sial berapa kali?"
Ya, Jordan Jeon sepertinya sedang kurang beruntung hari ini.
Pertama, dia baru saja pulang dari misi berat yang August berikan. Dia juga ditembak oleh kelompok misterius yang nekat mengerahkan sniper amatir padanya. Jeon baru bisa menghubungi saudara Triptych-nya setengah jam setelah mengamankan diri dari lokasi penembakan dan tentu saja dia sudah kehilangan banyak darah.
Kedua, pertolongan pertama yang didapat dari Ryan dan Tuan August sangatlah brutal. Operasi kecil memang berjalan singkat dan higienis, namun cara mereka memberikan perlakuan pada luka tembaknya tersebut benar-benar sadis. Terutama pria bermarga Min itu.
Ketiga, hingga detik ini, Jeon belum bisa tertidur. Sang tuan rumah sedang mempunyai sedikit masalah dengan seorang perempuan yang Jeon dengar merupakan sekretaris barunya Tuan August. Mereka sedang asyik bermain kejar-kejaran dan petak umpet.
Keempat, dia kalah taruhan. Taruhan perihal apa yang akan terjadi pada sekretaris barunya August. Dia baru saja kehilangan uang sebesar dua puluh juta Dollar untuk permainan ini. Jeon bertaruh kalau perempuan itu akan dihabisi dalam waktu singkat karena dengan gilanya telah menampar Sang Bos. Ternyata, dugaan Ryan-lah yang benar. August justru menggendong perempuan itu layaknya seorang putri.
Untuk yang terakhir, Jeon masih belum habis pikir.
Ryan berdecak. "Berisik. Cepat telepon dia dan antarkan aku ke sana."
"Dasar bocah manja! Sakit sedikit saja rupanya bisa membuatmu haus akan belaian dokter!"
Ryan menutup laptopnya dan mengambil ponsel untuk menghubungi seorang dokter yang Jeon maksud.
Jeon muda menyeringai lemah. Untuk kali ini, dia akan membiarkan temannya itu berbuat ulah. Untuk kali ini saja. Jeon terlalu malas meladeni mulut Ryan yang memang tidak bisa disensor.
"Ayo, cepat!"
Selesai membuat janji dan mengobrol singkat bersama dokter yang tidak lain merupakan salah satu teman yang juga mempunyai kaitan dengan Triptych, Ryan pun mengajak Jeon untuk segera pergi dari apartemen August dan pergi ke tempat si dokter bekerja.
"Sekarang?"
"Tidak, Jordan Jeon. Kita berangkat sepuluh tahun lagi. Tentu saja sekarang! Bangun kamu, dasar pemalas!"
Jeon tampak enggan untuk beranjak, walaupun sebelumnya dia yang meminta Ryan untuk mengantarkannya ke rumah sakit di mana Dokter Takahashi bertugas. Maka, dengan tenaga yang tersisa, Jeon pun bangkit dari sofa.
Seumur hidupnya, selama dirinya bergabung dalam dunia gelap New York, baru kali ini dia merasa sangat lelah. Pertama dan terakhir kali Jeon ke rumah sakit adalah setelah dia berhasil membalaskan dendam keluarga Jeon, lalu bergabung bersama Triptych. Dokter yang menanganinya pun juga masih sama, Dokter Takahashi, salah satu ahli medis yang bekerja di bawah kaki tangan mendiang Tuan Besar Gold, kakek dari August.
Sesampainya di rumah sakit tujuan, dengan setelan Saint Laurent baru hasil curian dari lemari August, Jeon tetap berjalan senormal mungkin mengikuti langkah Ryan yang penuh percaya diri. Dalam hati, dia terus mengutuk para kecoak yang sudah mencoba membunuhnya.
Brukkk!
Jordan Jeon terdiam di tempat ketika menyaksikan sebuah insiden antara Ryan yang menabrak seseorang. Entah dari mana munculnya. Mungkin saja dari persimpangan, Jeon tak terlalu memerhatikan.
Benturan tersebut tidak terlalu berarti, namun cukup keras untuk membuat lawan tabraknya hampir terjatuh. Jeon mengerang dan meringis menahan nyeri karena punggung Ryan juga ikut menabrak tubuhnya.
Ingin rasanya Jeon menggantung orang yang membuat Ryan menabraknya itu di puncak gedung Gold Corporation, lalu menyiksanya secara perlahan. Namun, ide yang terlintas di kepala Jeon tersebut segera sirna tatkala mengetahui siapa orang yang membuat luka dan rasa sakitnya menjadi semakin parah.
Dia.
¤¤¤¤